Menunggu Keberanian Hakim Perluas Kewenangan Praperadilan
Berita

Menunggu Keberanian Hakim Perluas Kewenangan Praperadilan

Praperadilan dibentuk dengan tujuan agar terjadi pengawasan horizontal atas tindakan upaya paksa terhadap tersangka. Praktiknya, hakim hanya melakukan penelitian secara administratif.

Oleh:
IHW
Bacaan 2 Menit
Menunggu Keberanian Hakim Perluas Kewenangan Praperadilan
Hukumonline

 

Lihat saja perkara praperadilan terhadap Kapolres Jakarta Barat yang dilakukan oleh keluarga Nur Hadi, korban penembakan polisi pada Januari lalu. Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat pada pertengahan Maret lalu menolak permohonan praperadilan. Alasannya, materi permohonan bukanlah kewenangan dari praperadilan, melainkan sudah masuk pada persidangan pokok perkara.

 

Akankah hal itu akan terulang? Pembuktian itu akan segera terjawab. Pasalnya, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) sedang memeriksa permohonan praperadilan yang diajukan oleh Sri Mardyati, istri Abu Dujana. Didampingi kuasa hukumnya dari Tim Pengacara Muslim (TPM), Sri Mardyati memohon agar tindakan penangkapan dan penahanan yang dilakukan Densus Antiteror Mabes Polri tidak sah dan bertentangan dengan hukum.

 

Bentuk pelanggaran oleh Densus, menurut TPM, berupa penembakan Abu Dujana pada saat penangkapan. TPM berpendapat bahwa penembakan itu bertentangan dengan HAM. Nah, sampai sejauh mana praperadilan dijadikan alat perlindungan hak asasi tersangka?

 

Pandangan pesimis dilontarkan Taufik Basari. Direktur Bantuan Hukum dan Advokasi YLBHI ini berpendapat, pada praktiknya hakim yang menangani praperadilan hanya menguji tindakan upaya paksa oleh aparat hukum secara administratif.  Selama ini praperadilan hanya menjadi pengujian terhadap hak tersangka yang sifatnya formal, administratif seperti ada atau tidaknya surat perintah? Sudah diberikan kepada tersangka atau keluarganya? Dan lain sebagainya, tuturnya.

 

Padahal, lanjutnya, secara prinsip pengajuan praperadilan selalu terkait erat dengan masalah HAM. Karena isu utama dalam masalah praperadilan adalah fair trial. Sedangkan kita ketahui bahwa fair trial adalah termasuk hak asasi juga, ujar Taufik yang akrab dipanggil Tobas.

 

Hal senada datang dari Indriyanto Seno Adji. Pakar Hukum Pidana Universitas Indonesia ini menyatakanIni akibat hakim terlalu memegang teguh prinsip legalitas. Jadi apa yang dikatakan undang-undang, selalu diikuti hakim, katanya.

 

Padahal, lanjut Indriyanto, dalam melaksanakan tugasnya, hakim diberikan diskresi atau kewenangan untuk juga melakukan penelitian secara substantif. Jadi tidak melihat hanya sekedar administrasinya saja, melainkan memberikan pertimbangan-pertimbangan yang bersifat substantif juga, ujarnya.

 

Tobas menambahkan, jika praperadilan ingin dijadikan sebagai lembaga kontrol bagi penegak hukum maka kewenangan praperadilan harus diperluas. Tidak hanya memeriksa yang formal saja, tapi juga yang materil. Seperti apakah aparat menggunakan kekerasan ketika melakukan penangkapan atau penyiksaan ketika melakukan interogasi, paparnya.

 

Hakim komisaris jadi solusi

Indriyanto, yang juga salah satu anggota perumus rancangan KUHAP, menuturkan bahwa lembaga praperadilan di dalam KUHAP yang baru nanti akan dihapuskan. Sebagai gantinya, akan dibentuk hakim komisaris.

 

Hakim komisaris ini nantinya akan diberikan kewenangan sebagai investigating judge alias hakim penyelidik. Hakim akan melakukan investigasi tapi bukan sebagai penyidik, melainkan untuk melakukan penelitian yang substantif. Jadi kalau penangkapan dan penahanannya dilakukan secara ilegal, maka penangkapan dan penahanannya itu akan  dinyatakan tidak sah, paparnya.

 

Indriyanto memberikan ilustrasi. Ia mengatakan, tiap ada penangkapan dan penahanan yang sudah dilakukan lebih dari 1x24 jam, maka tersangka harus dihadapkan ke hakim komisaris. Kalau ternyata penangkapan dan penahanannya ilegal, maka hakim komisaris dapat memerintahkan untuk melepaskan tersangka, ujarnya.

 

Termasuk juga ketika hakim komisaris melihat tersangkanya yang babak belur karena dianiaya oleh polisi pada saat interogasi. Hakim komisaris bisa segera memerintahkan pelepasan tersangka karena itu masuk dalam kategori pengumpulan alat bukti secara ilegal, tandasnya.

 

Dengan demikian, menurut Indriyanto, keberadaan hakim komisaris diharapkan bisa menjadi alat kontrol bagi aparat sekaligus penjamin hak asasi tersangka. Sambil menunggu KUHAP yang baru, saat ini hakim praperadilan harus berani memperluas kewenangannya,pungkasnya.

Selama ini, yang namanya praperadilan cenderung sebuah lembaga yang bersifat formalitas saja. Karena lembaga ini hanya melakukan penelitian sebatas formal dan administratif terhadap sebuah perkara.

 

Padahal, bukan begitu pendapat M Yahya Harahap, mantan Hakim Agung, dalam bukunya berjudul 'Pembahasan dan Permasalahan KUHAP edisi kedua'. Yahya menjelaskan keberadaan lembaga Praperadilan dalam Pasal 77 KUHAP bertujuan untuk melakukan pengawasan horizontal atas upaya paksa yang dikenakan pada tersangka selama dalam proses penyidikan dan penuntutan.

 

Upaya paksa yang dimaksud tak lain adalah penangkapan, penahanan, penyitaan dan lain sebagainya yang bersifat mengurangi dan membatasi kemerdekaan dan hak asasi tersangka. Karenanya, tak dapat dipungkiri bahwa keberadaan lembaga praperadilan ini adalah untuk menghindari adanya pelanggaran dan perampasan hak asasi tersangka atau terdakwa.

 

Nah, untuk kesekian kalinya, keberadaan lembaga praperadilan ini akan diuji. Apakah benar hanya memeriksa hal-hal yang berbau formal dan administratif saja? Jika runut setiap perkara yang diputus dalam lembaga praperdilan ini selalu bersifat administratif.

Tags: