Kriminalisasi Kolumnis atas Perintah Kejaksaan Agung
Berita

Kriminalisasi Kolumnis atas Perintah Kejaksaan Agung

I was tortured by the idiocy of the interrogators, but they in turn were tortured by their bosses who were even more stupid.

Oleh:
Kml/Ali
Bacaan 2 Menit
Kriminalisasi Kolumnis atas Perintah Kejaksaan Agung
Hukumonline

 

Cerita Ritonga sepertinya menjawab pertanyaan Bersihar dalam pledoinya soal apakah saksi pelapor, staf intel kejaksaan Depok Pudin Saprudin, memiliki legal standing saat bertindak atas nama Kejaksaan Agung. Kolom yang ditulisnya mengakibatkan Bersihar didakwa karena dianggap mencemarkan nama baik Kejaksaan Agung.

 

Menurut Ritonga, Kejaksaan Agung juga tidak merasa kriminalisasi ini berlebihan. Mengutip kalau mengatakan ulang, apa tujuannya mengulang-ulang itu di depan umum? ujar Ritonga kepada wartawan.

 

Replik JPU

Di Pengadilan Negeri Depok, tempat Bersihar disidangkan, JPU menganggap Bersihar menghina Kejaksaan Agung dengan menyebutnya sebagai interogator yang dungu saat menuliskan ketidaksetujuannya terhadap pelarangan buku SMP dan SMU oleh instansi itu. Dan karenanya telah melanggar Pasal 207 KUHP ujar Jaksa Penuntut Umum Tikyono (28/11) saat membaca replik.

 

Dalam repliknya JPU juga merasa tidak perlu digunakan UU Pers dalam perkara ini. Pasal 12 dan penjelasannya dalam UU Pers yang didalilkan Bersihar, menurut JPU bertujuan memberitahu pihak yang keberatan atas berita atau opini pada media cetak kemana ia harus melayangkan keberatannya. Jadi, menurut JPU, ketentuan itu tidak ada hubungannya dengan tindak pidana yang Bersihar lakukan, dan masuk delik dalam Pasal 207 KUHP.

 

Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers

Pasal 12

Perusahaan pers wajib mengumumkan nama, alamat dan penanggung jawab secara terbuka melalui media yang bersangkutan; khusus untuk penerbitan pers ditambah nama dan alamat percetakan.

 

Penjelasan Pasal 12 (dikutip sebagian)

Pengumuman tersebut dimaksud sebagai wujud pertanggungjawaban atas karya jurnalistik yang diterbitkan atau disiarkan. Yang dimaksud dengan "penanggung jawab" adalah penanggung jawab perusahaan pers yang meliputi bidang usaha dan bidang redaksi.

Sepanjang menyangkut pertanggungjawaban pidana menganut ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

 

 

Sebelumnya dalam pledoinya Bersihar menyatakan dirinya tidak bermaksud menghina Kejaksaan Agung dengan memasang kutipan pidato Joesoef itu. Ia juga menyatakan perlunya digunakan UU Pers sebagai lex specialis. Selain itu Bersihar juga dalilkan Pasal 207 KUHP sebetulnya masuk kategori delik aduan di mata Mahkamah Konstitusi. Pernyataan ini dibantah JPU yang menyatakan pasal tersebut masih berlaku.

 

Pidato Joesoef Ishak, sebagaimana ditulis Bersihar dalam Pledoi

 

I was tortured by the idiocy of the interrogators, but they in turn were tortured by their bosses who were even more stupid

 

Karena tulisannya tidak menyebut nama interogator, dalam dakwaan jaksa dijelaskan penghinaan dengan runtutan sebagai berikut. Bersihar menyebut interogator dan atasannya dungu. Interogator adalah jaksa, sehingga penyebutan dungu keduanya dapat dianggap sebagai penghinaan institusi Kejaksaan Agung. Lewat Pasal 207 yang mengatur penghinaan terhadap penguasa atau badan umum, Bersihar pun diancam 8 bulan penjara.

 

Tak lama setelah Kisah Interogator Dungu terbit, digelar rapat di Kejaksaan Agung. Rapat itu membahas sebuah kutipan dalam kolom yang ditulis Bersihar Lubis. Saya telah disiksa oleh kedunguan interogator, dan interogator telah disiksa oleh atasan mereka yang lebih tinggi tingkat kedunguannya, tulis Bersihar mengutip pidato Joesoef Ishak.

 

Perbuatan ini sudah mencemarkan nama baik kita, kalau begini ujar Jaksa Agung Muda Pidana Umum (Jampidum) Abdul Hakim Ritonga, saat menceritakan kembali hasil rapat itu hari ini (28/11). Lalu, Sekretaris Jaksa Agung Muda Intelejen Worotikan, yang bertugas mengawasi barang cetakan, memerintahkan Kejaksaan Negeri Depok melaporkan Bersihar ke Polisi. Laporan itulah yang membuat Bersihar duduk dikursi pesakitan.   

 

Meski dalam kolomnya Bersihar mengisahkan pengalaman Joesoef Ishak pada pertengahan 70-an, tulisan itu terbit saat Jaksa Agung melarang penerbitan buku Sejarah SMP dan SMU. Waktu penerbitan ini yang sepertinya membuat Ritonga berkesimpulan Bersihar menghina Abdul Rahman Saleh, Jaksa Agung saat itu. Waktu itu dikatakan interogatornya dungu, yang memerintahkan lebih dungu lagi, ujar Ritonga. Itu artinya Jaksa Agung (yang dungu-red) tambah Ritonga.

Tags: