PHK Karena Dugaan Pelecehan Seksual
Berita

PHK Karena Dugaan Pelecehan Seksual

Pelecehan seksual di dunia kerja menjadi persoalan yang cukup pelik. Pembuktian merupakan isu terberat dalam kasus pelecehan seksual.

Oleh:
CRK
Bacaan 2 Menit
PHK Karena Dugaan Pelecehan Seksual
Hukumonline

 

Alasan lainnya, pelecehan seksual yang dituduhkan pada KS tidak memenuhi unsur tertangkap tangan, adanya pengakuan yang bersangkutan, atau adanya bukti-bukti atau saksi-saksi yang dapat menguatkan.

 

KS kemudian mengajukan gugatan pada PHI Jakarta, 28 Desember 2006. Gugatan ini sebetulnya yang ketiga kalinya setelah dua gugatan KS sebelumnya berujung putusan niet onvankelijk verklaard (tidak dapat diterima). Keduanya dikarenakan masalah pada surat kuasa KS.

 

Persidangan telah sampai pada tahap kesimpulan. Saat ditemui hukumonline selepas persidangan (15/2), KS mengaku dia memang sedang bersama TS pada saat kejadian, tetapi dia menolak tuduhan manajemen. Saya tidak berbuat apa-apa, tegasnya.

 

Saat penyerahan kesimpulan kemarin (15/2), kedua kuasa hukum Hotel Mahakam dari Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum Persatuan Wartawan Indonesia Jaya (LKBH PWI Jaya) tidak hadir. Ketika hukumonline menghubungi per telepon tidak berhasil pula. Pihak manajemen Hotel Mahakam memilih untuk tutup mulut. Yanti Widowati, HRD Manager hotel, saat dihubungi hukumonline menyatakan pihaknya tidak dapat memberi keterangan tentang perkara ini. 

 

Pembuktian pelanggaran berat

Pelecehan seksual di dunia kerja memang persoalan yang cukup pelik. Pembuktian adalah isu terberat, terutama apabila tidak ada saksi sewaktu pelecehan tersebut dilakukan.

 

Sebenarnya PHK dapat dilakukan oleh pengusaha terhadap dugaan pelanggaran berat dengan beberapa persyaratan berdasarkan Pasal 158 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Namun Mahkamah Konstitusi menyatakan ketentuan tersebut tidak berlaku mengikat. Akibatnya, sebelum pengusaha dapat melakukan PHK terhadap dugaan pelanggaran berat harus  ada terlebih dahulu putusan hakim pidana yang memiliki kekuatan hukum tetap. Sementara hingga saat ini menurut keterangan KS belum ada laporan ke pihak kepolisian dari TS.

 

Ratna Batara Munti, Direktur Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK), mengakui pelecehan seksual cukup banyak terjadi. Namun biasanya sang korban tak bersedia maju memberi kesaksian. Biasanya pelaku pelecehan seksual memiliki relasi kuasa yang lebih powerful dari korbannya, maka korban perlu penguatan supaya dia bisa bersaksi, meski hal tersebut susah, tutur Ratna.

 

Ratna lebih lanjut mengakui kasus yang paling berhasil ditanganinya adalah saat saksi korban lebih dari satu. Salah satu kendalanya ialah asas satu saksi bukan saksi ujarnya. Untuk mengatasinya menurutnya harus ada alat bukti yang lain misalnya kancing yang terlepas, atau mungkin korban yang lainnya.

 

Ia juga menyayangkan rendahnya kesadaran masyarakat terhadap perilaku pelecehan seksual. Lingkungan kerja kadang mengganggap hal tersebut sebagai hal yang biasa, ujarnya.

Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Jakarta kemarin (15/02) kembali menyidangkan kasus pemutusan hubungan kerja (PHK) akibat adanya dugaan pelecehan seksual yang dilakukan KS mantan Senior Staff Security pada Hotel Grand Mahakam Sofitel Jakarta. KS dipecat oleh manajemen hotel itu, PT Mahakam Eka Graha, lantaran dituduh melakukan pelecehan seksual terhadap TS, wanita Guest Relation Officer hotel itu.

 

Pada 21 Januari 2006, TS melaporkan KS kepada atasannya. TS menuduh KS telah melakukan pelecehan seksual saat keduanya sedang bekerja. Seperti dijabarkan dalam dokumen Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Jakarta Selatan, TS menuduh KS meraba bagian pundak hingga pantat TS, dan KS memegang-megang kemaluannya sendiri dihadapan TS. Menurut TS kejadian saat ia mengantar koran ke kamar tamu hotel itu berulang, tiga kali. Sayangnya, tidak ada orang lain di tempat kejadian.

 

KS dan TS kemudian dipanggil atasannya dan dimintai keterangan, namun keduanya bertahan dengan versi masing-masing. Setelah melakukan penelusuran Hotel  Mahakam kemudian memutuskan untuk menjatuhkan sanksi skorsing PHK terhadap KS pada 10 Februari 2006. Dasarnya, pelanggaran peraturan perusahaan yaitu larangan perbuatan asusila dan Pasal 158 huruf (d) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU No. 13/2003) tentang kesalahan berat pekerja termasuk asusila di lingkungan kerja.

 

Sebetulnya saat mediasi oleh Disnaker, dalam sidang mediasi baik KS dan TS tetap pada pendiriannya masing-masing. Mediator pun menganjurkan Hotel Mahakam untuk mempekerjakan kembali KS. Dalam surat anjurannya tertanggal 25 April 2006, mediator berpendapat Inti permasalahan adalah pelecehan seksual yang dilakukan pekerja terhadap rekan sekerjanya, dimana perbuatan tersebut bukan lingkup yurisdiksi peraturan ketenagakerjaan.

Tags: