MK Tolak Judicial Review Undang-Undang Advokat
Utama

MK Tolak Judicial Review Undang-Undang Advokat

Tanpa dihadiri Ketua Prof. Jimly Asshiddiqie, Mahkamah Konstitusi membacakan putusan menolak permohonan judicial review Undang-Undang Advokat yang diajukan APHI dan tim pengacaranya.

Oleh:
Mys
Bacaan 2 Menit
MK Tolak <i>Judicial Review</i> Undang-Undang Advokat
Hukumonline

 

Majelis berpandangan bahwa untuk menjadi advokat, seseorang tidak hanya perlu kemampuan akademik, tetapi juga kematangan emosional (psikologis). Lagipula, yang bersangkutan perlu mematangkan diri dengan pengalaman dan praktik di lapangan sehingga bisa menjembatani pengetahuan teoritis dengan kenyataan di lapangan.

 

Lambok Gultom, salah seorang kuasa pemohon, menilai sebagian pertimbangan dalam putusan majelis tidak berdasar, bahkan terkesan banci. Hakim terkesan tidak mempertimbangkan kepentingan banyak advokat atau calon advokat yang dirugikan akibat berlakunya pasal-pasal yang dimohonkan judicial review.

 

Lambok mengaku sudah memperkirakan penolakan dari MK. Namun demikian, APHI dan para pemohon lain tetap menghargai putusan MK. Kami menghargai putusan majelis, ujar Lambok kepada hukumonline, seusai sidang.

Penolakan tersebut dibacakan dalam sidang Mahkamah Konstitusi (MK) di Jakarta, Senin (18/10) siang. Sidang pembacaan putusan itu sendiri tidak dihadiri baik wakil Komisi II DPR dan Pemerintah. Wakil KKAI, organisasi yang berkepentingan dengan putusan itu, juga tidak tampak di dalam ruang sidang.

 

Mahkamah Konstitusi menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya, tandas pimpinan sidang DR M. Laica Marzuki,  sebelum mengetukkan palu. Pemohon dimaksud adalah Asosiasi Penasehat Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (APHI) dan sembilan orang advokat (Hotma Timbul Cs).

 

Majelis menilai pemohon tidak bisa membuktikan pasal-pasal yang dimohonkan judicial review bertentangan dengan UUD 1945. Sebelumnya, APHI meminta MK melakukan pengujian penjelasan pasal 2 ayat (1), pasal 14-17, pasal 32 ayat (2), pasal 3 ayat (1) dan pasal 32 ayat (3) Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat.

 

Majelis memang mengakui legal standing APHI untuk mengajukan permohonan. Tetapi, argumen-argumen pemohon mengenai pasal yang diuji dimentahkan oleh majelis. Sebut misalnya soal usia untuk menjadi advokat. Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 membatasi usia minimal 25 tahun. Di bawah usia itu tidak boleh menjadi advokat. Aturan inilah yang dinilai APHI bersifat diskriminatif. Sebab, faktanya, banyak orang yang lulus sarjana hukum pada usia 20-24 tahun. Lalu, mengapa judicial review terhadap ketentuan pasal 3 ayat (1) tersebut ditolak MK?

Tags: