Pembangunan HKI di Indonesia Masih Top-Down Policy
Berita

Pembangunan HKI di Indonesia Masih Top-Down Policy

Substansi HKI secara filosofis berbeda dengan sistem nilai yang dianut sebagian besar masyarakat Indonesia.

Oleh:
CRD/Mys
Bacaan 2 Menit
Pembangunan HKI di Indonesia Masih <i>Top-Down Policy</i>
Hukumonline

 

Ironisnya, substansi aturan-aturan HKI Indonesia secara filosofis berbeda dengan sistem nilai yang dianut sebagian besar masyarakat Indonesia. Kehidupan masyarakat Indonesia masih diwarnai kebersamaan dan nilai-nilai spritual. Tidak mengherankan apabila peraturan perundang-undangan nasional masih mengakui keberadaan masyarakat hukum adat. Sebaliknya, pembangunan HKI di dunia Barat lebih menekankan pada individualisme, bahkan umumnya bermotif komersial.

 

Mengutip tulisan pakar hak kekayaan intelektual John Marshall Law Scholl di Cicago AS, Doris Estelle Long, di North Carolina Journal of International Law (Vol. 21, 1998), Agus Sardjono menegaskan bahwa secara substansial TRIPs memuat aturan yang bersumber pada pandangan atau konsep masyarakat Barat yang individualistik dan kapitalistik. Misalnya, apa yang dilindungi oleh hak cipta yang dikembangkan di negara-negara maju umumnya adalah individu. Sistem ini tidak memungkinkan pengakuan terhadap hak negara atau hak masyarakat secara kolektif. Sistem Barat juga tidak memungkinkan untuk melindungi hak-hak masyarakat lokal atau suku bangsa asli atas kekayaan intelektual, jelas Agus.

 

Pembentukan peraturan perundang-undangan HKI di Indonesia lebih banyak didasarkan pada kebutuhan untuk menyesuaikan diri dengan perdagangan global. Dalam era perdagangan global, negara berkembang seperti Indonesia tidak punya pilihan selain mengakomodir kepentingan negara-negara maju. Apalagi pada saat bersamaan, negara maju banyak memberikan bantuan kepada negara-negara berkembang.

Dalam konteks politik hukum, Agus Sardjono yakin ada kekuatan tertentu yang berada di balik penyusunan perundang-undangan HKI yang top-down tadi. Salah satu wujudnya adalah Tim 34 yang dibentuk berdasarkan Keppres No. 34 Tahun 1986. Tugas Tim 34 ini antara lain menyiapkan dan menyusun rancangan perundang-undangan di bidang HKI.

 

Sayang, peraturan perundang-undangan HKI pun belum tersosialisasi dengan baik. Sejumlah seniman yang diwawancarai Agus mengeluhkan sejumlah hal yang menunjukkan mereka kurang responsif terhadap sosialisasi HKI. Misalnya, prosedur untuk mendapatkan perlindungan HKI tidak sederhana. Budaya yang bersifat komunal juga turut mempengaruhi, sehingga sulit menerima konsep HKI yang menonjolkan hak pribadi.

 

Ketika lagu ‘Rasa Sayange' menjadi lagu pengiring iklan pariwisata Malaysia, sebagian masyarakat Indonesia berang. Isu-isu hak kekayaan intelektual telah memanaskan hubungan Indonesia – Malaysia. Kesadaran atas hak kekayaan intelektual masyarakat seolah tumbuh jika muncul kasus sejenis, termasuk ketika isu bahwa tempe dan batik telah dipatenkan negara lain.

 

Tetapi, sejatinya, pembangunan hak kekayaan intelektual (HKI) di Indonesia masih tergolong kebijakan yang turun dari atas (top-down policy), bukan sebaliknya tumbuh dari kesadaran masyarakat. Pembentukan perundang-undangan HKI dilakukan bukan karena kebutuhan dari masyarakat Indonesia pada umumnya, melainkan karena kebutuhan untuk menyesuaikan dengan arus perdagangan global, ujar Agus Sardjono.

 

Pandangan demikian disampaikan Agus dalam pidato pengukuhan Guru Besarnya di kampus Universitas Indonesia Depok, Rabu (27/2) lalu. Saat dikukuhkan sebagai Guru Besar Ilmu Hukum, Agus menyampaikan pidato berjudul Pembangunan Hukum Kekayaan Intelektual Indonesia: Antara Kebutuhan dan Kenyataan. 

 

Menurut pria kelahiran 16 Agustus 1955 itu, pembangunan rezim HKI di Indonesia belum dapat sepenuhnya lepas dari pengaruh luar. Hal itu antara lain tampak dari ketentuan-ketentuan substantif dalam perundang-undangan HKI yang disesuaikan dengan kesepakatan-kesepakatan internasional, termasuk TRIPs Agreement. Tengok saja amandemen perundang-undangan HKI yang dilakukan pasca ratifikasi World Trade Organization (WTO).

Tags: