Satpol PP Musuh Utama Kaum Miskin Kota
Evaluasi Akhir Tahun LBH Jakarta

Satpol PP Musuh Utama Kaum Miskin Kota

Dalam laporan akhir tahunnya, LBH Jakarta tak hanya menyoroti penegakan hukum dan HAM secara nasional, tapi juga menyoal penegakan hukum di wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya. Masyarakat miskin tetap terpinggirkan.

Oleh:
CRH
Bacaan 2 Menit
Satpol PP Musuh Utama Kaum Miskin Kota
Hukumonline

 

Statemen Asfinawati ada buktinya. Dalam rentang sepuluh tahun terakhir, anggaran penegakan hukum dan penertiban dalam APBD DKI terus menunjukkan kenaikan yang signifikan. Anggaran APBD DKI Jakarta unit kerja Dinas Tramtib dan perlindungan masyarakat tahun 2005-2006 sebesar Rp 145 miliar.

 

Di tingkat suku dinas, besaran anggaran tahun 2006 dapat dilihat dalam tabel berikut ini:

 

Suku Dinas Trantib dan Linmas

Jumlah Anggaran

Jakarta Pusat

10,5 miliar

Jakarta Barat

13 miliar

Jakarta Selatan

14 miliar

Jakarta Timur

14 miliar

Jakarta Utara

11,5 miliar

             Sumber: Bapeda DKI Jakarta 2006

 

Anggaran sebesar itu dikucurkan seiring dengan proyek ambisius gubernur DKI Jakarta, baik dalam hal tata ruang kota maupun transportasi. Berbagai infrastruktur yang dibangun Pemda DKI Jakarta, bagaimanapun juga, berimplikasi terhadap hak atas ruang masyarakatnya. Padahal, kata Asfinawati, ruang kota itu sifatnya komersial dan selalu diperebutkan. Dalam perebutan itu, masyarakat miskin pasti kalah. Akhirnya terjadi penggusuran, tandas Asfinawati. 

 

Selain itu, hak atas identitas menjadi sangat urgen karena dengan itu seseorang diakui menjadi subjek hukum atau tidak. Tanpa memiliki hak atas identitas, seseorang tak akan mendapat hak atas pekerjaan. Otomatis, dia juga tak punya hak atas perumahan, imbuh Asfinawati.

 

Hak atas identitas ini, seringkali diabaikan oleh Pemda DKI Jakarta. Bukti mutakhirnya adalah pelaksanaan operasi yustisi yang baru-baru ini menjerat sejumlah masyarakat pinggiran. Untuk menunjukkan kepeduliannya, LBH Jakarta lantas menggugat instansi terkait dalam bentuk citizen law suit. Gugatan tersebut baru saja didaftarkan ke PN Jakarta Pusat, Rabu (27/12).

 

Menurut Asfinawati, posisi Satpol PP menjadi sangat vital karena menjadi kepanjangan tangan Pemda DKI Jakarta. Sebaliknya, keberadaan satpol PP mengurangi hak atas identitas, hak atas ruang, dan hak atas pekerjaan masyarakat miskin. Karena itu, tak tanggung-tanggung, Asfinawati menyebut Satpol PP sebagai musuh utama masyarakat miskin kota. Gugatan ini sekaligus menjadi pintu masuk untuk menggugat keberadaan Satpol PP, kata Asfinawati.

Menariknya, meski masyarakat miskin Jakarta masih sering menuai ketidakadilan, jumlah penggusuran yang dilakukan Pemda DKI dengan ‘meminjam tangan' Satpol PP tahun ini justru mengalami penurunan. Dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, kasus penggusuran sekarang relatif menurun. Padahal, satu kasus penggusuran saja biasanya melibatkan banyak orang, ujar Hermawanto, ketua divisi advokasi LBH Jakarta. Hal ini berimbas pada menurunnya jumlah orang yang terbantu LBH Jakarta, sebab masyarakat miskin yang terlilit persoalan hukum biasanya mengadu ke LBH Jakarta.

 

Perbandingan kasus dan orang terbantu

 

Tahun

Jumlah kasus yang ditangani

Jumlah orang yang terbantu

2002

1.338

11.478

2003

1.026

21.409

2004

1.097

32.370

2005

1.134

21.409

2006

1.123

10.015

           Sumber: LBH Jakarta

 

Secara umum, jumlah kasus dan orang yang dibantu LBH Jakarta tahun ini memang menurun dibandingkan tahun sebelumnya. Sedangkan klasifikasi kasus pada tahun ini terdiri dari buruh (194 kasus), perkotaan dan masyarakat urban (156), hak-hak sipil dan politik (353), perempuan dan anak (152), khusus (265) dan tanpa keterangan (3).

 

Administrasi Peradilan Mengecewakan

Mengenai kinerja pengadilan di Jakarta dan sekitarnya, Asfinawati melihat ada beberapa kemajuan, seperi adanya hakim yang berani mengambil inisiatif dan terbebas dari intervensi pihak lain. Hanya, dia tak mau menyebut siapa hakim yang dimaksudkannya itu. Tak usah disebut namanya. Nanti GR deh, ujarnya.

 

Tetapi Asfinawati menengarai hal itu sebagai perkecualian. Sebab, secara umum kinerja pengadilan masih sangat buruk, terutama berkaitan dengan administrasi peradilan. Misalnya, putusan suatu kasus baru diberitahukan dua tahun kepada para pihak, padahal hak para pihak itu untuk mendapatkan kepastian hukum secepat mungkin.

 

Pasal 4 UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan, peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan. Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 Tahun 1998 memperjelasnya. Pada prinsipnya, suatu perkara sudah harus diputus dan diselesaikan daam waktu enam bulan pada pengadilan tingkat pertama dan banding. Namun demikian, nyatanya proses peradilan selalu memakan waktu lama. Penyebab utamanya, menurut LBH Jakarta, adalah lemahnya administrasi pengadilan.

 

Gugatan Citizen Law Suit kasus Nunukan merupakan contoh mutakhir betapa tidak beresnya administrasi peradilan di negeri ini. Putusan kasus ini di Pengadilan Tinggi Jakarta baru keluar 4 April 2006 lalu. Terhitung sejak didaftarkan di PN Jakarta Pusat, 24 januari 2003, berarti putusan kasus ini memakan waktu 3 tahun 3 bulan. Putusan itupun butuh waktu 7 bulan untuk diberitahukan kepada pada pihak terkait. Ketidakberesan lainnya, pemberitahuan memori banding dari pemohon diberitahukan kepada termohon pada 19 April 2005 sedangkan memori banding tersebut sudah diajukan 8 Desember 2003.

 

Korban lain dari tidak beresnya administrasi peradilan ini adalah Elina Salim yang harus menunggu 12 tahun untuk mendapatkan putusan yang berkekuatan hukum tetap (putusan MA) atas perselisihan perburuhan yang dialaminya.

 

Menjelang lengser dari kursi gubernur DKI Jakarta, Sutiyoso mendapat penilaian negatif dari LBH Jakarta. Grafik penegakan hukum (yang dilakukan Sutiyoso—red) semakin menggila, terutama terhadap masyarakat miskin. Artinya, masyarakat miskin semakin dipinggirkan, ujar direktur LBH Jakarta Asfinawati usai menyampaikan laporan tahunan berjudul Kembali ke Titik Nol, Kamis (28/12).

Tags: