Pasal Ancaman Penjara Bagi Dokter Dihapuskan MK
Berita

Pasal Ancaman Penjara Bagi Dokter Dihapuskan MK

Dokter yang tidak memasang papan nama, berpraktek tanpa Surat Izin Praktek dan Surat Tanda Registrasi tak lagi bisa dipenjarakan.

Oleh:
CRP
Bacaan 2 Menit
Pasal Ancaman Penjara Bagi Dokter Dihapuskan MK
Hukumonline

 

Pembatasan tempat praktek

Mengenai permohonan soal pembatasan tempat praktek yang terdapat pada pasal 37 ayat (2), MK berpendapat bahwa dalil Pemohon itu tidak cukup beralasan sehingga tidak dikabulkan. Perlindungan, kepastian hukum dan pemerataan pemberian jasa pelayanan kesehatan perlu dijamin antara lain dengan pembatasan tempat praktek dokter. Menurut MK, sebagai manusia dokter memiliki keterbatasan fisik dan mental, sehingga fungsi memberikan pelayanan kesehatan masyarakat akan lebih mendapat kepastian hukum (rechtszekerheid) dan perlindungan hukum (rechtsbescherming) dengan adanya pembatasan tersebut.

 

Selain untuk memberikan perlindungan hukum bagi dokter sebagai pemberi jasa kesehatan (health provider) dan juga pasien sebagai penerima layanan kesehatan (health receiver), pembatasan praktek di tiga tempat akan memberikan kesempatan kerja bagi dokter-dokter muda di seluruh Indonesia, sehingga pemeratan kerja dan pelayanan kesehatan masyarakat dapat diberikan secara simultan.

 

Dalam alasan pemohon, pembatasan tempat praktik kedokteran tersebut pada satu sisi menimbulkan beban moral akibat bertentangan dengan sumpah dokter (Hipocrates oath) yang menegaskan adanya nobeles oblige (responsibility of profession) profesi dokter,  antara lain janji membaktikan hidup  guna kepentingan perikemanusiaan dan janji menjalankan tugas dengan mengutamakan kepentingan masyarakat.

 

Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Fachmi Idris  mengaku cukup puas  atas putusan MK, terutama penghapusan ancaman sanksi pidana bagi dokter.

 

Dissenting Opinion dan Concurring Opinion

Dalam putusan itu, hakim konstitusi Laica Marzuki memiliki alasan yang berbeda (concurring Opinion), sementara Maruarar Siahaan dan H Harjono memiliki pendapat yang berbeda (dissenting Opinion). Dalam Concurring Opinionnya hakim Laica Marzuki menjelaskan alasan kenapa SIP dan STR tidak dapat dipandang bertentangan dengan hukum pidana karena ketentuan itu terpaut pada pengaturan administrasi negara belaka.

 

Laica berpendapat ketentuan administrasi tidak dapat dipidanakan sepanjang bukan perbuatan melawan hukum yang merugikan masyarakat. Sebagai pembanding, ia  mencontohkan Surat Ijin Mengemudi (SIM) yang dapat dipidana kurungan paling lama 6 bulan. Menurut Laica, meski SIM berkaitan dengan administratif (beschikking), perbuatan pelanggaran lalu lintas bisa bersifat melawan hukum (wederrechtelijkheid) karena membahayakan dapat orang lain.

 

Sementara dua hakim konstitusi yang berpendapat lain menerima semua permohonan termasuk Pasal 37 ayat (2) soal pembatasan tempat praktek. Menurut Maruarar dan Harjono, Peraturan menteri yang mengatur soal kemungkinan rasionalisasi dokter dan kebutuhan masyarakat yang sudah diatasi dengan Peraturan Menteri (Permen) tidak tepat. Sebab sebuah Permen tetap tidak bisa menegasikan ketentuan yang telah tegas diatur dalam Undang-undang.

Penerobosan melalui peraturan perundang-undangan yang hierarkinya ada di bawah UU, uajr mereka, tidak dapat dilakukan karena wewenang itu tidak ada dasar hukumnya, dengan begitu ketentuan itu menjadi ultra vires.

 

Pasal ancaman pidana yang terdapat dalam Undang-Undang Praktek Kedokteran dinyatakan Mahkamah Konstitusi tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Sebagian pasal 75 ayat (1), pasal 76 dan pasal 79 Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 itu dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Dengan demikian, dokter yang tak memiliki Surat Izin Praktek (SIP) dan Surat Tanda Registrasi (STR) kini bisa lega, tak perlu khawatir dipenjarakan.

 

Putusan tersebut dibacakan Mahkamah Konstitusi dalam sidang Selasa (19/6) kemarin, yang dihadiri seluruh hakim konstitusi. Dengan putusan demikian, Mahkamah mengabulkan sebagian permohonan dokter Anny Isfandyarie dan kawan-kawan.

 

Namun demikian, Mahkamah Konstitusi tetap mempertahankan ancaman denda kepada mereka yang mengabaikan kewajiban SIP dan STR, atau pemasangan papan nama tanda praktek. Pandangan Mahkamah tampaknya mengikuti alur pemikiran pemohon yang menganggap pelanggaran atas ketiga hal di atas hanya sekedar pelanggaran administrasi, sehingga tak perlu sampai dipenjara.

 

Dalam putusannya yang bernomor 4/PUU-V/2007, Pasal 75 Ayat (1) dan Pasal 76 sepanjang mengenai kata-kata penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau dan Pasal 79 sepanjang mengenai kata-kata kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau  serta Pasal 79 huruf c sepanjang mengenai kata-kata atau huruf e dalam UU Praktek Kedokteran dinyatakan MK bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara  1945 dan dinyatakan tidak mempunyai hukum mengikat.

 

MK menganggap sanksi kurungan dan penjara dalam UU Praktek Kedokteran jika ditilik  dari teori filsafat hukum pidana, logika kriminalisasi yang dibentuk dalam UU tersebut tidak proporsional, dan menimbulkan rasa takut bagi dokter. Ketakutan dari para dokter dapat berakibat menurunnya pelayanan kesehatan pada masyarakat sehingga akan berbenturan pula dengan Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak memperoleh pelayanan kesehatan.

Tags: