Kalangan Buruh Menilai RPP Pesangon Diskriminatif
Utama

Kalangan Buruh Menilai RPP Pesangon Diskriminatif

Kaum pekerja menganggap RPP Pesangon sebagai awal dari upaya pemerintah merevisi UU Ketenagakerjaan yang sempat kandas. RPP ini dinilai masih sangat diskriminatif.

Oleh:
Ycb
Bacaan 2 Menit
Kalangan Buruh Menilai RPP Pesangon Diskriminatif
Hukumonline

 

Menurut Timbul, RPP ini akal-akalan dari instansi yang merupakan tetangga Departemen Perindustrian lantaran usulan revisi Undang-Undang 13/2003 tentang Ketenagakerjaan mental. Dalam aksi May Day 2006, seluruh elemen buruh serempak mengusung isu tolak revisi UU tersebut. Sebuah UU harus dibahas dengan DPR. Nah, pemerintah mau merevisi UU Ketenagakerjaan secara parsial dan aman lewat PP, sergah Timbul.

 

Jantung Perdebatan

Hukumonline memperoleh draf RPP tersebut via seorang anggota dewan. RPP itu hanya berisi empat pasal. Jantung yang menjadi perdebatan adalah Pasal 2. OPSI merisaukan besaran komponen pengali (multiplyer) besaran pesangon. Dalam draf itu, besaran uang saku akan dikalikan lima kali Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). PTKP saat ini setara dengan Rp1,1 juta. Akibatnya, pekerja yang bergaji di atas Rp5,5 juta amat dirugikan oleh RPP ini, ungkap Timbul.

 

Draf PP Pesangon, Versi 28 Mei 2007

 

Pasal 2

(1) Upah yang digunakan sebagai dasar perhitungan uang pesangon dan uang penghargaan masa kerja paling banyak sebesar 5 kali PTKP.

(2) Dasar perhitungan uang pesangon dan uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak dan bagi pekerja/buruh yang upahnya di atas 5 kali PTKP tetap berdasarkan upah sebesar 5 kali PTKP.

 

Pasal 3

Upah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 sesuai dengan Pasal 157 UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan.

 

Simulasi Penghitungan Besaran Pesangon sesuai RPP Pesangon

 

Seorang karyawan dengan masa kerja 10 tahun, menerima total gaji dan tunjangan tetap bulanan Rp10 juta. Karyawan tersebut tidak punya sisa hari cuti. Karyawan tersebut terkena PHK lantaran efisiensi.

 

Besaran uang yang dia terima:

-  Pesangon Pasal 156 ayat (2)

   2 x 9 x PTKP = 18 x PTKP

-  Penghargaan Pasal 156 ayat (3)

   4 x PTKP

Total pesangon dan penghargaan = (18+4) x PTKP = 22 x PTKP

-  Penggantian hak Pasal 156 ayat (4)

   15 persen x 22 (pesangon plus penghargaan) x PTKP = 3,3 x PTKP

Total uang yang akan diterima = pesangon, penghargaan, penggantian hak x PTKP = 25,3 x PTKP = 25,3 x Rp5,5 juta atau setara Rp139.150.000.

 

Karyawan bisa bernegosiasi untuk penghitungan pesangon yang belum terkover dalam PTKP. Atau, faktor pengali Rp4,5 juta (selisih upah bulanan Rp10 juta – PTKP Rp5,5 juta) dirundingkan secara bipartit.

 

Sumber: Wawancara OPSI

 

Di sisi lain, Timbul mengakui, baik pengusaha maupun pekerja PHK boleh membahas kekurangan hitungan pesangon secara bipartit. Kalau tidak terdapat titik temu, keduanya berselisih kepentingan. Bukan perselisihan hak loh, ujar Timbul menekankan. Artinya, jika menuju Pengadilan Hubungan Industrial (PHI), pihak pekerja tidak dilindungi dasar hukum yang kuat. Tidak ada pijakan hukumnya, semua lantaran negosiasi.

 

Harus Akomodatif

Dalam sebuah paper tertanggal 26 Mei 2007, Depnakertrans menjelaskan latar belakang perlunya PP Pesangon. Hal ini terkait dengan masih banyaknya kasus pemutusan hubungan kerja (PHK) yang mangkrak. Jumlahnya cukup fantastis, 60 ribu kasus.

 

Niatan untuk menuntaskan kasus tersebut, membuat Depnakertrans menggunakan dasar PTKP. Alasannya cukup logis, peraturan PTKP itu sangat dinamis dan bisa disesuaikan dengan perkembangan ekonomi.

 

Apalagi, jumlah pekerja yang berupah lebih dari Rp5,5 juta hanya 0,87 persen dari total buruh. Badan Pusat Stastistik (BPS) mencatat pada Januari 2007 ada 93 ribu buruh berupah Rp5 juta – Rp6 juta. Pun, terdapat 140 ribu pekerja kerah putih yang berpenghasilan di atas Rp6 juta, dari 26,8 juta total karyawan.

 

Walaupun jumlah pekerja elit hanya sedikit, OPSI tetap ngotot menolak RPP tersebut. Kami berkarir juga dari bawah hingga masa kerja yang lama. Toh setiap rupiah dari gaji kami dipotong untuk bayar pajak, ujar Yanuar. Artinya, penerapan RPP ini akan memecah-belah kalangan pekerja secara horizontal. RPP ini mengkastakan pekerja kerah biru dan buruh kerah putih, sambung Yanuar.

 

Ditemui terpisah, Wakil Ketua Komisi IX Max Sopacua mengaku baru menerima draft PP itu hari ini (28/5). Kami baru menerimanya pagi tadi pukul 10, dan akan mempelajarinya dahulu. Tentu kalau RUU kami bisa terlibat namun tidak untuk RPP, ujar anggota Fraksi Partai Demokrat ini ketika memimpin sidang pertemuan dengan OPSI.

 

Namun, Max juga mewanti-wanti, meski murni urusan pemerintah, PP ini harus menampung keinginan semua kalangan buruh. Pendapat Max senada dengan Ketua Komisi IX Ribka Ciptaning. Saya pernah berbincang dengan Mas Erman (Menakertrans, red). Saya bilang, walau ini wilayah Anda, tolong jangan menabrak UU Ketenagakerjaan. Materi RPP ini jangan lebih buruk daripada UU Ketenagakerjaan, tutur Max.

 

Meski demikian, Ribka menghargai langkah kalangan eksekutif. Mereka beritikad baik mengirim RPP ini kepada kami. Pemerintah meminta masukan dari kalangan legislatif karena PP itu implementasi dari UU, ujarnya.

 

Sementara itu, Erman masih enggan mengomentari materi bakal produk hukum tersebut. Saya masih menunggu laporan hasil forum tripartit, ujarnya dari balik sambungan telepon genggam, di Malaysia. Erman beserta rombongan Depnakertrans mendampingi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam forum ekonomi islami. Rencananya, Erman Selasa sore (29/5) balik ke tanah air.

 

Forum tripartit tersebut melibatkan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Aspindo) dan perwakilan serikat pekerja. Diskusi kaki tiga ini membahas baik-buruknya RPP ini. Erman pun belum bisa memastikan paket RPP ini tuntas akhir Mei. Kita tunggu dulu hasil pertemuan tiga pihak yah," sergahnya. 

Waktu makin merambat beralih dari siang menuju sore. Lima puluhan orang masih sabar berkumpul di muka pintu Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Rupanya mereka hendak mengadukan suatu masalah kepada komisi yang menangani perburuhan dan kesehatan ini. Akhirnya sekitar pukul 14:30 Komisi IX menerima rombongan itu selama satu jam.

 

Mereka tergabung dalam Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI). Kami ingin menyampaikan penolakan atas Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) yang dibikin oleh Pak Erman Suparno (Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi-Menakertrans, red), celetuk Timbul Siregar, Wakil Presiden OPSI.

 

Ada dua RPP yang saat ini tengah disiapkan oleh Depnakertrans. Keduanya adalah RPP tentang Perubahan Perhitungan Uang Pesangon dan Perhitungan Uang Penghargaan Masa Kerja (RPP Pesangon) serta RPP Jaminan PHK. Sedianya RPP tersebut kelar akhir Mei ini. Yang panas menuai kecaman adalah draf pertama. RPP Pesangon ini diskriminatif dan bisa memecah-belah buruh, ujar Presiden OPSI Yanuar Rizky tak mau kalah.

 

Menyeruaknya dua RPP ini tak lepas dari upaya pemerintah untuk merevisi UU Ketenagakerjaan. Namun, revisi itu gagal total akibat penolakan yang dilakukan oleh kaum pekerja. Tampaknya, pemerintah memanfaatkan celah Pasal 156 ayat (5) UU Ketenagakerjaan. Bahwa perubahan perumusan pesangon dimungkinkan dilakukan melalui PP. Kalau dua RPP ini berhasil disahkan, selanjutnya akan ada RPP Outsourcing, duga Timbul.

 

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003

Tentang Ketenagakerjaan

 

Pasal 156 ayat (5)

Perubahan perhitungan uang pesangon, perhitungan uang penghargaan masa kerja, dan  uang  penggantian hak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Halaman Selanjutnya:
Tags: