Menggadang Lahirnya Undang-Undang Investasi
Utama

Menggadang Lahirnya Undang-Undang Investasi

Molornya diundangkannya RUU Penanaman Modal menjadi UU karena Depdagri, Depdag, Deperin dan BKPM saling mengedepankan kepentingannya. Nasib RUU ini pun semakin tak jelas, padahal telah masuk masa injury time

Oleh:
CRY/Lut
Bacaan 2 Menit
Menggadang Lahirnya Undang-Undang Investasi
Hukumonline

 

Sebenarnya apa saja isi RUU ini yang menjadi pokok perdebatan? Berikut intisari beberapa isu penting.

 

Kelembagaan

Cecep mengusulkan agar lembaga BKPM diperkuat kewenangannya. Kewenangan BKPM harus diperbesar supaya bisa berkonsentrasi dan fokus menjalankan tugasnya. Oleh karena itu, lembaga BKPM juga harus diatur dalam UU ini. Jika tidak, sama saja adanya UU Investasi tetap tidak akan memberikan manfaat apapun, ungkap Cecep.

 

Senada dengan Cecep, anggota Komisi VI lainnya dari Fraksi PKS, Zulkieflimansyah menambahkan, BKPM dirombak saja menjadi kementerian. Hanya saja dia mengingatkan, Jika memang ingin dirombak menjadi kementerian, kita harus cepat-cepat membawanya ke pembahasan RUU Kementerian Negara, tambahnya.

 

Zulkifli Hasan, anggota Komisi VI, berpendapat BKPM harus menjadi lembaga kementerian. Hanya saja, anggota Komisi VI lainnya, Muhammad Tonas, mengingatkan kelembagaan ini harus jelas kewenangannya. Yang jelas, sebagian besar anggota Komisi VI menghendaki BKPM ini langsung bertanggung jawab kepada Presiden dan diangkat oleh Presiden –bukan menjadi anak bungsu dalam kabinet.

 

Hasto menjelaskan, entah menjadi kementerian atau tidak, BKPM harus mengantongi kewenangan yang cukup besar. BKPM harus dibentuk oleh Presiden, bertanggung jawab kepada Presiden, dan yang paling penting diatur dalam UU Penanaman Modal. Sehinga, BKPM dapat melakukan pelayanan terpadu satu pintu. Selain itu, BKPM harus punya kewenangan untuk membuat kebijakan di bidang penanaman modal. Kebijakan itulah yang mengatur skala prioritas bidang investasi, sekaligus mengatur fasilitas-fasilitas investasi.

 

Lutfi mengaku bahwa selama ini BKPM merupakan lembaga yang bertugas menarik investasi. Kami ibarat salesman. Menjajakan profil Indonesia supaya investor tertarik. Daripada menjadi lembaga kementerian, lebih baik kami diberi kewenangan dan perkakas yang jelas, tuturnya.

 

Meski demikian, Lutfi tak menolak jika memang BKPM diuah menjadi kementerian. Jika memang kewenangan kami hendak diperbesar dan lembaga kami dirombak menjadi kementerian, terserah para wakil rakyat saja, ujarnya menjawab tanggapan para anggota dewan.

 

Perubahan status BKPM ini bermula dari sinyal yang dilempar oleh Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Taufiq Effendi. Lutfi bercerita, ketika bertemu dengan Taufiq, Taufiq menyampaikan bahwa ada lembaga yang hendak dirombak. Pak Taufiq bilang, setelah menghadap Presiden, lembaga yang hendak dirombak adalah BKPM, begitu tutur Lutfi.

 

Kategorisasi Bidang Usaha

Hasto mengakui saat ini sedang terjadi perdebatan sengit antarinstansi Pemerintah –Departemen Dalam Negeri, Departemen Perdagangan, BKPM– dalam menggolongkan bidang usaha. Masih belum padu suara mereka dalam menggolongkan bidang usaha mana yang termasuk tertutup, mana yang terbuka, dan mana yang terbuka dengan persyaratan ketat.

 

Ketua Komisi VI Prof. Didik J Rachbini melontarkan adanya pembatasan investasi pihak asing di sektor sumberdaya alam. Baik di sektor perkebunan, kehutanan, pertambangan, maupun kelautan. Selama ini kita belum memiliki cantolan hukum yang kuat, jangan sampai keluar PP, Perpres, atau Keppres yang mengatur pengelolaan sumberdaya alam, karena sudah diatur di UUD 1945 dan amandemennya.

 

Didik meminta investasi di sektor sumberdaya alam harus dipertegas statusnya, apakah tertutup atau terbuka dengan persyaratan yang ketat. Ini terkait dengan kepentingan perlindungan sumberdaya alam, perlindungan usaha kecil, peningkatan kapasitas produksi, pengawasan produksi, dan lain-lain. Jangan sampai terulang lagi kejadian penjualan perkebunan ke pihak asing.

 

Didik mencontohkan, investasi asing di China pun dibatasi penguasaan lahannya. Mereka tidak diperbolehkan menguasai lahan yang terlalu luas. Lebih baik statusnya terbuka dengan persyaratan ketat mengingat perlindungan hajat hidup orang banyak.

 

Lutfi mengakui selama ini di Indonesia terhampar 5,5 juta ha lahan sawit. Sekitar 2 juta ha di antaranya ternyata dimiliki pengusaha Malaysia. Luasan itu sama dengan empat kali lipat pulau Singapura.

 

Saat ini Departemen Perdagangan telah menyiapkan draft Daftar Negatif Inventasi (DNI). DNI ini merupakan bidang usaha yang tertutup mutlak. DNI ini dipersiapkan untuk mengganti Keppres 96/2000 jo Keppres 118/2000. Berikut DNI yang tertera di dalam Rancangan Perpres ini:

 

Daftar Bidang Usaha yang Tertutup Mutlak bagi Penanaman Modal (Draft)

Sektor Usaha

Bidang Usaha

Pertanian

Budidaya dan pengolahan ganja dan sejenisnya

Kelautan dan perikanan

Pengambilan terumbu karang (sponge)

Pembudidayaan jenis-jenis ikan yang berbahaya: piranha, vampire catfish (sejenis lele), aligator gar, sidat/belut listrik

Perindustrian

Industri bahan kimia yang merusak lingkungan:

Penta Chlorophenol, Dichloro Diphenyl Trichloro Ethane (DDT), Dieldrin, Chlordane, Carbon Tetra Chloride, Chloro Flouro Carbon (CFC), Methyl Bromide, Methyl Chloroform, Halon, dll.

Industri bahan kimia Skedul-1 Konvensi Senjata Kimia (Sarin, Soman, Tabun, Mustard, Levisite, Ricine, Saxitoxin)

Industri Siklamat dan Sakarin

Industri minuman mengandung alkohol (minuman keras, anggur, dan minuman mengandung malt)

Industri rokok (rokok kretek, rokok putih, dan rokok lainnya)

Perdagangan

Industri kasino/perjudian

Perhubungan

Pemanduan Lalu Lintas Udara (ATS Provider)

Klasifikasi dan Survey Statutoria Kapal

Manajemen dan Penyelenggaraan Stasiun Monitoring Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit

Kehutanan

Kontraktor di bidang pembalakan hutan alam

Sumber: BKPM

 

Fasilitas dan Insentif

Azwir merasa heran sebelumnya, Pemerintahlah yang getol memberikan fasilitas dan kemudahan bagi para pelaku usaha, sedangkan DPR-lah yang enggan memberikan kelonggaran. Namun keadaan saat ini berbalik. Pemerintahlah yang pelit memberikan fasilitas dan insentif, sedangkan DPR bersemangat mewadahi kemudahan melalui RUU Investasi ini. Saya heran kenapa keadaan kini berbalik. Hal ini juga yang menyebabkan lama selesainya pembahasan.

 

Lutfi sendiri merasa insentif pajak selama ini masih kurang. PP 1/2007 tentang Fasilitas PPh rupanya belum mengakomodasi usulan kami. Kami mengusulkan fasilitas kepada industri pengolahan minyak kelapa mentah (Crude Palm Oil, CPO) menjadi minyak goreng sawit, industri pengolahan biji kakao, dan industri oil refinery. Namun tak ditampung dalam PP tersebut.

 

Direktorat Jenderal Pajak memang telah mengeluarkan PP 1/2007 tentang Fasilitas PPh dan PP 7/2007 tentang Pembebasan PPN Barang Primer. Namun Lutfi merasa kurang. Belum ada fasilitas tax holiday, tegasnya.

 

Hasto mengeluh selama ini Pemerintah hanya memberikan fasilitas yang bersifat normatif. Memang, pemberian fasilitas ini adalah domain Pemerintah. Namun setidaknya DPR ingin merinci fasilitas-fasilitas apa saja yang tersedia. Misalnya pengutamaan penyerapan tenaga kerja, investasi di daerah tertinggal, dan konsolidasi industri nasional.

 

Pada RDP dengan Komisi VI DPR RI pada Rabu (7/2), Menteri Perindustrian Fahmi Idris menyayangkan langkah Departemen Keuangan yang menaikkan cukai rokok. Industri rokok kita adalah yang terbesar di dunia. Hanya Indonesia yang memiliki rokok kretek. Kretek tangan cukainya telah dinaikkan dari 22 persen menjadi 30 persen. Padahal industri kretek tangan menyerap 200 ribu tenaga kerja, ujar Fahmi geram. Oleh karena itu Fahmi menginginkan pembebasan sejumlah PPN dan fasilitas fiskallainnya.

 

Akibat kurangnya fasilitas inilah sejumlah dana investasi kabur dari Indonesia. Bahkan, sejumlah pengusaha mengalihkan atau setidaknya mengekspor hasil produksi ke negeri seberang. Misalnya industri cokelat kakao. Malaysia hanya memproduksi 130 ribu ton kakao setahun. Namun negeri jiran ini memiliki kapasitas produksi 350 ribu ton kakao setahun. Selisihnya, dari mana lagi kalau bukan mengimpor dari Indonesia –yang memiliki produksi 450 ribu ton per tahun.

 

Selain itu, Lutfi menginginkan peran serta perbankan untuk lebih mudah mengucurkan kredit. Kalau perlu kita ajak Bank Indonesia untuk terlibat. Prinsipnya adalah kemudahan. Ditambah, jika memang bisa dikerjakan oleh pengusaha dalam negeri, kita utamakan kepada pengusaha lokal daripada investor asing.

 

Lutfi menjelaskan selama ini ada empat hal penting yang dirisaukan oleh para investor. Bagaimana infrastruktur, ketenagakerjaan, perpajakan dan kepabeanan, serta perizinan.

 

Kewenangan Pusat-Daerah

Hal ini memang terkait dengan isu kelembagaan. Lutfi menampik jika kekuasaan daerah bakal dirampas. Bukannya mengambil, tapi mendekatkan kewenangan daerah, dikoordinasikan dalam satu atap di bawah BKPM. Ini memang perintah dari Pak Wapres Jusuf Kalla.

 

Dengan demikian perizinan bisa denan mudah diberikan. Prinsip saya, kalau memang mungkin dikasih izin, pasti saya kasih, sambung Lutfi. Saat ini Lutfi mengaku pelayanan pemberian izin sudah makin cepat dan ringkas menjadi rata-rata 5-6 hari kerja. Sebelumnya BPKM butuh waktu 70 hari untuk meneken pemberian izin.

 

Saat ini pula, BKPM telah mengkaji 263 Peraturan Daerah Kabupaten/Kota (Perda) yang dapat menghalangi terbangunnya iklim investasi. Selanjutnya, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) pada 2006 telah membatalkan 114 Perda tersebut –dan tahun ini Mendagri akan membatalkan 76 Perda.

 

Kewenangan pusat-daerah ini menurut Hasto sesuai dengan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Prinsipnya adalah akuntabilitas dan efisiensi. Tapi dalam konteks seperti ini, penanaman modal yang terkait dengan integrasi antarwilayah, misalnya yang berkaitan dengan pelabuhan, maka sudah menjadi urusan Pemerintah Pusat.

 

Menurut Hasto Pemerintah Pusat bisa mengambil peranan dalam mengatur investasi yang memiliki dampak lingkungan yang sangat tinggi serta penggunaan dana-dana luar negeri.

 

Kita lihat dan awasi saja, ke mana arah bola RUU Penanaman Modal ini. Kapan UU Pasar Modal ini lahir? Masyarakat sudah merasa saat ini sudah memasuki masa injury time.

Sudah sekian lama publik seakan terlupa pada RUU Penanaman Modal. Maklum, isu ini sudah lenyap setahun lebih yang lalu. Namun kali ini tensi pembahasan RUU ini kembali mengencang di gedung parlemen di kawasan Senayan. Maklum, target rampungnya pembahasan RUU ini sudah lewat. Seharusnya RUU ini diundangkan pada Januari lalu.

 

Ternyata para anggota DPR harus menggeser target menyelesaikan RUU ini pada Februari, itu pun kalau tercapai. Tim Kecil (Timcil) harus bekerja keras pada minggu-minggu ini supaya bisa selesai pada Februari, ujar Prof. Cecep Syarifuddin, anggota Komisi VI DPR RI dalam Rapat Dengar Pendapat Komisi VI DPR RI dengan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) di Jakarta, Senin (5/2) lalu.

 

Pihak parlemen sendiri ogah dituding sebagai biang molornya pembahasan. Sekarang ini bola berada di tangan Pemerintah, pada masing-masing departemen terkait. Jika mereka belum bisa padu dalam koordinasi yah memang lama. Dari internal DPR sendiri kami sebenarnya ingin segera menyelesaikannya, ungkap Hasto Kristianto, anggota Komisi VI yang duduk di Timcil sekaligus Panitia Khusus (Pansus) RUU Penanaman Modal.

 

Menurut anggota Komisi VI DPR RI Azwir Dainy Tara, molornya ketuk palu pengesahan UU ini karena bersilangnya kepentingan departemen terkait di Pemerintah. Terlalu banyak perbedaan sektoral antardepartemen. Bedanya kepentingan inilah yang menghambat pembahasan RUU ini, tuturnya.

 

Dikonfirmasi mengenai penyebab mundurnya pengesahan UU Penanaman Modal, Kepala BKPM Muhammad Lutfi mengaku tidak tahu. Saya tidak tahu dan tidak melihat adanya gesekan kepentingan antardepartemen, tandasnya.

Halaman Selanjutnya:
Tags: