Aktivis Perempuan Siap Intervensi Pengujian Aturan Poligami
Berita

Aktivis Perempuan Siap Intervensi Pengujian Aturan Poligami

Poligami hanyalah pintu darurat. Undang-Undang Perkawinan justeru meminimalisir poligami. Lalu, mengapa hendak dipermudah lagi?

Oleh:
CRM/CRA
Bacaan 2 Menit
Aktivis Perempuan Siap Intervensi Pengujian Aturan Poligami
Hukumonline

 

Dengan enteng Insa mengatakan bahwa pendapat para ulama yang disitir Roestandi hanya sebuah tafsir. Tafsir itu bisa benar dan bisa salah, ujarnya.

 

Ratna Batara Murti sependapat dengan Roestandi bahwa poligami adalah pintu darurat. Lepas dari perdebatan itu, Ratna yakin bahwa poligami merupakan wujud diskriminasi terhadap kaum perempuan. Poligami sering berujung pada kekerasan terhadap isteri dan anak-anak. Salah satu bentuk kekerasan dalam rumah tangga adalah perselingkuhan. Sementara, kata Ratna, poligami merupakan perselingkuhan yang dilegitimasi undang-undang. UU Perkawinan justeru menggunakan asas monogami, bukan poligami.

 

Revivi UU Perkawinan

Sebagai tindak lanjut ‘perlawanan' terhadap praktek poligami, Jaringan Kerja Prolegnas Perempuan sudah menyusun revisi UU Perkawinan. Ratna menuturkan ada empat hal yang menjadi prioritas perubahan UU Perkawinan. Hal yang paling utama, tentu saja, tolak poligami, ujarnya. Menurutnya harus ada penyelarasan antara Pasal 4, Pasal 3 dan Pasal 1 UU Perkawinan. Harus selaras antara azas monogami dan definisi perkawinan, tegasnya.

 

Kedua adalah masalah usia kawin juga menjadi agenda revisi. Ada perbedaan usia kawin antara anak laki-laki dan perempuan. Anak perempuan boleh menikah pada umur 16 tahun,  jelasnya. Manurut Ratna, hal itu justru melegitimasi perkawinan di bawah umur. Karena dalam UU Perlindungan Anak (UU No. 23 Tahun 2002 –red) disebutkan usia anak dibawah 18 tahun, tambahnya.

 

Ketiga adalah masalah tanggung jawab anak di luar nikah. Pertanggungjawaban terhadap anak luar nikah tidak bisa dibebankan kepada ibunya saja, bapak biologis juga harus bertanggungjawab cetusnya. Sebab yang dimaksud orang tua dalam UU Perlindungan Anak adalah ayah dan ibu kandung. Kalau hanya ibu yang dibebankan tanggung jawab artinya melanggar UU Perlindungan Anak, cetusnya.

 

Keempat adalah kebijakan soal nafkah. Ini terkait dengan pembakuan peran gender, dimana perempuan disubordinasikan perannya sebagai makhluk domestik, kata Ratna. Menurutnya peran laki-laki sebagai kepala rumah tangga tidak bisa dibakukan, karena itu terkait dengan kemampuan, komitmen, dan kesepakatan antara kedua belah pihak. Tidak bisa ditentukan sendiri oleh pihak laki-laki. Faktanya, banyak perempuan yang menjadi kepala rumah tangga tapi tidak diakui oleh negara.

 

Ketentuan Undang-Undang Perkawinan dinilai M. Insa terlalu mengekang hak konstitusionalnya sebagai warga negara untuk melakukan poligami. Oleh karena itu, ia meminta Mahkamah Konstitusi menyatakan pasal-pasal poligami dalam UU No. 1 Tahun 1974 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

 

Namun langkah M. Insa tersebut ditentang kalangan aktivis perempuan. Kalau ada kelompok atau individu yang ingin memperkuat atau memperkukuh poligami, akan menjadi musuh kami, ujar aktivis perempuan Ratna Batara Murti.

 

Ratna dimintai tanggapan seputar permohonan judicial review M. Insa yang mulai disidangkan Kamis (10/5) kemarin.  Koordinator Divisi Kajian dan Kebijakan LBH APIK itu menegaskan bahwa pihaknya akan memantau terus persidangan dan wacana yang berkembang. Jika Mahkamah Konstitusi sampai mengabulkan permohonan Insa, kata Ratna, sama saja melanggengkan diskriminasi atas dasar jender. Oleh karena itu, pihaknya akan mempertimbangkan untuk melakukan intervensi. Apabila diperlukan kami akan lakukan intervensi, ujarnya kepada hukumonline.

 

Dalam persidangan, Insa menegaskan bahwa pasal-pasal yang ‘membatasi' poligami dalam UU Perkawinan merugikan hak konstitusionalnya untuk menjalankan ibadah agama. Insa berdalih bahwa sesuai keyakinannya perkawinan adalah sebuah ibadah. Menurut undang-undang, hak beragama tidak boleh dikurangi oleh suatu apapun, ujarnya.

 

Salah satu syarat poligami yang dipersoalkan Insa adalah keharusan mendapatkan izin dari isteri. Pria warga Bintaro Jakarta Selatan ini berpendapat UU Perkawinan pada dasarnya menggunakan asas poligami. Pandangan ini sempat dipertanyakan hakim konstitusi Achmad Roestandi. Apakah benar asas perkawinan dalam Islam adalah poligami, bukan monogami. Padahal sebagian ulama berpendapat bahwa poligami adalah pintu darurat, kata Roestandi.

Tags: