'Perbuatan Pegawai MA Bukan Tindak Pidana Korupsi'
Suap MA

'Perbuatan Pegawai MA Bukan Tindak Pidana Korupsi'

Dalam dissenting opinion-nya, Sutiyono memandang perbuatan pegawai MA lebih tepat sebagai tindak pidana penipuan. Kesimpulannya, Pengadilan Tipikor tidak berwenang memeriksa dan mengadili perkara tersebut

Oleh:
Aru
Bacaan 2 Menit
'Perbuatan Pegawai MA Bukan Tindak Pidana Korupsi'
Hukumonline

 

Pasal 378 KUHP

Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

 

Misalnya, terhentinya upaya mempengaruhi putusan dalam perkara Probosutedjo sampai pada Abdul Hamid, Kepala Seksi Pengawasan Pidana Umum MA. Karena, Abdul Hamid menolak membantu memenangkan perkara Probosutedjo. Hal ini menurut Sutiyono menyebabkan unsur mempengaruhi putusan hakim tidak terpenuhi.

 

Selain penolakan Abdul Hamid, kejadian saat perkenalan Pono Waluyo dengan Probosutedjo juga dijadikan dasar pendapat Sutiyono. Saat itu, Pono menipu Probosutedjo ketika dirinya menerima telepon dari Sudi Achmad. Dikatakan Pono ke Probosutedjo, yang menelepon dirinya adalah Bagir Manan.

 

Selanjutnya, soal uang yang diterima oleh para terdakwa, masing-masing; Malem Pagi, Rp30 juta, Sriyadi, Rp1,250 milyar dan Suhartoyo sebesar Rp102 juta, Sutiyono menganggap uang tersebut bukanlah pemberian yang dimaksudkan dalam pasal 5 ayat (2) dan pasal 11 UU Korupsi, tetapi merupakan hasil penipuan sebagaimana yang diatur dalam pasal 378 KUHP. Hal ini didukung fakta cairnya dana dari Probosutedjo setelah Probosutedjo menerima salinan putusan palsu yang dibuat Sudi Achmad.

 

Khusus untuk Suhartoyo, Sutiyono menyatakan Suhartoyo tidak terbukti melakukan permufakatan jahat baik dengan Sudi Achmad, Pono Waluyo untuk memberikan sesuatu hadiah kepada hakim dengan maksud mempengaruhi putusan. Oleh Sutiyono, Suhartoyo dinilai tidak mempunyai peranan dalam pengurusan perkara Probosutedjo. Pasalnya, Suhartoyo tidak pernah diikutsertakan dalam setiap upaya pengurusan perkara Probosutedjo.

 

Pertimbangan Majelis 

Diluar dissenting opinion Sutiyono, hampir sama dengan analisa yuridis penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dalam pertimbangannya, majelis yang diketuai Kresna Menon menyatakan tiga terdakwa, Malem Pagi Sinuhaji, Sriyadi dan Suhartoyo terbukti melakukan permufakatan jahat untuk mempengaruhi putusan hakim dengan memberikan janji atau hadiah. Perbuatan para terdakwa tersebut melanggar pasal 6 ayat (1) huruf a UU Korupsi.

 

Menurut majelis, mengingat sifat tindak pidana dari tindak pidana korupsi itu, maka permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi meskipun masih merupakan tindakan persiapan sudah dapat dipidana penuh sebagai tindak pidana sendiri.

 

Selain itu, para terdakwa juga dianggap terbukti dakwaan kedua yang pertama, yakni melanggar pasal 5 ayat 2 UU Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Karena, para terdakwa sebagai pegawai negeri sipil pada MA menerima uang untuk mengurus perkara korupsi Hutan Tanaman Industri (HTI) dengan terdakwa Probosutedjo yang berada dalam proses kasasi.

 

Probosutedjo

Usai putusan, penasihat hukum Suhartoyo langsung mengajukan banding. Sementara, Malem Pagi dan Sriyadi menyatakan masih pikir-pikir. Ditemui usai sidang, Johnson Damanik, salah satu penasihat hukum Malem Pagi menyatakan jika pendapat Sutiyono telah diuraikan dalam pembelaan. Kronologisnya, kalau tidak ada putusan palsu yang dibuat Sudi Achmad, uang itu tidak akan keluar, tukas Johnson.

 

Meski mengaku menghormati putusan majelis, Johnson menyatakan ada ketidakseimbangan antara legal justice dengan social justice yang dipakai dalam memutuskan perkara ini. Yang lebih menonjol social justice-nya, karena dari awal opini publik sudah dibentuk sedemikian rupa. Sehingga yang disorot dalam perkara bukan perbuatan terdakwa tapi MA-nya. Itu yang dikejar, tutur Johnson.

 

Apalagi, imbuh Johnson, jika perbuatan kliennya dianggap sebagai tindak pidana korupsi, mengapa Probosutedjo sebagai orang yang berkepentingan tidak diseret. Padahal, dalam tindak pidana korupsi, yang menyuruh melakukan, yakni Probosutedjo harus ikut dijadikan tersangka, meski Probosutedjo bertindak selaku saksi pelapor. Beda dengan tindak pidana penipuan, dimana Probosutedjo dapat dianggap sebagai korban.

Tiga pegawai Mahkamah Agung (MA), Malem Pagi Sinuhadji dan Sriyadi serta Suhartoyo yang menjadi terdakwa dalam kasus dugaan penyuapan Ketua MA, Bagir Manan oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dalam dua sidang terpisah dijatuhi hukuman tiga tahun penjara dan denda Rp150 juta subsider enam bulan kurungan.

 

Putusan majelis hakim yang diketuai Kresna Menon tersebut sama persis dengan tuntutan penuntut umum dalam perkara Malem Pagi dan Sriyadi serta Suhartoyo. Sementara, Sudi Achmad yang juga menjadi terdakwa tidak ikut divonis karena yang bersangkutan meninggal dalam proses persidangan.

 

Namun demikian, dalam sidang yang digelar Rabu (28/6), Sutiyono, hakim anggota yang berasal dari unsur karir mempunyai pendapat berbeda (dissenting opinion).

 

Dalam dissenting opinion-nya, Sutiyono menyatakan perbuatan para terdakwa tidak dapat diklasifikasikan sebagai tindak pidana korupsi yang diatur dalam Undang-Undang 31/1999 sebagaimana diubah dengan UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Korupsi). Sehingga, pengadilan tipikor urai Sutiyono tidak berwenang memeriksa dan mengadili perkara tersebut.

 

Menurut Sutiyono, meski terdapat kesalahan dalam perbuatan Malem Pagi, Sriyadi dan Suhartoyo, namun perbuatan itu lebih tepat disebut sebagai tindak pidana penipuan yang diatur dalam Pasal 378 KUHP. Untuk menguatkan pendapatnya, Sutiyono menyebutkan beberapa fakta yang terungkap di persidangan.

Halaman Selanjutnya:
Tags: