Dualisme Pengawasan Profesi Advokat Berakhir
Utama

Dualisme Pengawasan Profesi Advokat Berakhir

Pasal 36 Undang-Undang Mahkamah Agung yang mengatur pengawasan advokat dinyatakan tidak berlaku lagi. Tetapi, kalangan advokat diwanti-wanti untuk tidak salah menafsirkan putusan Mahkamah Konstitusi ini. Mengapa?

Oleh:
Mys
Bacaan 2 Menit
Dualisme Pengawasan Profesi Advokat Berakhir
Hukumonline

 

Inkonsistensi demikian telah menimbulkan keragu-raguan dalam implementasi undang-undang bersangkutan yang bermuara pada timbulnya ketidakpastian hukum, papar majelis dalam petitumnya. Majelis lantas menunjuk pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar (UUD) yang potensial dilanggar akibat ketidakkonsistenan undang-undang satu sama lain.

 

Pada bagian lain pertimbangannya, MK mewanti-wanti agar putusan atas perkara No. 067/PUU-II/2004 itu tidak disalahtafsirkan oleh kalangan advokat. Pendirian MK dalam putusan tidak berarti bahwa advokat menjadi bebas sebebas-bebasnya.

 

Pendirian Mahkamah tersebut tidak dimaksudkan untuk diartikan bahwa advokat sama sekali terlepas dari pengawasan oleh pihak-pihak lain di luar organisasi advokat. Pemerintah, begitupun lembaga peradilan, dengan sendirinya tetap memiliki kewenangan yang bersifat melekat (inherent power) untuk melakukan pengawasan di luar pengawasan profesional, begitu antara lain bunyi putusan MK yang dibacakan secara bergantian.

 

Lex specialis drogat lex generalis

Dalam persidangan perkara ini sebelumnya, pemerintah berpendapat bahwa MK tidak berwenang menangani perbenturan dua undang-undang. MK hanya bisa menguji UU terhadap UUD. Dalam keterangannya di sidang MK pada 17 Januari lalu, Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaluddin mengatakan, kalaupun ada pertentangan dua UU, maka dengan sendirinya berlaku asas hukum lex specialis drogat lex generalis, atau melalui legislative review ke DPR.

 

Majelis hakim konstitusi mengaku sependapat dengan pemerintah dalam hal asas-asas universal hukum seperti lex specialis drogat lex generalis. Tetapi MK tidak sependapat dalam hal kewenangan menangani permohonan Maurits dkk. Lagipula asas lex specialis tidak bisa diterapkan dalam kasus ini karena UU Advokat dan UUMA mengatur hal yang berbeda.

Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan untuk menyatakan pasal 36 Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan UU No. 14/1985 tentang Mahkamah Agung bertentangan dengan konstitusi dan tidak berkekuatan hukum mengikat.

 

Dominggus Maurits Luitnan, advokat yang mengajukan permohonan judicial review, menyatakan puas atas putusan MK. Sebab, putusan setebal 34 halaman itu akan memberi kepastian siapa yang berwenang mengawasi advokat dalam menjalankan profesinya.

 

Maurits mengajukan judicial review pasal 36 Undang-Undang Mahkamah Agung (UUMA) dikaitkan dengan pasal 12 Undang-Undang No.18/2003 tentang Advokat (UU Advokat) karena adanya aturan yang tumpang tindih dalam hal pengawasan advokat. Di satu sisi, UU Advokat menyerahkan kewenangan kepada organisasi advokat, di sisi lain UUMA masih memberi wewenang kepada pemerintah dan Mahkamah Agung melakukan pengawasan.

 

Dalam pertimbangannya, MK sebenarnya tidak menemukan adanya hak konstitusional pemohon yang dilanggar dengan tidak direvisinya pasal 36 UUMA 1985. Meskipun demikian, MK tetap mengabulkan materi permohonan pemohon. MK menilai pembentuk undang-undang (legislator) tidak cermat dalam melaksanakan kewenangannya. Alhasil, terjadi inkonsistensi antara satu undang-undang dengan undang-undang lainnya.

Tags: