‘Cacat Tersembunyi' UU Pemda Terbaru
Utama

‘Cacat Tersembunyi' UU Pemda Terbaru

Dari aspek ilmu perundang-undangan, sebuah pasal dalam UU akan tetap dinyatakan berlaku apabila dalam UU perubahannya tidak secara tegas dinyatakan telah dihapus atau diubah dengan rumusan pasal yang baru.

Oleh:
Rzk
Bacaan 2 Menit
‘Cacat Tersembunyi' UU Pemda Terbaru
Hukumonline

 

Anehnya, UU Pemda terbaru justru tidak mengotak-atik Pasal 106 yang dalam UU sebelumnya merupakan dasar kewenangan MA untuk memutus sengketa Pilkada. Berdasarkan dokumen RUU yang diperoleh hukumonline seusai Rapat Paripurna pengesahan, Pasal 106 tidak termasuk dalam pasal yang diubah. Urutannya lompat dari Pasal 75 tentang Kampanye langsung ke Pasal 107 tentang Perolehan Suara.

 

Pasal 106 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004

Keberatan terhadap penetapan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah hanya dapat diajukan oleh pasangan calon kepada Mahkamah Agung  dalam  waktu  paling  lambat  3 (tiga) hari setelah penetapan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah.

Pasal 236C UU Pemda Terbaru

Penanganan sengketa hasil perhitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh MA dialihkan kepada MK paling lama 18 bulan sejak UU ini diundangkan.

 

Secara akademik, UU yang baru disahkan ini jelas bermasalah, ujar Pengajar Ilmu Perundang-undangan FHUI Sonny Maulana Sikumbang. Dia menegaskan bahwa yang namanya UU perubahan harus menegaskan pasal-pasal mana yang diubah atau mungkin dihapus. Artinya, selama itu tidak hapus maka (pasalnya, red) masih berlaku, sambungnya.

 

Sonny mengaku tidak habis pikir kenapa kesalahan mendasar seperti ini bisa terjadi di DPR. Selaku lembaga legislatif, sudah sepatutnya paham prinsip-prinsip dasar pembentukan undang-undang. Pola pikir anggota DPR yang membahas UU ini, menurut Sonny, keliru karena lebih mengedepankan proses peralihan dibandingkan dasar hukum utamanya, yakni Pasal 106. Dengan kondisi ini, maka akan terjadi kontradiktif substansi di dalam UU Pemda terbaru karena di satu sisi memuat teknis pengalihan tetapi di sisi lain justru membiarkan kondisi awalnya tetap ada.

 

Potensi konflik

Ini hal yang janggal kalau Pasal 106 yang justru menjadi dasar tidak diubah, perubahan seharusnya bersifat lengkap meliputi pasal-pasal terkait, kata Direktur Eksekutif CETRO Hadar Gumay yang juga mengaku baru mengetahui kejanggalan itu setelah disahkan DPR. Pasal 106, menurut Hadar, semestinya ditegaskan dalam UU perubahan apakah diubah atau dihapus.

 

Hadar menduga DPR selaku pembentuk undang-undang teledor atau khilaf sehingga muncul kejanggalan tersebut. Dia menambahkan, DPR terlalu memfokuskan diri pada pasal-pasal yang terkait dengan kepentingan politik mereka masing-masing. Alhasil, produk yang dihasilkan pun tidak sempurna alias cacat. Mereka (DPR, red) selain kejar tayang, sepertinya juga terlalu fokus pada aturan calon perseorangan sehingga hal-hal detil justru terlewat, tambahnya.

 

Dia khawatir kejanggalan itu akan bermuara pada ketidakpastian hukum. Dampak terburuknya adalah akan terjadi konflik horizontal di daerah. Sayangnya, menurut Hadar, tidak ada yang bisa dilakukan untuk mengkoreksi kejanggalan tersebut karena DPR sudah mensahkan. Sementara, posisi Presiden hanya stempel karena hanya mengundangkan tanpa bisa mengubah substansi, ujarnya.

 

Langkah uji materiil ke MK pun, menurut Hadar, kemungkinannya kecil karena akan sulit mencari alasan konstitusionalnya. UU MK memang mensyaratkan adanya pihak yang dirugikan hak-hak konstitusionalnya dalam pengajuan uji materiil terhadap sebuah undang-undang. Jadi, praktis tidak ada yang dapat dilakukan meskipun UU baru ini secara substansi banyak mengandung masalah, mudah-mudahan DPR segera menyadarinya, pungkasnya.

 

Masa Transisi

Dimintai penjelasannya, Kamis (3/4), anggota Panitia Kerja (Panja) revisi UU Pemda Andi Yuliani Paris mengakui bahwa Panja tidak mengubah Pasal 106. Hal itu dilakukan dengan landasan pemikiran bahwa UU Pemda ini dimaksudkan untuk mengisi masa transisi. Oleh karena itu, Panja menekankan terlebih dahulu pada aturan peralihan Pasal 236 C dengan menetapkan masa transisi 18 bulan. Masa transisi sengaja dirancang untuk memberi kesempatan kepada MK untuk mempersiapkan segala sesuatunya sebelum pengalihan wewenang itu terealisir.

 

Selama masa transisi, pemerintah diharapkan juga segera merampungkan RUU Pilkada yang nantinya akan menjadi rujukan komprehensif penyelenggaraan Pilkada di seluruh Indonesia. RUU Pilkada diproyeksikan akan menjadi RUU inisiatif pemerintah, khususnya Depadagri.

 

Terkait potensi konflik sebagaimana dikhawatirkan sejumlah kalangan, Andi yakin hal itu tidak akan terjadi. Karena dalam 18 bulan nanti sudah ada UU Pilkada yang akan menjadi dasar hukum penyelenggaraan Pilkada, dalihnya. Andi berharap RUU dimaksud segera diajukan ke DPR dengan harapan dapat dirampungkan pembahasannya pada masa sidang DPR berikutnya. 

UU Perubahan Kedua terhadap UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) yang baru saja disahkan Rapat Paripurna DPR (1/4), telah membawa perubahan besar terhadap penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (Pilkada) di Indonesia. Perubahan itu tidak hanya soal dibukanya pintu bagi calon perseorangan, tetapi juga dialihkannya penanganan sengketa hasil Pilkada dari Mahkamah Agung (MA) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Hal yang terakhir ini merupakan penegasan tentang masuknya Pilkada dalam rezim Pemilu.

 

Terkait perubahan ini, masing-masing lembaga terkait telah menyuarakan pendapat mereka. Sebagaimana telah diberitakan, MK menyatakan siap menerima pengalihan, sedangkan MA meminta pengalihan tersebut jangan dikaitkan dengan kemampuan MA dalam memutus sengketa Pilkada. DPR yang membidani UU Pemda terbaru itu menyatakan sengketa Pilkada sengaja dioper ke MK karena dipandang lebih mampu memberikan kepastian hukum bagi pihak yang bersengketa.   

 

Di balik euforia menyambut kelahiran UU Pemda terbaru, ternyata ada cacat tersembunyi terkait sengketa Pilkada yang luput dari perhatian. Pengaturan tentang pengalihan penanganan sengketa Pilkada ternyata mengandung masalah. UU Pemda terbaru hanya menyediakan Pasal 236C sebagai dasar hukum pengalihan tersebut. Itu pun kalau merujuk pada UU Pemda sebelumnya, pasal tersebut masuk dalam Bab XV tentang Ketentuan Peralihan.

Halaman Selanjutnya:
Tags: