'Putusan yang sangat Menyedihkan'
Soeharto vs Majalah Time Asia

'Putusan yang sangat Menyedihkan'

Kalangan media ramai-ramai mengecam putusan kasasi Mahkamah Agung yang memenangkan mantan Presiden Soeharto. Mereka menilai lembaga tertinggi yudikatif tersebut mencla-mencle. Ancaman kebebasan pers?

Oleh:
Ycb/Ali
Bacaan 2 Menit
'Putusan yang sangat Menyedihkan'
Hukumonline

 

Kepala Biro Hubungan Masyarakat MA Nurhadi mengaku hakim memang tidak menggunakan UU Pers. Majemis memakai Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jadi, menggunakan acara perdata, tuturnya dari saluran telepon, Selasa (11/9).

 

MA telah memutuskan kasasi ini pada 28 Agustus silam, dengan Nomor 3215/pdt/2001. Putusan ini baru dibacakan secara terbuka dua hari kemudian oleh Ketua Muda MA Bidang Militer German Hoediarto (Ketua Majelis), M Taufiq, serta Bahauddin Qaudry (keduanya anggota).

 

Sebelumnya, dalam putusan pengadilan yang lebih rendah, Majalah Time menuai kemenangan. Baik Pengadilan Negeri Jakarta Pusat maupun Pengadilan Tinggi Jakarta tidak mengabulkan gugatan Soeharto. Kita sendiri surprise. Sebenarnya putusan MA ini belum diberitahukan kepada kita, namun saya hanya dengar dari kawan-kawan wartawan, ungkap kuasa hukum Mohammad Assegaf dari sambungan telepon, Selasa (11/9).

 

Majelis hakim memenangkan Soeharto atas gugatan pencemaran nama baik oleh media terkemuka tersebut. Majelis memerintahkan Majalah Time meminta maaf secara terbuka tiga kali berturut-turut pada media nasional maupun internasional. Selain itu, secara tanggung renteng tujuh tergugat harus membayar denda senilai Rp1 triliun. Para tergugat itu antara lain Time Inc Asia, Pemimpin Redaksi Donald Marrison, para jurnalis John Colmey, David Liebhold, Lisa Rose Weaver, serta koresponden Indonesia Zamira Lubis dan Jason Tedjasukmana.

 

Saat itu, Majalah Time Asia menulis sebuah berita investigatif yang berjudul Soeharto Inc. How Indonesia's Longtime Boss Built a Family Fortune. Tulisan tersebut dimuat dalam edisi 24 Mei 1999 Volume 153 Nomor 20. Laporan ini berisi kekayaan Soeharto, yang ditaksir mencapai AS$15 miliar (Rp142,5 triliun). Nilai segitu hampir seperlima anggaran negara kita. Pada masa itu, semangat publik menguak korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) sedang menggebu-gebu.

 

Dalam liputannya, para jurnalis Time kudu menyambangi sebelas negara selama empat bulan, sebelum meracik tulisan guna disajikan kepada pembaca. Walhasil, artikel ini menyabet penghargaan reportase terbaik dari Society of Publisher in Asia pada 2000.

 

Plintat-plintut

Alamudi kurang bisa memahami MA yang berbalik arah dari rekam jejaknya. Alamudi menilai sebelumnya putusan MA selalu menguntungkan kebebasan pers. Setidaknya Alamudi mencatat dua putusan MA sebelumnya.

 

Pertama, pada tahun 1990-an, MA memenangkan Harian Garuda Medan. Kondisinya terbalik. Dua putusan sebelumnya memenangkan seorang pengusaha. Pihak penggugat merasa nama baiknya dicemarkan oleh tulisan koran ini. Tapi MA memenangkan Garuda, ujarnya.

 

Kedua kasus Tempo kontra pengusaha Tommy Winata. MA memutuskan pihak penggugat kudu menggunakan hak jawab dulu. Kalau tidak puas, adukan ke Dewan Pers, tegasnya.

 

AJI juga menyayangkan langkah MA yang berbalik 180 derajat. Dalam kasus Tempo vs Tommy Winata, MA menunjukkan kelasnya sebagai lembaga peradilan yang menjaga kemerdekaan pers. Dalam kasus ini, MA telah gagal menjaga kewibawaan kehakiman dari kekuasaan yang korup dan absolut, sambung Heru.

 

Sebaliknya, Assegaf menyambut gembira putusan ini. Banyak yang berkomentar hal ini membelenggu kebebasan pers. Apakah pers bisa berbuat seenaknya? Kebebasan toh ada batasnya. Berita yang mencemarkan nama baik serta memfitnah jelas tidak adil dan tidak fair, cetusnya.

 

Kata dibalas Kata

Assegaf mengaku, kliennya, Soeharto, tidak menggunakan hak jawab atau desakan ralat atas pemberitaan Majalah Time kala itu. Karena pemberitaannya sudah sedemikian rupa, dan sepihak, saya kira tidak perlu menempuh langkah itu, sambungnya.

 

Justru itu yang disayangkan oleh Alamudi. Harusnya kata dibalas dengan kata. Berita miring dibalas dengan hak jawab dan wajib dilayani dengan ralat, ujarnya heran.

 

Alamudi menjelaskan, media juga tak luput dari hukuman denda. UU Pers mengenal denda maksimal Rp500 juta. Itu pelajaran supaya pengusaha pers tidak merekrut wartawannya dengan asal-asalan. Tapi, denda jangan membuat bangkrut media. Sama saja dengan bredel lewat jalur hukum, jelasnya.

 

Sementara itu, anggota Komisi III DPR Panda Nababan menilai, kasus Soeharto lainnya juga turut mempengaruhi putusan MA. Kasus Soeharto lainnya menentukan juga. Saya lihat tak ada langkah serius setiap kali menangani Soeharto, ujar politisi Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ini.

 

Sedangkan politisi dari Partai Golkar turut menyambut baik putusan tersebut. Ini negara hukum. Kita letakkan kepercayaan kepada lembaga tertinggi hukum, yakni MA, tukas Yuddy Chrisnandi, anggota Komisi I (Bidang Informatika, Luar Negeri, dan Pertahanan).

 

Menurut Yuddy, jika jalur hukum masih dirasa kurang berpihak pada kebebasa pers, sebaiknya media tak perlu menempuh meja hijau. Masih ada mekanisme settlement yang lain. Misalnya arbitrase, kekeluargaan, atau mengundang pihak ketiga sebagai penengah, sambung Yuddy, yang mengaku awam hukum.

 

Panda belum melihat adanya pembungkaman kebebasan pers. Yang jelas, semua usaha bredel sudah dihindari. Jika ada masalah, diselesaikan lewat jalur hukum. Kalau ada denda yang besar, bisa dinegosiasikan. Oleh karena itu, lanjut Trimedya, Todung harus mengajukan Peninjauan Kembali (PK).

 

Mengenai PK, Todung masih berpikir-pikir. Akan kita lihat dulu salinan putusannya. Yang jelas akan kita tempuh segala upaya, tuturnya.

 

Sedangkan Assegaf merasa di atas angin. PK tidak menunda eksekusi sanksi. Setelah putusan ini, MA akan lakukan aanmaning, memanggil pihak Majalah Time. Apakah mereka menerima putusan ini, atau mengambil langkah lain?

 

Sayang, Jason Tedjasukmana enggan berkomentar. Silakan tanya pada kuasa hukum saya Bang Todung, tukas salah satu jurnalis Time koresponden Indonesia yang ikut tergugat, Selasa (11/9).

Sangat menyedihkan dan sebuah kemunduran besar, teriak Abdullah Alamudi dari balik telepon, Selasa (11/9). Anggota Dewan Pers ini gusar, melihat putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) yang memenangkan gugatan mantan Presiden Soeharto melawan Majalah Time Asia. Lantaran putusan tersebut, menurutnya, kebebasan pers bakal menghadapi ancaman yang lebih parah.

 

Kuasa hukum Majalah Time Todung Mulya Lubis pun setali tiga uang. Di sini yang kalah bukan Time, melainkan kebebasan pers, ungkapnya dalam sebuah konferensi pers di kantornya, Jakarta, Selasa (11/9). Todung menyayangkan majelis hakim tidak memakai Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers).

 

Kecaman juga dilontarkan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Dalam sebuah siaran pers, AJI menilai putusan ini merupakan ancaman terhadap kebebasan informasi bagi publik. Ini ancaman langsung dari lembaga peradilan, tulis Ketua Umum Heru Hendratmoko dan Ketua Divisi Advokasi Eko Maryadi yang diterima Hukumonline, Selasa (11/9).

 

Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers) juga turut berseloroh. Putusan kasasi ini pertanda lonceng kematian kebebasan pers, tulis Direktur Eksekutif Hendrayana dalam sebuah siaran pers, Selasa (11/9). Hendra menyayangkan, kebebasan pers yang dipasung oleh rezim Orde Baru, justru kini dikebiri oleh MA.

 

Ketua Komisi III (Bidang Hukum dan HAM) Trimedya Panjaitan melontarkan hal senada. Yang jelas kita terkejut. Media sekaliber Time tentunya tak main-main dalam menurunkan laporannya. Ini jelas ancaman bagi kebebasan pers, tuturnya di tengah Sidang Paripurna DPR, Selasa (11/9).

Tags: