Tiga RUU Pembentukan Pengadilan Tinggi Baru Disetujui Jadi UU
Terbaru

Tiga RUU Pembentukan Pengadilan Tinggi Baru Disetujui Jadi UU

Sebagai upaya mewujudkan pemerataan kesempatan memperoleh keadilan dan pelayanan hukum bagi masyarakat serta penyelesaian perkara dengan sederhana, cepat, dan berbiaya murah. Karenanya perlu mendekatkan pengadilan kepada masyarakat sesuai dengan UU pembentukan provinsi.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit
Suasana rapat paripurna saat pengesahan sejumlah RUU menjadi UU di Gedung Parlemen, Selasa (7/12/2021). Foto: RES
Suasana rapat paripurna saat pengesahan sejumlah RUU menjadi UU di Gedung Parlemen, Selasa (7/12/2021). Foto: RES

Persetujuan terhadap tiga rancangan undang-undang (RUU) tentang pembentukan pengadilan tinggi di sejumlah daerah menjadi UU disetujui secara bulat dalam rapat paripurna di gedung DPR, Selasa (7/12/2021). Pertama, RUU tentang Pembentukan Pengadilan Tinggi di Kepulauan Riau, Kalimantan Utara, Sulawesi Barat, dan Papua Barat. Kedua, RUU tentang Pembentukan Pengadilan Tinggi Agama di Bali, Papua Barat, Kepulauan Riau, Sulawesi Barat dan Kalimantan Utara. Ketiga, RUU tentang Pembentukan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) di Palembang, Banjarmasin, Manado, dan Batam.

Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad yang memimpin rapat paripurna mengetuk palu rapat setelah menanyakan persetujuan terhadap tiga RUU tersebut kepada anggota dewan. Secara serentak, anggota dewan yang hadir secara bulat memberi persetujuan. Dengan begitu, ketiga RUU tersebut telah sah menjadi UU, sehingga pembentukan beberapa pengadilan tinggi bisa segera dilaksanakan.  

Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR, Muhammad Nurdin dalam laporan akhirnya mengatakan pembentukan tiga RUU tentang pembentukan pengadilan tinggi mengacu pada Pasal 105 huruf g UU No.2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua atas UU No.17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) jo Pasal 66 huruf g Peraturan DPR No.1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib. Baleg bertugas membahas, mengubah dan/atau menyempurnakan RUU yang secara khusus ditugasi Badan Musyawarah (Bamus) DPR.

Nurdin mengatakan pembahasan ketiga RUU dilakukan secara maraton dan ketat. Dia pun mengurai hasil pembahasan. Pertama, penulisan judul RUU disesuaikan dengan urutan pembentukan daerah otonom. Kedua, pada konsiderans “menimbang”, aspek yuridis mencantumkan pasal dan UU yang mendelegasikan dibentuknya pengadilan tinggi, pengadilan tinggi agama, dan PTTUN.

Ketiga, dalam diktum “mengingat”, pasal-pasal yang digunakan dari UUD 1945 yakni Pasal 20, 21, 24, dan 24A ayat (5), serta mencantumkan UU yang mengatur mengenai peradilan umum, peradilan agama, dan peradilan tata usaha negara. Keempat, ketentuan yang mengatur mengenai pelimpahan perkara, ditetapkan setelah pengadilan tinggi, pengadilan tinggi agama, dan PTTUN dinyatakan beroperasional oleh Mahkamah Agung (MA).

Kelima, ketentuan yang mewajibkan pemerintah provinsi menyediakan lahan sesuai standar yang ditetapkan oleh MA untuk pembangunan gedung pengadilan tinggi, gedung pengadilan tinggi agama, dan gedung PTTUN. Keenam, ketentuan yang memerintahkan MA menyediakan sarana dan prasarana untuk pengadilan tinggi, pengadilan tinggi agama, dan PTTUN paling lambat 4 tahun terhitung sejak UU tersebut diundangkan. (Baca Juga: Resmi Disahkan, Ini Delapan Substansi UU Kejaksaan Hasil Perubahan)  

Ketujuh, ketentuan yang memerintahkan MA harus melaporkan pelaksanaan UU kepada DPR melalui alat kelengkapan yang menangani bidang legislasi paling lambat 4 tahun sejak UU diundangkan. Nurdin berharap persetujuan terhadap ketiga RUU tersebut memberi manfaat besar dalam meningkatkan pelayanan hukum bagi masyarakat demi tercapainya penyelesaian perkara secara sederhana, cepat, dan biaya ringan.

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Hamonangan Laoly mengatakan salah satu tujuan hukum adalah keadilan. Sementara negara sebagai entitas yang membentuk hukum tujuannya menegakan keadilan dengan jalan memberikan perlindungan bagi masyarakat. Dengan begitu, hak-haknya terpenuhi, khususnya dalam akses mendapatkan keadilan bagi seluruh masyarakat Indonesia. “Dan pengadilan harus hadir lebih dekat dengan masyarakat sebagai institusi dalam penegakan hukum,” kata dia.

Secara geografis, Indonesia merupakan negara kepulauan yang antara daerah satu dengan lainnya berjauhan. Dampaknya membutuhkan biaya besar untuk menjangkau lembaga peradilan di daerah lainnya. Menurut Yasonna, upaya mewujudkan pemerataan kesempatan memperoleh keadilan dan pelayanan hukum bagi masyarakat serta penyelesaian perkara dengan sederhana, cepat, dan berbiaya murah perlu mendekatkan pengadilan kepada masyarakat sesuai dengan UU pembentukan provinsi.

Dengan begitu, pembentukan pengadilan tinggi tersebut diperlukan dengan tujuan memperhatikan dan memelihara identitas serta integritas badan peradilan. Termasuk menjamin keseragaman kualitas pelayanan, menciptakan konsistensi dan stabilitas dalam upaya peningkatan kinerja peradilan. “Kami mewakili presiden dalam rapat paripurna dengan mengucapkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, dan menyetujui RUU tersebut untuk disahkan menjadi UU,” katanya.

Tags:

Berita Terkait