Saling Adu Ahli dalam Sidang UU Narkotika
Berita

Saling Adu Ahli dalam Sidang UU Narkotika

Meski sama-sama menganggap sebagai kejahatan yang serius, tapi untuk urusan jenis hukumannya, para ahli berbeda pendapat.

Oleh:
IHW
Bacaan 2 Menit
Saling Adu Ahli dalam Sidang UU Narkotika
Hukumonline

 

Saat ditanya oleh Harjono, salah seorang panel hakim, mengenai dapatkah kejahatan peredaran gelap narkotika diklasifikasikan ke dalam kejahatan berat, Alston menjelaskan kejahatan peredaran gelap narkotika pantas untuk dikenakan hukuman yang berat, tapi bukan hukuman mati. Karena kejahatan narkotika tidak mengakibatkan kematian secara langsung, kata Alston.

 

Prof. J.E Sahetapy, menyatakan bahwa hukuman mati bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila. Hukuman mati jangan hanya dipandang dari sisi positivistik-legalistik. Coba pahami dari sudut pandang kriminologi-viktimologi, ujar Ketua Komisi Hukum Nasional ini.

 

Dari sudut pandang kriminologi, Sahetapy mempertanyakan sejauh mana efektifitas hukuman mati terhadap penegakkan hukum. Sedangkan secara sosiologis, Sahetapy berpendapat bahwa masalah peredaran narkotika harus juga dikaitkan dengan motif yang ada di belakangnya. Berdasarkan fakta yang sering kita lihat di media, sebagian besar pengedar narkotika diakibatkan oleh kemiskinan. Jadi tidak ada niat untuk menghancurkan generasi muda dan sebagainya, tuturnya.

 

Henry Yosodiningrat, yang juga Ketua Umum DPP Gerakan Anti Narkotika (Granat) itu, membantah pernyataan Sahetapy. Menurutnya, ancaman hukuman mati hanya dikenakan kepada pengedar narkotika yang terkait dalam sindikat pengedar yang lebih besar. Sedangkan pada pengedar biasa yang motifnya memang benar-benar sekedar untuk mengisi perut, ancaman hukumannya tidak seperti itu (hukuman mati, red), kata Henry kepada hukumonline.

 

Jeane Mandagi yang merupakan konsultan ahli Badan Narkotika Nasional (BNN) menguatkan pendapat Henry.  Jeane mengatakan, berdasarkan  Pasal 80 jo Pasal 81 jo Pasal 82 UU No 22 tahun 1997 tentang Narkotika, ancaman hukuman mati hanya dikenakan kepada mereka yang memproduksi, mengedarkan, menjual narkotika golongan I saja. Sedangkan terhadap narkotika golongan II dan III, ancaman hukuman mati tidak diberlakukan.

 

Penjelasan Pasal 2 UU Narkotika

Narkotika Golongan I adalah narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan.

Narkotika Golongan II adalah narkotika yang berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan.

Narkotika Golongan III adalah narkotika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan.

 

Lebih jauh, Jeane mengatakan bahwa UU Narkotika tidak lahir dengan sendirinya. UU Narkotika ternyata merupakan undang-undang hasil harmonisasi terhadap Konvensi PBB tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika tahun 1988, yang sebelumnya sudah diratifikasi melalui UU No 7 Tahun 1977.

 

Rudi Satriyo, ahli Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) menilai pidana mati masih dibutuhkan dalam sistem hukum di Indonesia. Hukuman mati berfungsi untuk memberikan efek jera kepada anggota masyarakat yang lain, tutur Rudi. Selain itu, sambung Rudi, pidana mati memiliki manfaat secara sosiologis yaitu melindungi masyarakat dari kejahatan.

 

Di penghujung persidangan, Rachlan Nashidik membuat sebuah testimoni bahwa dirinya dan salah seorang anggota keluarganya pernah menjadi korban dari kejahatan Narkotika. Oleh karenanya ia sangat sependapat bahwa penegakkan hukum terhadap kejahatan narkotika harus benar-benar dilakukan.  Tapi bukan dengan hukuman mati. Karena hak seseorang untuk hidup adalah hak asasi yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun, tandasnya.

 

Ruang sidang Mahkamah Konstitusi hari Rabu (18/4) seakan menjadi ajang debat bagi para ahli hukum, baik yang berprofesi sebagai akademisi maupun  praktisi. Isu yang menjadi bahan perdebatan adalah masih layak atau tidakkah pidana mati dicantumkan dalam UU No 22 Tahun 1997 tentang Narkotika.

 

Seperti pernah diberitakan sebelumnya, MK saat ini sedang menguji permohonan uji materil UU Narkotika, khususnya pasal yang mengatur pidana mati terhadap terpidana kasus narkotika. Agenda sidang adalah mendengarkan keterangan ahli yang diajukan para pihak.

 

Pihak pemohon mengajukan Philip Alston, JE Sahetapy dan Rachland Nashidik sebagai ahli. Sedangkan pihak Pemerintah dan Badan Narkotika Nasional (BNN) menghadirkan Achmad Ali, Rudi Satriyo, Brigjen Pol (Purn) Jeane Mandagi dan Henry Yosodiningrat.

 

Philip Alston, Special Rapporteur PBB, melalui teleconference, memulai perdebatan dengan mengutarakan bahwa di beberapa negara seperti Zimbabwe, Yugoslavia dan Rwanda hukuman mati sudah dihapuskan. China dan Korea Selatan, kata Alston, juga akan menghapusnya. Saya berharap itu juga terjadi di Indonesia, tuturnya. Namun demikian, lanjut Alston, komunitas internasional sudah bersepakat untuk menyatakan bahwa hukuman mati pantas diberikan kepada pelaku kejahatan yang tergolong serius, yang berujung pada penghilangan nyawa orang.

 

Atas keterangan Alston, Abdul Rahman Saleh, Jaksa Agung yang mewakili pemerintah, tidak mau mengajukan pertanyaan apa pun. Bahkan Arman, nama sapaan Jaksa Agung, menyatakan bahwa beberapa pendapat Alston malah menguatkan untuk keberadaan hukuman mati di Indonesia. Beliau (Alston) malah mengakui bahwa kepada negara-negara diberikan pilihan untuk tetap mempertahankan atau malah menghapuskan hukuman mati, terang Arman. Selain itu, ia berpendapat berdasarkan keterangan Alston, tidak ada negara yang mendapat sanksi dari dunia internasional jika tetap mempertahankan hukuman mati.  Hanya himbauan moral saja, ujarnya

Halaman Selanjutnya:
Tags: