Kejaksaan Enggan Melanjutkan Kasus Pemberian Rumah
Korupsi Asabri

Kejaksaan Enggan Melanjutkan Kasus Pemberian Rumah

Kejaksaan berdalih karena pemberian rumah dilakukan pada sekitar tahun 1996, maka pasal mengenai gratifikasi dalam UU No 20 Tahun 2001 tak bisa digunakan. Kejaksaan mencoba mengkaitkan dengan pasal penyuapan dalam UU No 3 Tahun 1971. Sayangnya, penyelidikannya berhenti karena kurang alat bukti

Oleh:
Ali/Rzk
Bacaan 2 Menit
Kejaksaan Enggan Melanjutkan Kasus Pemberian Rumah
Hukumonline

 

UU No 3 Tahun 1971

Pasal 1

Dihukum karena tindak pidana korupsi ialah:

(1) d. Barang siapa memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri seperti dimaksud dalam Pasal 2 dengan mengingat sesuatu kekuasaan atau sesuatu wewenang yang melekat pada jabatannya atau kedudukannya atau oleh si pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan itu

 

Pasal 2

Pegawai negeri yang dimaksu oleh Undang-undang ini, meliputi juga orang-orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah atau yang menerima gaji atau upah dari suatu badan/badan hukum yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah, atau badan hukum lain yang mempergunakan modal dan kelonggaran-kelonggaran dari negara atau masyarakat

 

Untuk menuntut seseorang dengan kasus suap, menurut Hendarman harus dipahami betul rumusan suap. Suap terjadi apabila ada yang memberikan dengan cara membujuk. Oleh sebab itu, Hendarman mempertanyakan apakah unsur membujuk tersebut ada dan bertujuan mempengaruhi jabatan atau pekerjaan orang yang diberi. Itu yang harus dibuktikan. 

 

Hendarman mencontohkan bisa saja seseorang memberi sesuatu kepada orang lain karena suka. Apakah saat saya memberi, karena suka sama anda? dimana kata-kata (suap,-red) itu, tanyanya dengan memberikan analogi.

 

Pasal 12 B

UU Nomor 20 Tahun 2001


(1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut:

a. yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;
b. yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.

 

 

Jual beli yang wajar

Sementara itu, terkait pembelaan Paul Banuaran yang mengatakan rumah tersebut hasil jual beli, Hendarman pun menganggapnya sebagai suatu hal yang wajar. Loh namanya orang jual beli, tak ada yang janggal, ujarnya.

 

Henry Leo pun mengatakan bahwa akta jual beli tersebut memang ada. Ditandatangani oleh pak Banuaran sebagai penjual dan pembeli sekaligus, ujarnya ketika akan diperiksa kemarin, Kamis (27/9). Awalnya, Henry memberi kuasa kepada Paul Banuaran untuk menjual rumah tersebut, namun akhirnya justru Paul Banuran sendiri yang membeli rumah tersebut.

 

Menanggapi posisi Paul Banuaran sebagai penjual dan pembeli sekaligus, Hendarman tetap tak menganggap hal tersebut sebagai kejanggalan. Itu kan transaksi jual beli biasa, ujarnya. Namun, Ia mengakui bisa saja akta jual beli tersebut sebagai motif untuk mengelabui.                          Mungkin saja itu sebagai motif, namun bila berbicara hukum harus dengan alat bukti dan saksi. Bukan hanya berdasarkan asumsi-asumsi, ujarnya.

 

Berhentinya penyelidikan kasus pemberian rumah ini tampaknya akan memicu reaksi dari masyarakat. Pasalnya, ekspektasi masyarakat lumayan tinggi terkait kasus ini. Hal ini sempat diucapkan Todung Mulya Lubis pada konferensi pers Indeks Persepsi Korupsi beberapa waktu lalu.

 

Todung mempermasalahkan keberanian kejaksaan dalam mengusut kasus yang membawa nama dua purnawirawan besar ini. R Hartono sudah mengaku menerima rumah. Mengembalikan rumah tidak menghapus tindak pidana, ungkapnya. TB Silalahi kalau memang benar menerima, juga harus dihukum dan mundur dari kabinet, tambahnya.

 

Iyul meminta agar penyelidikan terus dilakukan. Saya hanya menyampaikan keterangan pak Henry pada penyidik, ujarnya ketika menemani suaminya diperiksa, kemarin. Kita bukan penyidik, jadi bukan kita yang membuktikan, tambahnya.

 

 

 

 

 

Pengakuan tersangka kasus PT Asuransi ABRI (Asabri), Henry Leo dan istrinya Iyul Sulinah terkait pemberian rumah terhadap dua purnawirawan TNI R Hartono dan TB Silalahi semakin panas. R Hartono mengaku menerima dan sudah mengembalikan rumah tersebut. Namun, TB Silalahi melalui anaknya Paul Banuaran Silalahi menolak pernah menerima. Bahkan Jum'at kemarin, Paul melaporkan Iyul ke polisi terkait pernyataan isteri Henry Leo itu bahwa rumah diperoleh karena pemberian, tetapi hasil jual beli.

 

Sayang, Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Kemas Yahya Rahman justru berniat menghentikan penyelidikan kasus pemberian rumah ini, dengan dalih ingin fokus pada kasus korupsi Asabri terlebih dahulu. Pemberian rumah  tak ada pemeriksaan lagi, ujarnya di Kejagung, hari ini (28/9).

 

Jaksa Agung Hendarman Supandji menjelaskan berhentinya penyelidikan ini bukan dalam arti dihentikan. Tetapi dihentikan karena alat buktinya belum ditemukan, ujarnya seusai Salat Jumat di Kejagung. Bukan tidak ditemukan, tetapi belum, tegasnya mengisyaratkan penyelidikan bisa saja terus dilakukan bila ada alat bukti yang menunjang.

 

Hendarman mengatakan pemberian itu tak bisa dikenakan pasal gratifikasi dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diubah dengan UU 20 Tahun 2001. Pasalnya, perbuatan tersebut terjadi pada tahun 1996. Tetapi kemungkinan yang bisa dikenakan adalah pasal penyuapan dalam UU 3 Tahun 1971, UU Pemberantasan Korupsi yang lama.

Halaman Selanjutnya:
Tags: