Lagi, Konsumen Menggugat Keterlambatan Pesawat
Utama

Lagi, Konsumen Menggugat Keterlambatan Pesawat

Penggugat juga meminta klausul pengalihan tanggung jawab dibatalkan

Oleh:
KML
Bacaan 2 Menit
Lagi, Konsumen Menggugat Keterlambatan Pesawat
Hukumonline

 

David menuding Wings Air telah melakukan perbuatan melawan hukum dengan keterlambatan keberangkatan dan tidak memadainya layanan informasi petugas maskapai itu di bandara. Itu sebabnya, 13 September lalu, ia mendaftarkan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Dalam petitumnya, David meminta maskapai itu membayar ganti rugi.

 

Terhalang PP 40/1995?

Masalahnya, meminta ganti rugi kepada perusahaan penerbangan tidak semudah membalik telapak tangan. Selain adanya klausul baku pengalihan tanggung jawab, ada juga batas maksimal tuntutan ganti rugi yang diizinkan peraturan perundang-undangan. Jumlah  maksimal ganti rugi yang bisa dituntut calon penumpang atas keterlambatan pesawat hanya satu juta rupiah. Aturan itu tegas disebutkan pada pasal 42 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1995 tentang Angkutan Udara. Itu pun hanya untuk kerugian yang nyata-nyata dialami calon penumpang, plus kerugian disebabkan pengangkut.

 

Sampai di sini, gugatan David masih sejalan. Dalam gugatannya, David meminta ganti rugi Rp718.500. Angka itu berasal dari uang untuk beli tiket Garuda senilai Rp688.500 dan airport tax sebesar Rp30.000. Nilai gugatan saya masih di bawah angka satu juta, tandas David.

 

Yang bakal menjadi perdebatan adalah sejauh mana tanggung jawab pengangkut atas keterlambatan keberangkatan. Sudah menjadi pengetahuan umum, maskapai penerbangan mengenal klausul baku. Lion Air juga mengenal klausul semacam itu. Pada salah satu tiket Lion Air yang diperoleh hukumonline tertera klausul begini: Pengangkut tidak bertanggung jawab atas kerugian apapun yang ditimbulkan oleh pembatalan dan/atau keterlambatan pengangkutan ini, termasuk segala keterlambatan datang penumpang dan/atau keterlambatan penyerahan bagasi.

 

Itu sebabnya, selain meminta ganti rugi, David juga meminta pengadilan untuk membatalkan klausul baku yang berisi pengalihan tanggung jawab maskapai atas keterlambatan. Dengan masih mencantumkan klausula baku pengalihan tanggung jawab yang dilarang oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Lion juga dianggap melakukan perbuatan melawan hukum.

 

Sebagaimana tertera pada tiket, Lion merupakan salah satu maskapai yang menyatakan tidak bertanggungjawab atas kerugian yang diderita akibat kelambatan pesawat, bagasi, dan kelambatan datangnya penumpang. Pengangkut tidak bertanggung jawab atas kerugian apapun juga yang ditimbulkan oleh pembatalan dan/atau kelambatan pengangkutan ini, termasuk segala kelambatan datang penumpang dan/atau kelambatan penyerahan bagasi.

 

Diteranya klausul ini pada tiket, mengacu pada Ordonansi Pengangkutan Udara (Staatsblad 1939/100), yang Pasal 28 menyatakan kecuali diperjanjikan lain, pengangkut bertanggung-jawab untuk kerugian yang timbul sebagai akibat dari kelambatan dalam pengangkutan penumpang, bagasi atau barang.

 

Klausul baku tersebut menurut David bertentangan dengan Pasal 18 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). Pasal ini melarang pelaku usaha mengalihkan tanggungjawabnya lewat pencantuman klausula baku. Pencantuman klausula baku jenis ini, batal demi hukum.

 

Pasal 18 UUPK

(1) Pelaku usaha dalam menawarkan barang/jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:

a. menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;

 

(2) Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.

(3) Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum.

(4) Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan Undang-undang ini.

 

Selain UUPK, yang juga menjadi dasar perbuatan melawan hukum (1365 BW) ialah pernyataan bahwa perusahaan angkutan  bertanggungjawab atas keterlambatan tertera dalam Pasal 43 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan.

 

Ini bukan kali pertama David mempermasalahkan klausul baku yang dibuat pelaku usaha.  Sebelumnya David, mewakili kliennya pernah meminta ganti rugi kehilangan mobil kepada secure parking.  Dalam kasus ini Mahkamah Agung menguatkan putusan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi yang antara lain menyatakan  klausul baku yang menyatakan pengelola tidak bertanggungjawab atas kehilangan batal demi hukum.

 

Karena perkara baru didaftarkan, belum diketahui siapa yang akan menjadi kuasa hukum Lion. Kepala Humas Lion Air, Hasyim Arsal Alhabsy hingga berita ini ditulis tidak mengaktifkan Hp-nya. Telepon di Kantor Bagian Humas Lion Air juga tidak diangkat.

 

Dihubungi terpisah, pengamat penerbangan K. Martono menyatakan, Ordonansi Pengangkutan Udara (OPU) tidak perlu dipakai. Dulu OPU merupakan terjemahan dari Konvensi Warsawa 1929, tapi tidak tahu kok muncul perkataan itu (pengangkut-tidak bertanggungjawab atas keterlambatan-red). Oleh karena itu sekarang banyak disalahgunakan maskapai, ujarnya.

 

Pengajar di Sekolah Tinggi Manajemen dan Transportasi Trisakti ini juga menambahkan, sebenarnya Konvensi Warsawa menyebutkan perusahaan penerbangan tidak boleh membuat perjanjian yang menghilangkan tanggung jawabnya.

 

Dengan demikian, kata Martono, dalam kasus keterlambatan harus digunakan UU Penerbangan Pasal 43 Ayat (1) yang menyebutkan perusahaan angkutan udara yang melakukan kegiatan angkutan udara niaga bertanggungjawab atas (a) kematian atau lukanya penumpang yang diangkut; (b) musnah, hilang atau rusaknya barang yang diangkut; (c) keterlambatan angkutan penumpang dan/atau barang yang diangkut apabila terbukti hal tersebut merupakan kesalahan pengangkut. Selain itu juga dipakai PP No. 40/1995 sebagai aturan pelaksana.

 

Selain itu, menurut Martono penumpang harus membuktikan terjadi kesalahan perusahaan atas keterlambatan, sebagaimana isi poin (c) pasal 43 (1). Di Pasal ini berlaku asas presumption of liability (praduga bersalah terhadap maskapai) dalam hal kematian dan kehilangan serta kerusakan barang. Sedangkan untuk keterlambatan berlaku asas base on fault (penumpang harus membuktikan keterlambatan karena kesalahan maskapai penerbangan).

 

Di mata pakar penerbangan ini, perkara keterlambatan keberangkatan  penerbangan bukanlah  merupakan ranah UU Perlindungan Konsumen. Ini antara lain karena klausul baku pada tiket mengacu pada OPU, bukan pada UU Perlindungan Konsumen.

 

Jika selama ini calon penumpang hanya menyampaikan uneg-unegnya lewat surat pembaca, kini satu persatu mulai melayangkan gugatan ke pengadilan. Sebagian besar timbul karena calon penumpang merasa diperlakukan tidak baik ketika pesawat delay, yang menyebabkan calon penumpang terlambat sampai ke tujuan.  

 

Di Surabaya, seorang advokat menggugat Lion karena penerbangan molor 3,5 jam. Kini, maskapai penerbangan itu kembali menuai gugatan. Kali ini, yang mengugat juga seorang advokat bernama David ML Tobing. David, lawyer yang tercatat beberapa kali menangani perkara konsumen,  memutuskan untuk melayangkan gugatan setelah pesawat Wings Air (milik Lion) yang seharusnya ia tumpangi terlambat paling tidak sembilan puluh menit.

 

Cerita versi David, pada 16 Agustus lalu ia berencana terbang dari Jakarta ke Surabaya, pukul 08.35 WIB. Tiket pesawat Wings Air sudah dibeli. Hingga batas waktu yang tertera di tiket, ternyata pesawat tak kunjung berangkat. David mencoba mencari informasi, tetapi ia merasa kurang mendapat pelayanan. Pendek kata, keberangkatan pesawat telat dari jadwal.

 

Padahal mengaku harus segera berangkat pagi itu juga untuk suatu urusan. Lantaran kepastian dari Wings Air tidak jelas, David memutuskan untuk membeli tiket maskapai lain. Tiket Garuda untuk keberangkatan pukul 10.00 WIN masih tersedia. Walhasil, ia berangkat dengan Garuda dan sampai di tujuan.

Halaman Selanjutnya:
Tags: