Menyoal Akses Publik Terhadap Putusan Pengadilan
Berita

Menyoal Akses Publik Terhadap Putusan Pengadilan

Sejak 2003, Cetak Biru Mahkamah Agung sudah mendorong akses publik terhadap putusan pengadilan. Ketua MA Bagir Manan mengklaim program akses informasi pengadilan sudah jalan.

Oleh:
CRP
Bacaan 2 Menit
Menyoal Akses Publik Terhadap Putusan Pengadilan
Hukumonline

 

Keterbukaan informasi putusan juga bisa dipakai menakar kualitas hakim melalui eksaminasi publik. Sejauh mana hakim memenuhi perasaan keadilan masyarakat bisa dilihat dari pertimbangan-pertimbangannya dalam memutus, kata Emerson. Akses terhadap salinan putusan putusan bisa dianggap sebagai mekanisme checks & balances dan  penerapan prinsip good governance. Yang lebih penting, bila masyarakat bisa tahu putusan suatu perkara,  pemalsuan putusan pengadilan dapat dihindari. Dengan demikian, bagi Emerson, akses terhadap putusan menjadi penting untuk sarana kontrol masyarakat terhadap dunia peradilan sebagai bentuk civil society.

 

Deputy Director ICEL (Indonesia Center For Environtmental Law) Josi Katharina berpendapat, dampak dari ketertutupan informasi di lembaga pengadilan adalah merosotnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga  peradilan berikut hakimnya. Ketertutupan terhadap putusan juga menghambat pengembangan ilmu hukum karena tidak terbangun budaya diskursus konstruktif terhadap putusan hakim.

 

Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan dalam berbagai kesempatan mengungkapkan dukungannya terhadap transparansi putusan MA. Putusan itu sudah diucapkan di depan sidang terbuka untuk umum, maka itu sudah menjadi milik umum, ujarnya Jum'at pekan lalu.

 

Ditambahkan Bagir, dirinya sudah menginstruksikan ke pengadilan-pengadilan di daerah agar membuka akses terhadap salinan putusan.Kepada daerah saya katakana, kalau ada yang minta putusan tentu harus dikasih, kata Bagir.

 

Namun, Asep Iwan Iriawan mengingatkan bahwa kebiasaan yang terjadi di pengadilan, salinan putusan hanya bisa diberikan kepada pihak-pihak yang berperkara. Di luar pihak, harus seizin ketua pengadilan. Pihak luar tidak akan bisa mengakses salinan putusan sebelum pihak berperkara mendapatkannya terlebih dahulu. Pengajar Hukum Acara Perdata Universitas Trisakti ini justeru mempertanyakan mengapa salinan putusan yang tak bisa diakses publik malah diperjualbelikan dalam bentuk buku oleh yang bukan pihak berperkara.

Ketua MA Bagir Manan juga mengisyaratkan bahwa tidak semua orang bisa mendapatkan salinan putusan begitu saja. Harus dicek, orang mintanya untuk apa. Guru Besar Hukum Tata Negara ini menegaskan bahwa akses terhadap putusan pengadilan demi kepentingan riset dan kampus sudah berjalan.

 

Kondisi di MA berbeda jauh dengan Mahkamah Konstitusi. Di lembaga yang disebut terakhir, salinan putusan bisa diakses publik dengan mudah  melalui internet dalam format digital rata-rata selang tiga hari pasca putusan dibacakan. Bukan hanya putusan, mulai dari jadwal sidang berikut anggota panel hakim, register permohonan, peraturan MK, laporan tahunan, hingga risalah sidang bisa diakses dengan bebas dan cepat. Contoh lain adalah manajemen akses informasi di Pengadilan Khusus. Meski dengan kapasitas penyediaan informasi yang masih terbatas, publik dapat cukup mudah melihat dan meminta salinan putusan kepailitan di bagian kepaniteraan hanya dengan mengganti biaya fotokopi.

 

MA Sedang Siapkan Aturan

Anggapan Emerson atas belum adanya komitmen MA, --terutama Bagir Manan, dalam menyediakan akses informasi agaknya bakal dijawab oleh MA. Sekarang ini di MA telah bekerja sebuah Tim yang menyusun Rancangan Peraturan Mahkamah Agung (Raperma) tentang Akses Publik pada putusan Pengadilan. Perma tersebut rencananya akan ditetapkan MA pada  Juli nanti. Meski dalam judulnya hanya putusan, tapi kata Josi, Materinya menyangkut hampir semua jenis info.

 

Menurut Josi yang juga salah satu anggota Tim Penyusun Perma itu, pada dasarnya semua informasi kegiatan dan produk yudisial bisa diakses publik kecuali sejumlah informasi tertentu. Namun pada prinsipnya asas yang dipakai dalam menyediakan informasi, ujar Josi, Maksimum dengan pengecualian terbatas.

Draftnya sendiri hingga sekarang ini belum final muncul sejumlah persoalan tentang pembatasan informasi. Masih ada sejumlah keberatan tentang pengecualian informasi. Misalnya perlu tidaknya dibuka sebuah progress report tentang pemeriksaan dugaan pelanggaran hakim.

Menurut Josi, pembukaan informasi terhadap pengawasan hakim bisa dibatasi pada kasus yang sudah masuk majelis kehormatan hakim (Terjerat kasus pidana) atau yang terlanjur diketahui publik. Intinya, kasus kecil tidak perlu dibuka karena justru akan menurunkan kredibilitas hakim di mata publik. Padahal nantinya hakim yang melakukan pelanggaran kecil biasanya masih tetap bisa memegang palu. Karena itu, Josi juga menganggap bahwa privasi hakim untuk taraf tertentu perlu dilindungi agar kepercayaan publik relatif terjaga.  Kalau pelanggaran berat  kan biasanya hakim diberhentikan (non palu) tidak menangani perkara lagi, ujar Josi.

Perjalanan proses kasasi juga menjadi sorotan utama untuk dibuka yakni terkait jadwal persidangan perkara di tingkat MA. Sayang, menurut penjelasan Josi, MA sendiri tidak memiliki manajemen jadwal sidang. Sebab kebiasaan sekarang ini, sidang dan musyawarah hakim agung acapkali tidak terjadwal dengan rapi. Bahkan tidak pernah bisa dijadwalkan dengan pasti, ujar Yosi.

Kendala lain adalah masih adanya perdebatan soal putusan yang belum berkekuatan hukum, apakah masuk menjadi hak publik ataukah tidak. Sebab, menurut Josi, sejumlah hakim agung yang tergabung dalam Tim itu merasa pembukaan terhadap akses itu akan menimbulkan penghakiman masyarakat terhadap putusan hakim. Mereka takut kalau itu gampang diakses, pertimbangan hakim nanti selalu disalah-salahkan masyarakat, kata Josi.  menurut para hakim itu pula, ujar Josi, hal itu bisa mempengaruhi independensi hakim dalam memutus perkara di tingkat pengadilan di tingkat yang lebih tinggi. Adanya eksaminasi publik agaknya masih dianggap sebagai kritik yang merisaukan bagi para hakim.

 

Hingga kini, masih banyak orang yang kesulitan mengakses salinan putusan pengadilan.  Termasuk lembaga Negara seperti Komisi Yudisial, yang wewenangnya adalah mengawasi hakim. Ketua Komisi ini, Busyro Muqoddas pernah mengutarakan kesulitan pihaknya mengakses putusan pengadilan yang hendak dieksaminasi.

 

Keluhan yang sama mengemuka dalam sebuah diskusi publik mengenai akses terhadap putusan pengadilan di Jakarta, Kamis (28/6) lalu. Kepala Divisi Monitoring dan Pemantauan Peradilan Indonesian Corruption Watch (ICW) Emerson Juntho menyatakan bahwa gagasan Mahkamah Agung membuka akses informasi putusan masih belum terealisir. Padahal sudah banyak program yang dicanangkan termasuk disebut dalam Cetak Biru MA Tahun 2003. Tiga tahun sejak Cetak Biru itu berjalan, publik masih juga kesulitan mengakses. Realisasi akses putusan hingga sekarang belum tampak, ujar Emerson.

 

Menurut pandangan Emerson, akses masyarakat terhadap putusan berkaitan dengan upaya memberantas mafia peradilan. Mafia peradilan tumbuh subur kalau MA menerapkan kebijakan tertutup. Secara prosedural, ketidakjelasan perkembangan pembuatan salinan putusan, bisa menghambat eksekusi putusan. Bahkan memberi kesempatan kepada terdakwa/terpidana untuk melarikan diri. Sejumlah kasus kaburnya terpidana sudah menjadi contoh nyata.  Sebut  misalnya, kasus korupsi di PT Badan Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI) senilai Rp2 miliar yang melibatkan Sujiono Timan. Sujiono Timan dihukum 15 tahun penjara. Namun, kelambatan MA dalam menyerahkan salinan putusan kepada kejaksaan mengakibatkan Sujiono melarikan diri ke luar negeri sebelum menjalani hukuman. "Celakanya MA tidak melakukan perubahan apa pun untuk mengatasi persoalan ini," katanya.

Tags: