Surat Edaran Kementerian BUMN Menuai Masalah
Utama

Surat Edaran Kementerian BUMN Menuai Masalah

Surat edaran Kementerian Negara BUMN soal pengecualian BUMN untuk tunduk terhadap Keppres 80/2003 dipertanyakan. Pasalnya, surat tersebut berpotensi menghambat terciptanya iklim persaingan usaha yang sehat di Tanah Air.

Oleh:
Sut
Bacaan 2 Menit
Surat Edaran Kementerian BUMN Menuai Masalah
Hukumonline

 

Secara filosofis, kata Herman, tidak diberlakukannya ketentuan pengadaan barang dan jasa instansi pemerintah bagi BUMN, didasarkan pada pertimbangan bahwa BUMN merupakan entitas bisnis, bukan instansi pemerintah. Di sini modal BUMN tersebut dipisahkan dengan kekayaan negara.

 

Beberapa pelaku usaha, mengaku resah dengan terbitnya beleid yang baru dikirim KN BUMN ke Departemen Perindustrian bulan Desember 2007 itu. Kebijakan itu disinyalir bisa memperburuk iklim persaingan usaha di Indonesia. Bahkan, kebijakan itu akan membuka peluang impor yang tak terkendali, sehingga industri nasional berada di ujung kehancuran.

 

Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Mohamad S Hidayat, mempertanyakan motif pembuatan surat edaran itu. Menurutnya, BUMN akan salah kaprah apabila mengabaikan Keppres 80/2003. Apalagi, kata dia, saat ini beberapa BUMN sedang diserahi program nasional berupa pengadaan tabung gas elpiji bersubsidi (untuk PT Pertamina) dan lampu hemat energi (PT Perusahaan Listrik Negara- PLN).

 

Jika demikian, surat edaran itu bisa menjadi justifikasi bagi Pertamina untuk mengabaikan tender kompor gas dalam program konversi energi. Begitu juga dengan PLN, yang sewaktu-waktu bisa melakukan impor lampu hemat energi secara langsung tanpa melalui tender.

 

Meski belum mau menentukan sikap, namun Syamsul Maarif berjanji akan membahas surat edaran itu ke dalam rapat komisi KPPU. "Saya belum tahu apa pertimbangan Menneg BUMN menerbitkan surat edaran tersebut," cetus dosen di program Pascasarjana Universitas Brawijaya dan Universitas Indonesia ini.

 

Menurutnya, setiap pengadaan barang dan jasa harus dibuka semaksimal mungkin. Apalagi, jika pengadaan itu melibatkan banyak pelaku usaha. "Lagi-lagi perlu dikaji lebih lanjut apa yang dimaksud dengan tidak berlaku dalam surat edaran itu. Karena kalau pengertian tidak berlaku, itu dasarnya kepada APBN," tutur Syamsul.

 

Memang, di dalam Keppres 80/2003 hanya disebutkan, BUMN wajib melakukan tender jika menggunakan dana APBN atau APBD. Pertanyaan, apakah BUMN wajib menggunakan Keppres 80/2003 apabila proyeknya itu tidak menggunakan dana APBN atau APBD sama sekali? "Nah, itu yang harus diklarifikasi dulu," kata Syamsul.

 

Meski dibebaskan, lanjutnya, bukan berati BUMN bisa sembarang melakukan penunjukan langsung. Sebab, di dalam Keppres 80/2003 tercatum prinsip-prinsip persaingan yang berlaku dalam tender pada umumnya. "Jadi, dana apapun yang dia (BUMN, red) pakai, mau APBN/APBD maupun dana swasta, BUMN tetap harus menghormati prinsip-prinsip persaingan yang sehat," kata pria yang memulai karir di KPPU sejak berdirinya komisi itu, tahun 2000.

 

Akan dibahas DPR

Sikap anti kebijakan KN BUMN ditunjukan Aria Bima. Menurutnya, kebijakan itu sesuatu yang tidak tepat bagi iklim investasi di Indonesia. "Iklim yang akan kita ciptakan sekarang ini justru dianulir dengan surat edaran itu. Dan itu tidak menciptakan iklim yang transparan dan akuntabel, dan potensial adanya penyimpangan-penyimpangan korupsi," tegas pria kelahiran Semarang, 25 Mei 1965 ini.

 

Dengan Surat Edaran itu, Aria mengatakan KN BUMN telah melakukan langkah mundur. Soalnya, kebijakan itu menggambarkan seolah-olah pemerintah ingin kongkalikong dalam proyek-proyek yang dikerjakan BUMN dengan pengusaha. Apalagi, kata Aria, Keppres 80/2003 tidak mengatur secara jelas proyek yang harus ditenderkan atau tidak oleh BUMN. Pasalnya, hampir semua perusahaan pelat merah – apalagi yang terkait dengan pelayanan publik (Public Service Obligation/PSO) – tidak bisa lepas dari anggaran negara.

 

Untuk itu, Aria, berjanji akan menayakan masalah itu kepada Menneg BUMN Sofyan Djalil dalam rapat komisi VI pekan depan. "Kalau perlu saya interpelasi kebijakan itu," tandasnya.

 

Sejauh ini, pengaturan mengenai pengadaan barang atau jasa yang dilakukan oleh BUMN diatur di berbagai ketentuan. Salah satunya Peraturan Pemerintah (PP) No. 45/2005 tentang Pendirian, Pengurusan, Pengawasan dan Pembubaran BUMN. Dalam pasal pasal 99 ayat 1 dinyatakan bahwa pengadaan barang dan jasa oleh BUMN yang menggunakan dana langsung dari APBN dilaksanakan sesuai dengan ketentuan pelaksanaan APBN. Sedangkan pada ayat (2) disebutkan: "Direksi BUMN menetapkan tata cara pengadaan barang dan jasa bagi BUMN yang bersangkutan, selain pengadaan barang dan jasa dimaksud dalam ayat (1) berdesarkan pedoman umum yang ditetapkan oleh Menteri.

 

Lalu pada pasal 37 PP No. 12/1998, dinyatakan bahwa Keppres No. 16/1994 tentang pelaksanaan APBN tidak berlaku bagi Perseroan. Selanjutnya, Menteri Negara Pendayagunaan BUMN telah mengeluarkan Surat Edaran No.SE-01/MP-BUMN/1998 yang meminta kepada Direksi untuk menyusun ketentuan pengadaan barang dan jasa yang pengadaannya bersumber dari dana perusahaan.

 

Keppres No. 80/2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah telah menjadi pedoman wajib bagi setiap instansi Pemerintah dalam menjalankan proyek. Sederet nama pejabat dan mantan pejabat telah diseret ke pengadilan dengan tuduhan korupsi lantaran mengabaikan Keppres tersebut. Tetapi ironisnya, Kementerian Negara Badan Usaha Milik Negara (KN BUMN) menerbitkan Surat Edaran yang mengecualikan BUMN. Surat Edaran itu menegaskan tender pengadaan barang dan jasa yang dilakukan BUMN tidak memiliki kaitan dengan Keppres 80/2003.

 

Lebih ironis lagi, banyak pihak yang belum mengetahui waktu terbit dan isi Surat Edaran dimaksud. Bahkan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang kerap mengadili perkara persekongkolan tender, juga tidak mengetahui adanya surat edaran yang dikeluarkan tanggal 25 Juni 2007 itu. "Saya juga baru tahu hari ini," ujar Ketua KPPU Syamsul Maarif, Sabtu (8/3).

 

Senada dengan Syamsul, Anggota Komisi VI dari Fraksi PDIP Aria Bima juga mengaku terkejut dengan adanya surat yang ditandatangani oleh Kepala Biro Hukum dan Humas KN BUMN Herman Hidayat itu. "Kita belum tahu. Dan Menteri (Menneg BUMN, red-) tidak pernah menyampaikan itu ke DPR," tutur Aria kepada hukumonline.

 

Sekedar informasi, dalam Surat Edaran itu dinyatakan, dana yang dikeluarkan oleh perusahaan/BUMN untuk membiayai pengadaan barang dan jasa tidak termasuk dalam kategori dana dari APBN, walaupun modal/saham BUMN dimiliki oleh negara. Sebenarnya, Herman Hidayat sendiri pada pertengahan tahun lalu pernah menegaskan bahwa Keppres 80/2003 tidak berlaku bagi BUMN. Pernyataan Herman ini untuk menanggapi adanya manajemen BUMN yang membutuhkan opini hukum mengenai pengadaan barang dan jasa. Hal ini mengingat Keppres tersebut hanya untuk mengatur pelaksanaan pengadaan barang/jasa yang sebagian atau seluruhnya biaya dari APBD/APBN.

Tags: