Kejaksaan akan Upayakan Penyitaan Kembali
Kasus Asabri

Kejaksaan akan Upayakan Penyitaan Kembali

Penyitaan yang dilakukan Dephankam sebesar Rp210 miliar dalam kasus korupsi dana Asabri masih dianggap belum cukup. Kejaksaan berencana melakukan penyitaan untuk menutupi kerugian negara yang mencapai Rp410 miliar.

Oleh:
Ali/Ycb
Bacaan 2 Menit
Kejaksaan akan Upayakan Penyitaan Kembali
Hukumonline

 

Oleh sebab itu, Kejaksaan akan mencoba mengalihkan penyitaan terhadap tanah yang tersisa. Kalau tanah kan nilainya bisa naik, tuturnya. Namun, sayangnya, Hendarman belum mau mengatakan aset tanah yang mana yang akan menjadi target.

 

Sementara itu, kuasa hukum Subarda Midjaja, MGS Muhammad Farizi mengaku tak masalah bila penyidik kejaksaan ingin melakukan penyitaan lagi. Ia malah senang, ujarnya menirukan ucapan Subarda. Tapi, lanjutnya, seharusnya penyidik memfokuskan menyita aset Henry Leo. Alasannya, yang bertanggung jawab dan menggunakan dana Asabri tersebut adalah Henry. Pak Subarda merasa ditipu. ungkapnya.

 

Farizi mengungkapkan, Subarda mengetahui Henry masih mempunyai aset di luar negeri. Itu yang dulu ingin dikejar Pak Barda sebagai bentuk pertanggungjawaban Henry. Tapi belum terealisir usaha tersebut, Pak Barda terlebih dahulu diberhentikan oleh Menteri Pertahanan, jelasnya di Kejagung, hari ini (2/10).

 

Farizi juga menjelaskan Subarda telah menyerahkan harta pribadinya senilai Rp 60 miliar untuk disita Dephankam. Ia (Subarda,-red) menyerahkan aset pribadinya pada saat melepaskan jabatan selaku Dirut Asabri, jelasnya.

 

Menurut Farizi penyerahan harta pribadi tersebut sebagai bentuk pertanggungjawaban Subarda. Selaku Dirut Asabri, Subarda merasa salah tak mengawasi anak buahnya. Dalam tata kerja Badan Pengelola Kesejahteraan Perumahan Prajurit (BPKPP), anak perusahaan Asabri, yang bertanggung jawab adalah bagian keuangan. Pak Barda tak mengawasi bagian keuangan, ujarnya. Sayangnya, Kabag Keuangan saat itu, Sunarjo telah meninggal dunia.

 

Soal penyerahan harta pribadi ini Farizi memberi catatan. Ia mempertanyakan nasib harta yang sudah disita oleh Dephankam. Mungkin yang perlu dipertanyakan, bagaimana aset tersebut sekarang? tanyanya.

 

Untuk cari beking

Farizi juga menjelaskan kasus pemberian rumah, meski Kejaksaan sebelumnya enggan meneruskan penyelidikan kasus pemberian rumah agar lebih fokus pada kasus korupsinya. Pada pemeriksaan hari ini Subarda dimintai keterangannya juga terkait masalah itu oleh penyidik.

 

Masih menurut Farizi, Subarda menilai tindakan Henry memberikan rumah pada R Hartono dan TB Silalahi untuk mencari backing. Menurut prediksi Pak Barda, pemberian rumah supaya Hartono bisa digunakan untuk menekan Pak Barda, jelasnya.

 

Namun, lanjut Farizi, sepertinya Henry lupa kalau Asabri ini bukan di bawah Kepala Staff Angkatan Darat (Kasad) yang saat itu dijabat Hartono. Apa hubungan mereka (Hartono dan TB Silalahi,-red) dengan Asabri?tanyanya. Asabri itu di bawah menteri keuangan. Itu harus diingat. Asabri  ini kan PT persero, tegasnya. Menurut Farizi, logikanya bila ada intervensi seharusnya dari menteri keuangan. Terkait pemberhentian Subarda sebagai Dirut Asabri oleh menteri pertahanan, ia juga mengaku bingung.

 

Berdasarkan penjelasan Farizi ini, nampaknya kejaksaan semakin sulit untuk menemukan unsur suap dalam kasus pemberian rumah tersebut. Sebagaimana diberitakan sebelumnya, salah satu unsur suap adalah kekuasaan atau sesuatu wewenang yang melekat pada jabatannya.

 

Sedangkan dari pihak Henry, menyerahkan kasus ini agar diusut oleh penyidik secara mendalam. Kita meminta agar penyelidikan terus berjalan, ujar istri Henry Leo, Iyul Sulinah akhir pekan lalu.

 


Pasal 263 KUHP

(1) Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun.

(2) Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah sejati, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian.

 

Pasal 266 KUHP

(1) Barang siapa menyuruh memasukkan keterangan palsu ke dalam suatu akta otentik mengenai sesuatu hal yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akta itu, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai akta itu seolah-olah keterangannya sesuai dengan kebenaran, diancam, jika pemakaian itu dapat menimbulkan kerugian, dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun;

(2) Diancam dengan pidana yang sama barang siapa dengan sengaja memakai surat tersebut dalam ayat pertama, yang isinya tidak sejati atau yang dipalsukan seolah-olah benar dan tidak dipalsu, jika pemalsuan surat itu dapat menimbulkan kerugian.

 

Melapor ke polisi

Pada kesempatan yang sama, Farizi juga mengungkapkan pihaknya telah melaporkan Henry ke Mabes Polri minggu lalu. Laporan itu terkait surat kuasa, akta perusahaan dan keterangan palsu yang disampaikan Henry kepada penyidik.

 

Surat kuasa tersebut adalah surat pencairan uang yang menurut Henry ditandatangani oleh Subarda. Sedangkan akta perusahaan palsu adalah akta PT Wibawa Murni Abadi (PT WMA). Katanya, Pak Barda ini punya saham kerja sama dengan Henry pada PT WMA. Padahal kami baru tahu PT tersebut dari penyidik, jelasnya. Uniknya, PT tersebut didirikan 6 January 1995, sedangkan Subarda mengenal Henry pada February 1995. Ada beberapa pasal dalam KUHP yang digunakan Farizi dalam laporannya. Diantaranya pasal 263 dan pasal 266 KUHP, ujarnya.

 

Penyitaan aset dua tersangka kasus Asuransi ABRI (Asabri), Mantan Direktur Utama PT Asabri Subarda Midjaja dan pengusaha Henry Leo oleh Departemen Pertahanan dan Keamanan (Dephankam) tampaknya belum cukup. Pada saat kasus ini ditangani Dephankam, telah disita aset fisik senilai Rp 210 miliar. Namun, Kejaksaan Agung yang menangani kasus Asabri saat ini, masih berencana untuk kembali melakukan penyitaan.

 

Panglima TNI Djoko Suyanto menyerahkan semua tindakan, termasuk penyitaan kembali kepada kejaksaan. Berkas telah kami serahkan sejak 5 Oktober 2006 kepada jaksa, ujarnya pada saat Rapat Kerja Komisi I dengan Menkopolhukam, kemarin (1/10).  

 

Jaksa Agung Hendarman Supandji, pada kesempatan yang sama, menjelaskan kerugian negara ditaksir sekitar Rp 410 miliar. Oleh sebab itu, penyitaan yang sebelumnya dilakukan Dephankam masih belum cukup menutupi kerugian itu. Bahkan, bila uang yang diduga korupsi tersebut dihitung dengan bunganya, dana sekitar Rp 210 miliar itu tak ada apa-apanya.

 

Menurut Hendarman, nominal Rp 410 miliar itu bila dihitung bersama bunganya bisa beranak-pinak sampai senilai Rp 1 triliun. Semuanya bisa berkembang, ujarnya. Sayangnya,Sitaan tidak bisa yang berupa denda dan bunga, tambahnya.

Halaman Selanjutnya:
Tags: