Seorang Dokter Minta Pasal Makar dan Permusuhan dalam KUHP Diuji
Berita

Seorang Dokter Minta Pasal Makar dan Permusuhan dalam KUHP Diuji

Untuk kedua kalinya, KUHP dimohonkan pengujian oleh perseorangan warga negara ke Mahkamah Konstitusi. Kali ini yang dimohonkan adalah pasal makar dan pasal-pasal tentang pernyataan permusuhan, kebencian dan penghinaan kepada pemerintah.

Oleh:
CRK
Bacaan 2 Menit
Seorang Dokter Minta Pasal Makar dan Permusuhan dalam KUHP Diuji
Hukumonline

 

Panji mengklaim hak konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya pasal 107, 154, 155, 160, 161, 207, dan pasal 208 KUHP. Kerugian konstitusional itu antara lain dalam bentuk pembatasan ruang gerak pemohon untuk memperjuangkan hak-hak para pengungsi. Konsekwensi penerapan pasal-pasal tersebut, berakibat pemohon tidak bisa mencari pendapatan selama di penjara sehingga harus mencari pinjaman uang, tambah pemohon.

 

Pasal 107 dikenal sebagai pasal makar. Menurut pasal ini, makar yang dilakukan dengan maksud untuk menggulingkan pemerintahan diancam dengan pidana penjara maksimum lima belas tahun. Pimpinan makar terancam hukuman yang lebih berat, bisa seumur hidup.

 

Pasal 154 menyebutkan Barangsiapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau meremehkan terhadap pemerintah Indonesia, diancam dengan pidana penjara maksimum tujuh tahun atau pidana denda maksimum tiga ratus rupiah.

 

Kuasa hukum Panji, AH Wakil Kamal mengatakan  bahwa pasal-pasal tadi terlalu umum dan multi-tafsir. Pemerintah begitu bebas menafsirkannya sehingga berpotensi melanggar hak asasi warga negara dan demokrasi. Misalnya frase 'menggulingkan kekuasaan' dalam pasal tersebut, tak dijelaskan apa yang dimaksud dengan menggulkingkan. Sudah bukan saatnya memberlakukan pasal-pasal yang demikian, ujarnya.

 

Atas dasar itu, Panji meminta pasa-pasal pernyataan permusuhan, kebencian dan penghinaan kepada Pemerintah itu dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Panji berpendapat bahwa pasal-pasal tersebut satu nafas dengan haatzai artikelen yang sudah 'dibatalkan' Mahkamah Konstitusi. Sebelumnya, Mahkamah memang menyatakan pasal 134 dan pasal 136 bis KUHP bertentangan dengan UUD 1945.

 

Namun, sidang panel perdana yang dipimpin hakim konstitusi Harjono, Senin (25/2), masih menasehati pemohon agar memperbaiki permohonannya. Hakim meminta pemohon menguraikan unsur-unsur dari pasal pidana yang dimohonkan. Permohonan juga masih dianggap terlalu banyak menguraikan peristiwa demonstrasi yang menyebabkan pemohon dibawa ke pengadilan, daripada menguraikan hubungan sebab akibat berlakunya pasal-pasal KUHP dengan kerugian konstitusional pemohon.

 

Adalah R. Panji Utomo, seorang pengurus Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Jakarta Selatan, yang mengajukan permohonan tersebut. Lewat kuasa hukumnya dari Masyarakat Hukum Indonesia (MHI), Panji memasukkan judicial review setelah bebas dari penjara di Banda Aceh. Peristiwa yang menyeret Panji ke balik jeruji bermula dari posisinya sebagai Direktur Forum Komunikasi Antar Barak (FORAK) pengungsi Aceh.

 

Ia dimintai pertanggungjawaban pidana atas demo yang berakhir rusuh di depan kantor Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh pada 20 September 2006 silam. Ia dianggap bertanggungjawab atas pernyataan-pernyataan di depan demonstran. Pengadilan Negeri Banda Aceh memvonis Panji tiga bulan penjara. Ia baru bebas pada 29 Desember 2006. menurut pengadilan, Panji terbukti melakukan tindak pidana di muka umum mengeluarkan pernyataan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap Pemerintah negara Indonesia.

Tags: