Salah Sangka dan Penipuan Sebagai Alasan Pembatalan Perkawinan

Salah Sangka dan Penipuan Sebagai Alasan Pembatalan Perkawinan

Apa saja yang masuk kategori salah sangka dan penipuan tidak disebutkan dalam undang-undang, sehingga berkembang dalam praktik pengadilan. Inilah penelusuran Hukumonline atas beberapa kasus yang disidangkan.
Salah Sangka dan Penipuan Sebagai Alasan Pembatalan Perkawinan

Perkawinan bagi sebagian orang adalah peristiwa yang sangat sakral, tidak sekadar janji mengarungi bahtera kehidupan. Pada saat upacara perkawinan, pasangan mengucapkan ikrar atau janji akan terus bersama hingga maut memisahkan. Tetapi, niat baik itu tidak selalu berwujud seperti yang dibayangkan. Perkawinan bisa putus di tengah jalan, bahkan mungkin hanya dalam hitungan hari. Penyebabnya bisa beragam.

Hukum memang memungkinkan suatu ikatan perkawinan diputuskan. Normatif, Pasal 38 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (diubah dengan UU No. 16 Tahun 2019) menyebutkan suatu perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian, atau atas putusan pengadilan. Pengadilan dapat membatalkan ikatan perkawinan karena para pihak tidak memenuhi syarat untuk melangsungkan perkawinan. Di Indonesia, kasus yang sering menghebohkan adalah perkawinan sesama jenis. Juni tahun lalu, misalnya, seorang pria melaporkan pasangannya ke polisi karena ternyata setelah perkawinan berlangsung pasangan yang dikira seorang perempuan itu ternyata seorang pria.

Peristiwa semacam itu sudah beberapa kali terjadi. Suami atau isteri baru mengetahui tentang pasangannya setelah perkawinan berlangsung. Inilah yang lazim disebut sebagai ‘salah sangka’ dalam perkawinan. Salah sangka itu sama dengan salah duga, salah paham, dan salah kira. Seseorang yang salah sangka dapat merasa tertipu mengenai hal yang dipersangkakan. Pasal 27 ayat (2) UU Perkawinan menyebutkan “seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau isteri”.

Konsep semacam ini sebenarnya dikenal juga dalam hukum perdata. Dalam hukum perjanjian, ada kemungkinan terjadi cacat dalam kehendak seseorang ketika menutup perjanjian. Cacat itu bisa terjadi karena kesesatan/kekeliruan (dwaling, penipuan (bedrog), atau paksaan (dwang).

Masuk ke akun Anda atau berlangganan untuk mengakses Premium Stories
Premium Stories Professional

Segera masuk ke akun Anda atau berlangganan sekarang untuk Dapatkan Akses Tak Terbatas Premium Stories Hukumonline! Referensi Praktis Profesional Hukum

Premium Stories Professional