‘Sebaiknya Konsultan Hukum Dikecualikan Dari UU Advokat'
Utama

‘Sebaiknya Konsultan Hukum Dikecualikan Dari UU Advokat'

Kebutuhan masyarakat akan pelayanan hukum saat ini sangat tinggi, namun tidak diimbangi dengan jumlah dan penyebaran advokat yang merata.

Oleh:
Rzk
Bacaan 2 Menit
‘Sebaiknya Konsultan Hukum Dikecualikan Dari UU Advokat'
Hukumonline

 

Dia mengemukakan alasan bahwa perkembangan kebutuhan masyarakat saat ini akan pelayanan hukum sangat tinggi, namun tidak diimbangi dengan jumlah dan penyebaran advokat yang merata.  

 

Wahyu berpendapat, ketentuan ini bahkan akan merugikan orang-orang yang karena keilmuan dan pengalamannya disebut pakar atau berprofesi sebagai dosen tetapi tidak dapat memberikan jasa konsultasi hukum karena tidak terdaftar sebagai advokat.

 

Polisi menerapkan Pasal 32 sebagai alat untuk mengklaim keterangan orang yang belum menjadi advokat sebagai keterangan palsu, katanya. Pendapat Wahyu ini didasarkan pada pengalaman yang dialami kantornya ketika salah satu stafnya dijadikan tersangka dengan tuduhan memberikan surat palsu.   

 

Ketentuan peralihan

Sementara itu, Majelis Hakim Konstitusi yang diketuai oleh Prof. Ali Mukhtie Fadjar berpendapat permohonan yang diajukan oleh para pemohon belum tersusun secara sistematis sehingga harus diperbaiki. Pemohon, misalnya, belum menguraikan kedudukan hukum (legal standing, red.) pemohon dalam perkara ini sebagaimana dipersyaratkan oleh UU No. 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

 

Majelis mengingatkan bahwa Pasal 32 ayat (1) UU Advokat yang dipersoalkan oleh pemohon adalah pasal yang termasuk dalam Bab Ketentuan Peralihan sehingga sifatnya sementara. Inti dari Pasal 32 adalah agar status para pihak yang diperoleh sebelum berlakunya UU ini (UU Advokat) tidak dirugikan, jelas Ketua Majelis.

 

Selanjutnya, salah seorang anggota majelis Achmad Roestandi meminta pemohon untuk mencermati kembali permohonan yang mereka ajukan. Roestandi berpendapat maksud dari isi Pasal 32 justru menguntungkan bagi advokat, khususnya mereka yang sudah eksis sebelum UU Advokat berlaku. Jadi, lebih baik dibatalkan saja karena Pasal 32 justru menguntungkan bagi kalangan advokat, ujarnya.

Wacana dikotomi istilah konsultan hukum dengan advokat yang seharusnya rampung bersamaan dengan berlakunya UU No. 18/2003 tentang Advokat, kembali diperdebatkan. Adalah Wahyu Purwana, advokat dari Kota Surakarta yang mengangkat wacana ini dalam sidang pengujian terhadap Pasal 32 ayat (1) UU Advokat di Mahkamah Konstitusi (MK), dimana ia menjadi salah satu pemohon (17/5).

 

Dalam nota permohonannya, Wahyu meminta agar Majelis Hakim Konstitusi menyatakan Pasal 32 ayat (1) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat karena bertentangan dengan UUD 1945, khususnya Pasal 28C ayat (1) dan (2), Pasal 28D ayat (1) dan (3), serta Pasal 28I ayat (2).

 

Dari Pasal 32 ayat (1), saya melihat ada penyamarataan kedudukan antara konsultan hukum dengan advokat yang pada akhirnya menghambat secara konstitusional bagi konsultan hukum mengerjakan aktivitasnya karena belum menjadi advokat, jelas Wahyu, ditemui seusai persidangan.

 

Dikecualikan

Wahyu menilai sebaiknya konsultan hukum dikecualikan dari UU Advokat karena pada dasarnya konsultan hukum tidak bisa disamakan dengan advokat. Berdasarkan kamus Bahasa Indonesia, lanjutnya, konsultan hukum adalah orang yang ahli yang pekerjaannya memberikan petunjuk dengan masalah hukum. Sementara, advokat adalah profesi seseorang yang memberikan jasa dalam bidang hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi syarat yang ditentukan berdasarkan undang-undang.

 

Menurut Wahyu, dengan menyamakan kedudukan konsultan hukum dengan advokat maka kantor-kantor hukum yang jumlah advokatnya sangat terbatas akan mengalami kesulitan. Pasalnya, tugas-tugas mereka tentunya tidak dapat didelegasikan kepada staf yang belum menjadi advokat.

Tags: