Fraksi PAN Beri Tiga Poin Minderheitsnota
Pengesahan RUU KUP

Fraksi PAN Beri Tiga Poin Minderheitsnota

Sepuluh fraksi sepakat bulat menerima pengesahan RUU KUP. Meski demikian, Fraksi PAN memberi catatan keberatan.

Oleh:
Ycb/Lut
Bacaan 2 Menit
Fraksi PAN Beri Tiga Poin <i>Minderheitsnota</i>
Hukumonline

 

Meski demikian, sidang tersebut masih menyisakan hal yang menarik. Fraksi Partai Amanat Nasional (FPAN) mengajukan tiga poin nota keberatan (minderheitsnota). Pandangan fraksi matahari putih berbendera biru ini disampaikan oleh Marwoto Mitrohardjono.

 

Rupanya PAN masih tidak terima karena BPP batal dibentuk. PAN menilai kerja Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sudah terlalu luas. Marwoto mencontek praktek beberapa negara maju. Menurutnya, BPP adalah institusi independen di luar Depkeu yang mengurusi pasokan pajak. Meski, secara kebijakan masih dipegang oleh Menkeu, tukas anggota Komisi XI ini (Komisi yang membidangi Anggaran, Perbankan, dan Keuangan Negara).

 

Uniknya, Ani menanggapi, beberapa negara pun masih menempatkan DJP di bawah Depkeu. Kami masih memperbaiki koordinasi dan perbaikan administrasi teknis dan operasional dalam satu atap, ujar Ani memberi alasan. Ani juga menambahkan, saat ini Depkeu masih membutuhkan penyempurnaan dan penyerasian kebijakan perpajakan.

 

PAN juga tidak sepakat menggunakan istilah Wajib Pajak (WP). Menurut Marwoto, WP hanya menonjolkan kewajiban. Kami menginginkan istilah WP diganti pembayar pajak, ujar Marwoto. Menurutnya, istilah pembayar pajak lebih adil karena tak hanya dibebani kewajiban, tapi juga memiliki hak sebagai warga negara.

 

Menanggapi hal tersebut, Ani menjawab bahwa istilah WP memiliki cakupan luas. Istilah ini mencakup pemotong pajak, pemungut pajak, serta penyetor pajak. Oleh karena itu, masih menurut Ani, istilah WP tak bisa diganti dengan pembayar pajak. Selain itu, jika maksa diganti, maka pemerintah kudu repot-repot bersosialisasi di depan publik.

 

Terakhir, PAN mengkhawatirkan terjadinya kerugian (potential loss) lantaran adanya perubahan prosedur keberatan dan banding. Pasal 25 dan Pasal 27 mengatur, WP tak perlu melunasi seluruh tagihan pajak dalam mengajukan keberatan. WP cukup melunasi, jumlahnya sesuai dengan kesepakatan antara WP dan petugas pajak (fiskus). Namun, jika keberatan ditolak, sisa tagihan pajak tersebut makin berat dengan adanya denda 50 persen. Bahkan, jika ngotot ke banding, bila tetap kalah, WP malah harus menanggung 100 persen denda dari sisa tagihan pajak.

 

Kali ini pendapat PAN memperoleh dukungan dari Fraksi Kebangkitan Bangsa (FKB). Konsekuensinya, pemerintah harus bertanggung jawab atas kehilangan semua potensi pajak tersebut, ucap juru bicara Anna Rohana, mengulangi pandangan mini fraksinya itu.

 

Ani memang memahami pandangan kedua fraksi tersebut. Namun, perubahan prosedur keberatan dan banding tersebut, menurut Ani, justru bakal meningkatkan kepatuhan pajak secara sukarela. Tak ada potential loss. Yang ada hanya penundaan pelunasan, terang Ani.

 

Tak Menabrak UU PPSP

Ditemui seusai mendampingi Menkeu dalam sidang tersebut, Dirjen Pajak menjamin RUU KUP tak melabrak UU Nomor 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (UU PPSP). Pernyataan Darmin ini menjawab kecemasan kalangan konsultan pajak (lihat pula Rubrik Wawancara).

 

Menurut Darmin, UU PPSP hanya mengatur prosedur pemberesan pajak yang masih terutang. Pemberesan pajak bisa berupa pengeluaran surat paksa, penyitaan aset WP, hingga penyeretan WP nakal ke jeruji penjara. UU PPSP belum mengatur kapan terjadinya utang pajak, ujar mantan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) ini.

 

Sedangkan RUU KUP-lah yang bakal mengatur kapan terjadinya utang pajak. Utang pajak terjadi jika sudah ada keputusan atas keberatan dan banding. Setelah terjadi utang pajak, baru bisa dibereskan sesuai dengan UU PPSP, tukasnya sebelum masuk mobil dinasnya.

 

Saat ini Darmin menyiapkan sejumlah Peraturan Menteri Keuangan (PMK) sebagai pelaksana RUU KUP ini (implementing regulation). September bisa selesai, ungkapnya sembari duduk di kursi belakang mobilnya.

 

Salah satu PMK yang krusial adalah peraturan tentang keberadaan KPP. Darmin sadar, saat ini sudah ada banyak lembaga pengawasan. Antara lain, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), serta Inspektorat Jenderal (Itjen).

 

Karena itulah, Darmin ingin semua badan ini berjalan sesuai dengan karakternya. BPK, BPKP, maupun Itjen cukup mengawasi dan memeriksa hal yang teknis operasional. Sedangkan KPP ini akan kami desain untuk mengawasi hal yang bersifat kebijakan, tutur Darmin.

 

BPK Boleh Periksa Data Pajak

Melalui saluran ponsel, Wakil Ketua Pansus Pajak Rizal Jalil menekankan, BPK boleh saja mengakses data pajak. Rizal mengaku dalam proses penggodokan RUU KUP, DPR sudah melibatkan BPK. Kala itu, Rizal sendirilah yang langsung memimpin rapat. Yang datang adalah Pak Aritonang (Anggota BPK, Baharuddin Aritonang -red), ujar Rizal.

 

Rizal mengaku sudah cukup mewadahi kehendak BPK ini. Ada Pasal 34, yang substansinya, BPK anytime anywhere, bisa memeriksa Depkeu dan DJP. Silakan periksa jumlah penerimaan dan target pajak.

 

Yang tidak diperbolehkan adalah memeriksa langsung WP. Kalau diperbolehkan, bisa gempar, tukas Rizal. Menurut Rizal, saat ini DPR dan Pemerintah belum bisa memenuhi seluruh keinginan auditor eksternal lembaga negara ini.

 

Rizal mencontohkan sebuah perusahaan besar. Misalnya BPK bisa masuk ke Indosat atau Freeport. BPK kan melapor dan bekerja atas permintaan DPR. Seharusnya juga ada kompromi-kompromi sesuai dengan kewenangan lembaga masing-masing.

 

Rizal menjelaskan, untuk hal-hal khusus, BPK memang bisa menelusuri data pajak tersebut dari petugas yang bersangkutan. Tentunya, jika petugas pajak tersebut sudah diberi izin oleh bosnya, yakni Menkeu, sambung Rizal yang dari Fraksi PAN.

 

Pasal 34

(1) Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh WP dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

(2) Larangan berlaku juga terhadap tenaga ahli yang ditunjuk oleh Dirjen Pajak untuk membantu dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

(2a) Dikecualikan adalah:

a. pejabat dan tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi atau saksi ahli dalam sidang pengadilan; atau

b. pejabat dan/atau tenaga ahli yang ditetapkan Menkeu untuk memberikan keterangan kepada pejabat lembaga negara atau instansi Pemerintah yang berwenang melakukan pemeriksaan dalam bidang keuangan negara.

(3) Untuk kepentingan negara, Menteri Keuangan berwenang memberi izin tertulis kepada pejabat dan tenaga ahli supaya memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang WP kepada pihak yang ditunjuk.

(4) Untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan dalam perkara pidana atau perdata, atas permintaan hakim sesuai dengan Hukum Acara Pidana dan Hukum Acara Perdata, Menkeu dapat memberi izin tertulis kepada pejabat dan tenaga ahli untuk memberikan dan memperlihatkan bukti tertulis dan keterangan WP yang ada padanya.

(5) Permintaan hakim harus menyebutkan nama tersangka atau nama tergugat, keterangan yang diminta, serta kaitan antara perkara pidana atau perdata yang bersangkutan dengan keterangan yang diminta.

Penjelasan Pasal 34 (poin-poin terpilih)

 

(2a) Keterangan yang dapat diberitahukan adalah identitas WP dan informasi yang bersifat umum tentang perpajakan.

 

Identitas WP meliputi: nama WP; Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP); alamat WP; alamat kegiatan usaha; merek usaha; dan/atau kegiatan usaha WP.

 

Informasi yang bersifat umum tentang perpajakan meliputi: penerimaan pajak secara nasional; penerimaan pajak per Kantor Wilayah DJP (Kanwil) dan/atau per Kantor Pelayanan Pajak (KPP); penerimaan pajak per jenis pajak; penerimaan pajak per klasifikasi lapangan usaha; jumlah WP dan/atau Pengusaha Kena Pajak terdaftar; register permohonan WP; tunggakan pajak secara nasional; dan/atau tunggakan pajak per Kanwil dan/atau KPP.

 

(3) Untuk kepentingan negara, misalnya dalam rangka penyidikan, penuntutan, atau dalam rangka mengadakan kerja sama dengan instansi pemerintah lain, keterangan atau bukti tertulis dari atau tentang WP dapat diberikan atau diperlihatkan kepada pihak tertentu yang ditunjuk oleh Menkeu.

Pemberian izin tersebut dilakukan secara terbatas dalam hal-hal yang dipandang perlu oleh Menkeu.

 

Rizal menilai, DPR adalah lembaga yang bisa mendamaikan kepentingan kubu BPK dan pihak DJP. Kalau misalnya BPK ada kesulitan memperoleh data, bisa lapor ke DPR. DPR akan meminta Menkeu supaya mempermudah, ujar Rizal.

 

Perlindungan data ini juga sesuai dengan prinsip keseimbangan hak dan kewajiban. Ini menyangkut keseimbangan peran antara WP dan petugas pajak. Petugas yang salah juga bisa dipidanakan, tegas Rizal.

 

Sebelumnya, Ketua BPK Anwar Nasution menegaskan, Depkeu akan selalu menerima opini disclaimer jika akses data pajak masih tersendat. Anwar menyampaikannya di sela Sidang Paripurna dalam jumpa media.

Mulus sudah jalan Rancangan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP). RUU yang menyempurnakan UU Nomor 6 Tahun 1983 ini tak lama lagi bakal diberi nomor urut oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). DPR bersama pemerintah—diwakili Menkeu—menyetujui pengesahan RUU KUP dalam Sidang Paripurna DPR, Jakarta, Selasa (19/6).

 

Masih ada dua RUU lagi, tukas Ani, panggilan Menkeu Sri Mulyani, berbincang akrab dengan Wakil Ketua Pansus Perpajakan asal Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (FPDIP), Max Moein seusai sidang tersebut.

 

Memang, Ani bersama Pansus kudu ngebut menuntaskan RUU Pajak Pertambahan Nilai dan Penjualan atas barang Mewah (RUU PPN dan PPnBM) serta RUU Pajak Penghasilan (RUU PPh). RUU Pajak lainnya menanti karena RUU KUP adalah roh dari semua peraturan perpajakan, tutur Ani membacakan jawaban tertulis Pemerintah.

 

Tak ada perubahan sikap dari masing-masing fraksi. Kesepuluh golongan partai tersebut sudah menyampaikan pandangan mini dalam sidang dua pekan silam (6/6). Walhasil, pembacaan sikap dalam sidang kali ini hanyalah pengulangan. Garis besar ulasan juga masih menyinggung tiga hal: keberadaan Badan Penerima Pajak (BPP), Komite Pengawas Perpajakan (KPP), dan pasal keberatan serta banding (Pasal 25 dan Pasal 27).

Tags: