Tanda Tangan Elektronik, Jaminan Autentikasi Kini dan Nanti
Inforial

Tanda Tangan Elektronik, Jaminan Autentikasi Kini dan Nanti

Penggunaannya dalam sistem hukum Indonesia, telah diatur dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik—sebagaimana diubah dengan UU No. 19 Tahun 2016 (UU ITE).

Oleh:
Tim Publikasi Hukumonline
Bacaan 7 Menit
Tanda Tangan Elektronik, Jaminan Autentikasi Kini dan Nanti
Hukumonline

Urgensi tanda tangan elektronik pada transaksi elektronik sebenarnya bukan hal baru di Indonesia. Penggunaannya dalam sistem hukum Indonesia, telah diatur dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik—sebagaimana diubah dengan UU No. 19 Tahun 2016 (UU ITE). Isu ini bahkan telah lama dibahas, salah satunya oleh Ketua Indonesia Cyber Law Community (ICLC), Riki Arif Gunawan dalam pelatihan bertema 'Memahami Cyber Law, Cyber Crime, dan Digital Forensic dalam Sistem Hukum Indonesia’ yang digelar oleh Hukumonline pada Maret 2018.

 

Merujuk pada risiko penyalahgunaan data pribadi hingga modus penipuan jual-beli online yang sulit dilacak, menurut Arif, tanda tangan elektronik merupakan jalan keluar untuk menjamin keaslian identitas para pihak. Tak sekadar goresan tangan, tanda-tangan elektronik juga memuat informasi yang dapat digunakan sebagai alat verifikasi dan autentifikasi identitas.

 

Empat tahun berselang, mendekati prediksi Arif, penerapan tanda tangan elektronik jadi semakin masif. Apalagi di tengah situasi pandemi yang kian memopulerkan era kerja hibrida. Kendati belum serentak dan dimanfaatkan secara maksimal, tanda tangan elektronik untuk berbagai kebutuhan seperti surat perjanjian, administrasi perbankan dan perasuransian, hingga transaksi jual beli; terbukti mampu mengakomodasi sejumlah kebutuhan: praktis, menghemat ruang penyimpanan, dan lebih ramah lingkungan, tanpa menghilangkan jaminan kepastian hukum/keaslian dokumen. Pun menurut Pasal 11 ayat (1) UU ITE, tanda tangan elektronik memiliki kekuatan hukum yang sama dengan tanda tangan konvensional selama memenuhi persyaratan yang telah ditentukan.

 

Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) menegaskan bahwa tangan elektronik memiliki kekuatan hukum dan akibat hukum yang sah selama memenuhi enam persyaratan, yaitu:

 Data pembuatan tanda tangan elektronik terkait hanya kepada penanda tangan;

  1. Data pembuatan tanda tangan elektronik pada saat proses penandatanganan elektronik hanya berada dalam kuasa penanda tangan;
  2. Segala perubahan terhadap tanda tangan elektronik yang terjadi setelah waktu penandatanganan dapat diketahui;
  3. Segala perubahan terhadap informasi elektronik yang terkait dengan tanda tangan elektronik tersebut setelah waktu penandatanganan dapat diketahui;
  4. Terdapat cara tertentu yang dipakai untuk mengidentifikasi siapa penandatangannya; dan
  5. Terdapat cara tertentu untuk menunjukkan bahwa penanda tangan telah memberikan persetujuan terhadap informasi elektronik yang terkait.

 

Kasubdit Penyidikan dan Penindakan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Teguh Arifiyadi, menjelaskan kemungkinan pembuktian originalitas TTE elektronik di pengadilan. Berdasarkan jenisnya, terdapat dua kategori TTE. Pertama, TTE tersertifikasi yang berstatus sama dengan akta otentik. Pada jenis TTE ini, hakim, penggugat, dan tergugat akan mendapatkan keterangan dari lembaga penerbit sertifikat digital terkait keabsahan TTE. Keterangan ini dapat dijadikan dasar bahwa TTE bersifat autentik.

 

Kedua, TTE tidak tersertifikasi, yang harus dibuktikan melalui uji digital forensik. Hasil ujinya akan dituangkan dalam bentuk berita acara pengujian digital forensik terhadap suatu sistem atau file, atau dokumen yang diuji. Adapun ahli digital forensik juga dapat dihadirkan di persidangan untuk menjelaskan proses digital forensik.  

 

Dari sisi praktisi hukum, dalam diskusi daring Hukumonline berjudul ‘Penerapan E-Court, E-Litigation, E-Signature oleh In-House Legal Counsel Menanggapi Situasi Covid-19’ pada Jumat (17/4/2020), Advokat Patra Zein menerangkan proses pembuktian dapat dilakukan secara elektronik, terlebih pada masa darurat bencana Covid-19. “Pembuktian tanda tangan digital ini sah-sah saja, sepanjang pihak ketiga, lembaga digital signature yang sudah terverifikasi oleh pemerintah telah menyatakan dokumen yang ditandatangani secara digital tersebut adalah benar,” kata Patra.

Tags: