Biar Tak Korup, Pejabat Dilarang Mengurus Olahraga
Utama

Biar Tak Korup, Pejabat Dilarang Mengurus Olahraga

Larangan pejabat publik merangkap pengurus organisasi induk olahraga dilandasi salah satunya karena kekhawatiran adanya konflik kepentingan dalam penggunaan anggaran. Pemohon menganggap alasan itu mengada-ada.

Oleh:
NNC
Bacaan 2 Menit
Biar Tak Korup, Pejabat Dilarang Mengurus Olahraga
Hukumonline

 

Akil memaparkan, KONI merupakan organisasi induk dari sejumlah cabang olahraga yang tugas dan wewenangnya bersifat mengelola dan bertanggungjawab terhadap anggaran dari pemerintah. Jika dipegang oleh pejabat publik, pembuat Undang-undang khawatir hal itu akan mempengaruhi akuntabilitas penggunaan anggaran. Ini bermula dari komitmen pembuat Undang-undang menjauhkan dari adanya celah terjadinya KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme,-red). Jika pengurus KON Provinsi dijabat gubernur, masa  nanti pertanggungjawaban penggunaan anggarannya  sama diri sendiri? cetus Akil.

 

Namun bukan itu yang dipersoalkan pemohon. Menurut Zakaria Anshori, kuasa hukum Saleh Ismail Mukadar,--anggota DPRD Jawa Timur yang menjadi pemohon dalam perkara ini, persoalannya ada pada pembedaan perlakuan antara jabatan pengurus organisasi induk dengan organisasi cabang olahraga.

 

Dalam UU SKN yang dijabarkan dengan PP No. 16/2007 tentang Penyelenggaraan Olahraga, pejabat publik memang masih diperbolehkan menjadi pengurus pada organisasi cabang olahraga. Salah satu contohnya, Menteri Kehutanan MS Kaban yang juga sebagai Ketua Umum Cabang Olahraga Boxer Tarung Drajad.

 

Zakaria menganggap alasan mengantisipasi KKN dengan cara pembedaan antara organisasi induk dengan cabang olahraga tidak tepat dan justru menjadi diskriminatif. Dia juga menilai pertimbangan pembedaan itu tidak disertai bukti dan data empiris telah terjadinya korupsi yagn dilakukan oleh pejabat yang merangkap jabatan jadi pengurus induk organisasi olahraga.

 

Bahkan dalam pengamatannya, selama ini tidak ada satu pun pejabat publik yang merangkap jadi pengurus KONI tersangkut pidana korupsi akibat penyalahgunaan wewenang di organisasi tersebut. Justru yang banyak terjadi, pengurus KONI yang kebetulan pejabat publik tersangkut kasus lain yang tidak berhubungan dengan penggunaan anggaran olahraga, Syaukani atau Nurdin Halid misalnya, ujar Zakaria. Dengan demikian, sambungnya, ketentuan pasal 40 UU SKN ini sangat berlebihan.

 

Menurut dia,  pasal 40 UU SKN justru tidak menghargai adanya perbedaan antara KONI dengan cabang olahraga. Seakan-akan jika seorang pejabat publik menjadi pengurus cabang olahraga, bakal pasti tidak terjadi penyalahgunaan dana. Toh, lanjut dia, korupsi bisa terjadi di mana saja dan sudah ada Kejaksaan, Kepolisian ditambah KPK sebagai lembaga yang yang berwenang untuk mencegah dan menindaknya.

 

Ia mencontohkan anggaran KONI di Jawa Timur. Tahun 2007, total besaran anggaran KONI Surabaya Rp10 miliar, dibagi untuk 42 cabang olahraga. Sementara satu cabang olahraga, yakni sepakbola, anggarannya Rp10 miliar. Menurut Zakaria sudah hal ini memungkinkan terjadinya conflict of interest, sebab dana yang digunakan Komite dan cabang olahraga sama-sama bermuara dari anggaran pemerintah. Nggak ada yang bisa menjamin itu (tidak terjadinya korupsi, red) kan?.

 

Kalaupun ingin mencegah korupsi, Zakaria mengusulkan tak perlu membedakan antara kepengurusan di cabang olahraga dan komite. Lagipula, ujarnya, Kepengurusan Komite juga berisi pengurus-pengurus di cabang-cabang olahraga, jadi kalau memang mau melarang, sekalian saja dilarang keduanya. Ini kelalaian pemerintah.

 

Salah alamat

Pemerintah dalam opening statement-nya menilai pemohon telah salah alamat melayangkan keberatan. Pokok-pokok keberatan yang diajukan pemohon dianggap lebih menyorot pada ketentuan dalam peraturan pelaksana dari UU SKN, yakni Peraturan Pemerintah No 16/2007 tentang Penyelenggaraan Olahraga. Seharusnya pengujian diajukan pemohon terhadap PP No 16 kepada Mahkamah Agung, bukan kepada Mahkamah Konstitusi, tegas Haryo Yuniarto, Kabid Hukum dan Pengawasan BPPOPI (Badan Pengembangan dan Pengawasan Olahraga Profesional Indonesia).

 

Zakaria menjawab enteng. Toh, ketentuan PP itu pun tidak akan ada jika UU SKN tidak ada. Justru ia menyorot adanya kontradiksi keterangan pemerintah satu sama lain. Sebab di satu sisi, Pemerintah mengatakan permohonannya salah alamat, tapi di sisi lain Menpora Dault sebelumnya justru menegaskan bahwa Pasal 40 UU SKN mesti diberlakukan dengan tegas. Padahal PP 16 pasal 56 tentang larangan itu kan Cuma aturan pelaksanaan dari UU SKN Pasal 40, sergah Zakaria.

 

UU Nomor  3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional (UU SKN) diuji materikan ke Mahkamah Konstitusi oleh dua pemohon yang digabung menjadi satu pemeriksaan perkara. Pemohon pertama adalah Ketua Komisi E DPRD Jawa Timur Saleh Ismail Mukadar yang juga Ketua Umum KONI Kota Surabaya. Pemohon satunya, Syahrial Oesman, adalah Gubernur sekaligus  Ketua KONI Sumatera Selatan. Keduanya menganggap pembedaan larangan rangkap jabatan publik dalam kepengurusan dalam organisasi cabang olehraga dan komite olahraga sebagai ketentuan yang diskriminatif.

Pada  pengujian Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 Tentang Sistem Keolahragaan Nasional (UU SKN) Pemerintah dan DPR mengungkapkan alasan pembuat Undang-undang melarang rangkap jabatan dalam kepengurusan organisasi induk olahraga. Salah satunya, seorang pengurus organisasi induk olahraga harus fokus kepada tugas-tugas memajukan olahraga, sama seperti pejabat publik yang juga mesti fokus menjalankan jabatan publik yang diemban.

 

Jika masih berkeinginan ‘nyambi' yang lain, termasuk sebagai ketua Komite Olahraga Nasional (KONI), akan sangat mengganggu penyelenggaraan layanan publik atau fungsi-fungsi pemerintahan lainnya, papar Menteri Negara Pemuda dan Olahraga Adhyaksa Dault saat memberikan keterangan di Gedung Mahkamah Konstitusi, Selasa (8/1).

 

Dault juga menyarankan, jika pemohon merasa diganjal untuk memajukan olahraga nasional, mereka sebenarnya bisa berkiprah dan membantu dengan cara lain tanpa harus menduduki kepengurusan atau ketua KONI, tapi cukup menjadi pengurus di cabang-cabang olahraga ataupun menjadi donatur. Dalil aturan ini menghambat hak pemohon untuk turut memajukan olahraga nasional sama sekali tidak berasalan, ujar Dault.

 

Selain profesionalitas, menurut anggota Komisi III DPR Akil Mochtar yang hadir sebagai wakil DPR dalam sidang itu, alasan pelarangan rangkap jabatan didasari kekhawatiran terjadinya konflik kepentingan  bila  pengurus KONI dijabat oleh pejabat publik.

Tags: