Nasib RUU Pengendalian Dampak Rokok dan Tembakau Masih Menggantung
Berita

Nasib RUU Pengendalian Dampak Rokok dan Tembakau Masih Menggantung

Tak satupun agenda DPR pada tahun ini yang menggolkan RUU Pengendalian Dampak Rokok dan Tembakau. Pemerintah juga alpa meratifikasi Konvensi Internasional tentang Dampak Rokok.

Oleh:
CRY
Bacaan 2 Menit
Nasib RUU Pengendalian Dampak Rokok dan Tembakau Masih Menggantung
Hukumonline

 

Selain tegangnya benang merah yang menghubungkan dunia kesehatan di satu sisi dan industri di pihak seberang, masalah ini justru datang dari dalam gedung Senayan itu sendiri. DPR dan Baleg terikat oleh UU 10/2004 yang mengatur Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Prolegnas ini daftar dari RUU yang harus diselesaikan dalam lima tahun. Dalam daftar lima tahun itu, kita memilih setiap tahunnya RUU mana yang menjadi prioritas pada tahun-tahun yang bersangkutan, tutur Bomer.

 

Dengan demikian, RUU yang diinisiasi baik oleh pihak DPR, DPD, dan kubu Pemerintah sudah mencapai 200 buah. Padahal kemampuan kami pada tahun 2007 ini maksimal menyelesaikan 78 RUU, curhat Bomer. Dalam daftar 78 RUU yang harus tuntas pada tahun ini, celakanya, RUU Dampak Rokok dan Tembakau bukanlah salah satunya.

 

Tahun depan pun belum tentu RUU ini menjadi prioritas. Itu akan kita evaluasi kemungkinan diprioritaskannya pada tahun depan. Kita masih menginjak masalah prosedural. Yaitu, programatikal Prolegnas itu tadi. Setiap tahun sudah dirancang proritas masing-masing RUU. Untuk tahun depan, masih kita lihat lagi kemungkinannya, ujar Bomer.

 

Tentu saja, kita tak bisa berharap penuh RUU ini bisa selesai pada tahun depan. Bukan tahun depan langsung kita prioritaskan. Kita akan evaluasi pada akhir tahun ini, kemudian kita adakan kajian mendalam, lalu disidangkan dalam Paripurna. Demikian prosedurnya, kilah Bomer.

 

Kondisi prosedural ini pun bakal dilanjutkan dengan masalah substansial. Kita belum menyentuh masalah substansial yang pasti banyak menguras perdebatan. Materi RUU ini belum didiskusikan dengan intens oleh berbagai pihak, tuturnya.

 

Belum Diratifikasi

Bomer memberi saran, jika RUU ini serius hendak secepatnya dirampungkan, Pemerintah kudu meratifikasi Konvensi Internasional tentang Dampak Rokok terlebih dahulu. Pemerintah seharusnya bisa memelopori ratifikasi kesepakatan internasional tersebut. Dan itu merupakan satu langkah yang mengharuskan kita membuat UU ini, tukas Bomer.

 

Bomer melihat UU Pengendalian Dampak Rokok dan Tembakau adalah hukum domestik atau nasional (domestic law) untuk mengamini ratifikasi tersebut. Jika hendak melangkah secara sistematik, tolong diratifikasi konvensi tersebut. Langkah selanjutnya, mendomestikkan ukum internasional tersebut ke dalam hukum domestik. Indonesia adalah salah satu negara yang belum meratifikasi Konvensi tentang Dampak Rokok tersebut, tuturnya.

 

Bomer meyayangkan Pemerintah yang belum berinisiatif meratifikasi konvensi tersebut. Kita potong jalur (by pass) dengan mengajukan RUU terlebih dahulu, sebelum meatifikasi, memang tidak salah. Namun alangkah baiknya jika kita meratifikasinya supaya sistematis dan lebih bagus. Percayalah, langkah tersebut akan menguntungkan dan mempercepat pembahasan RUU ini, pungkasnya.

Jika Anda seorang juragan tembakau, atau setidaknya seorang perokok, bergembiralah. Setidaknya Anda masih bisa menikmati pekatnya kepulan (bisnis) asap rokok untuk beberapa waktu ke depan. Sebaliknya, jika Anda adalah aktivis di bidang kesehatan, bersiaplah untuk kecewa.

 

Maklum, RUU Pengendalian Dampak Rokok dan Tembakau takkan disentil pada tahun ini oleh para anggota DPR. Awal tahun ini maupun pertengahan tahun, kami belum bisa memasukkannya ke dalam prioritas RUU, ujar Wakil Ketua Badan Legisliasi (Baleg) DPR RI Bomer Pasaribu akhir pekan lalu.

 

Banyak kendala merampungkan RUU yang satu ini. Maklum saja, RUU ini membawa dampak tarik-menarik kepentingan yang hebat antara pentingnya kesehatan dan kemajuan industri rokok itu sendiri.

 

Industri rokok Indonesia adalah yang terbesar. Tak satupun negara yang bisa meproduksi rokok kretek. Adanya RUU tersebut, jelas merupakan ancaman bagi industri rokok dan tembakau, teriak Menteri Perindustrian Fahmi Idris tiga minggu silam (7/2) –dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VI DPR RI.

 

Kenaikan tarif cukai saja sudah memukul industri ini. Mau diarahkan ke mana industri rokok ini tak pernah jelas. Mau dijadikan industri unggulankah? sambung Fahmi berapi-api.

Tags: