Jalan Terjal Membongkar Skandal Aliran Dana ke Senayan
Fokus

Jalan Terjal Membongkar Skandal Aliran Dana ke Senayan

Penahanan Gubernur Bank Indonesia seharusnya bisa menjadi pintu masuk mengusut suap dalam pengambilan keputusan di DPR.

Oleh:
Mon/Sut
Bacaan 2 Menit
Jalan Terjal Membongkar Skandal Aliran Dana ke Senayan
Hukumonline

 

Sejauh ini KPK sudah meminta keterangan dari para petinggi dan mantan petinggi BI. Daftar tersangka belum juga bertambah. Aulia Pohan dan Maman H Soemantri yang menjadi Koordinator Panitia Pengembangan Sosial Kemasyarakatan (PSK) – panitia yang bertugas melaksanakan keputusan Rapat Dewan Gubernur (RDG) tanggal 22 Juli 2003 – juga masih bisa merasakan udara segar di luar sel. Aulia, besan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, acapkali diperiksa dan masih beruntung. Pasalnya, dua anak buahnya, Oey dan Rusli jauh-jauh hari sebelumnya sudah ditahan oleh KPK. Boro-boro ditahan, ditetapkan jadi tersangka saja belum.

 

Keputusan RDG

Untuk merunut kasus aliran dana BI, tak lepas dari keputusan Rapat Dewan Gubernur (RDG). Jika ditilik ke dalam surat keputusan RDG tanggal 22 Juli 2003, Oey dan Rusli tidak akan begitu saja menggolontorkan uang Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) yang jumlahnya mencapai Rp100 miliar. Pasalnya RDG telah memutuskan aturan main penggunaan dana untuk kegiatan PSK yang bertujuan untuk membina hubungan sosial kemasyarakatan. Di antaranya melalui diseminasi kebijakan moneter dan perbankan.

 

Dalam surat keputusan itu ditentukan, setiap kebutuhan dana untuk kegiatan sosial kemasyarakatan diajukan dalam suatu catatan dari Ketua dan atau Wakil Ketua PSK kepada koordinator dengan menyebutkan tujuan penggunaan. Pencairan dana itu harus dengan persetujuan dari koordinator. Selain itu, atas penggunaan dana itu, ketua atau wakil ketua PSK harus melaporkannya secara tertulis kepada koordintor PSK. Secara periodik, minimal tiga bulan sekali ketua atau wakil ketua PSK harus membuat laporan secara tertulis tentang posisi dan penggunaan dana serta kegiatan PSK kepada koordinator PSK.

 

Oey sendiri saat diwawancarai hukumonline beberapa waktu lalu menyatakan telah melaporkan penggunaan dana YPPI itu kepada salah satu Koordinator PSK yaitu Aulia Pohan. Bahkan sebelum RDG 22 Juli 2003 itu, Oey telah bersurat kepada Aulia dan Maman selaku Dewan Pengawas YPPI. Dalam surat tertanggal 4 Juli 2003 itu Oey mengajukan permohonan dana dari Iwan R. Prawiranata sebesar Rp13,5 miliar. Dana itu terkait dengan kegiatan diseminasi BLBI kepada pemangku kepentingan (stakeholders) di kejaksaan Agung. Termasuk untuk menangkal isu-isu negatif mengenai BI. Surat itu akhirnya mendapat prinsip setuju dari Aulia Pohan.

 

Fakta lain terungkap dari surat YPPI yang ditandatangani oleh Badrijussalam Hadi (ketua) dan  Ratnawati Priyono (bendahara) kepada Aulia Pohan dan Maman. Surat itu berisi permintaan dana sebesar Rp66,5 miliar. Padahal dana itu sudah keluar dari Yayasan sebelumnya. Dalam surat pelimpahan dana untuk keperluan sosialisasi BI terdapat tanda tangan Maman yang memberi catatan atas surat itu. Rasanya masih perlu dicairkan   lagi 'status' Rp66,5 miliar yang sudah out dari Yayasan. Tapi pada saatnya dicairkan setelah 31 Juli yang mencairkan adalah YPPI, begitulah tulisan catatan dari Maman.

 

Apalagi Indonesian Corruption Watch (ICW) menemukan fakta baru bahwa penggunaan dana YPPI sudah keluar sebelum ada RDG 3 Juni 2003.  PSK hanya formalitas untuk menutupi penggunaan dana yang sudah dikeluarkan sebelumnya. Kegiatan itu fiktif, kata  Adnan Topan Husodo, anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch (ICW).

 

Menurut Adnan, RDG itu tidak bisa dianggap sebagai awal bergulirnya penggunaan dana YPPI. Fakta itu merujuk pada surat-surat yang keluar sebelum RDG. Selain surat kepada Maman dan Aulia, ICW juga menemukan surat tertanggal 23 Mei 2003 dari Irwan R Prawiranata, mantan Deputi Gubernur BI kepada mantan Gubernur BI Sahril Sabirin. Surat itu berisi permohonan penggantian biaya sebesar Rp8,5 miliar yang telah digunakan sebelumnya oleh IPR. Namun ia tidak mengurai peruntukannya. ICW menyimpulkan dana YPPI telah digunakan atas persetujuan dewan pengawas YPPI dan Dewan Gubernur BI. Fakta itu tidak bisa ditutupi, kata Adnan.

 

Jika benar demikian, penyidik KPK mungkin bisa meminta pertanggungjawaban dari Aulia dan Maman. Dalam hukum pidana, seseorang bisa dimintakan pertanggungjawaban jika ia mengetahui dan menghendaki suatu perbuatan (willen en de witten). Dengan adanya penggelontoran sejumlah dana, patut diduga Aulia mengetahui dan mengendaki pencairan dana yang diduga digunakan untuk menyuap itu. Namun Aulia membantah hal itu. Saya tidak pernah menerima laporan itu, ujar Aulia seperti dikutip dalam wawancaranya kepada Majalah Tempo.

 

Lalu bagaimana dengan 16 anggota DPR yang telah menerima dana tersebut?  Sejauh ini KPK baru memeriksa Hamka Yandhu dan Anthony Z. Abidin dari kalangan DPR. Itu pun setelah dipanggil beberapa kali. Namun entah KPK yang kurang tegas atau ada maksud lain sehingga wakil rakyat itu awalnya mengabaikan pemanggilan. Baru setelah Hamka dicekal KPK, ia bersedia hadir untuk diperiksa sebagai saksi, Rabu (27/2).

 

Pada saat bersamaan, Badan Kehormatan (BK) DPR juga melakukan investigasi. Menurut Wakil Ketua Badan Kehormatan DPR, Gayus Lumbuun, berdasarkan hasil pemeriksaan BK, ditemukan indikasi tindak pidana gratifikasi oleh BI kepada anggota DPR menyangkut tugas utama DPR, yakni legislasi alias pembuat UU. Dana tersebut diduga dialirkan untuk mempengaruhi revisi UU BI dan UU lain yang berkaitan dengan keuangan. Tetapi mengapa, langkah BK DPR seolah terbentur tembok.

 

Kalau ditelusuri ke belakang, hasil penyelidikan KPK era Taufiequrrahman Ruqi sebenarnya juga pernah menemukan indikasi kuat penyelewengan aliran dana BI itu. Sayang, ketika itu pejabat BI tidak kooperatif. Akibatnya, kata Wakil Ketua KPK Bidang Penindakan Tumpak Hatorangan Panggabean, KPK kesulitan merumuskan pasal sangkaan untuk menjerat terdakwa.

 

Kesimpulan penyelewenangan itu diperkuat lagi dari laporan dari Ketua BPK, Anwar Nasution. Anwar dalam laporan tertanggal 16 laporan tertanggal 16 Agustus 2006 mengindikasikan tindak pidana korupsi dan penyuapan dan penyalahgunaan dana YPPI sebesar Rp100 miliar. Tujuan pencairan dana itu, kata Tumpak, untuk memberikan bantuan hukum kepada mantan penjabat BI yang terlibat dalam permasalahan hukum. Nilainya Rp68,5 M. Sisanya, sebesar Rp31,5 miliar digelontorkan untuk Komisi IX DPR periode 2003. Untuk mendapat keputusan politis mengenai masalah BLBI, tegas Tumpak. Itu terkait dengan penyelesaian masalah Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan amandemen UU BI No. 23/1999.

 

Yang mencurigakan, dana itu langsung diberikan kepada mantan pejabat BI dan anggota DPR tanpa mekanisme penerimaan dan pengeluaran resmi BI. Selain itu, peraturan BI sendiri menentukan bahwa BI dapat menyediakan dana dari anggarannya sendiri untuk keperluan bantuan hukum itu tanpa batas. Menurut Anwar, dalam laporannya, penggunaan dana YPPI itu bertentangan dengan UU No. 16/2001 tentang Yayasan.

 

Penyuap dan penerima suap harus bertanggungjawab

Apalagi, kata Anwar, sejak awal gubernur BI sudah mengetahui tujuan penggunaan dana yang berasal dari YPPI semata-mata untuk keperluan menyuap penegak hukum untuk memproses kasus pejabat BI di pengadilan. Dana YPPI hanya tameng untuk menyuap penegak hukum. Pasalnya, selain penggunaan dana YPPI, dari hasil penyelidikan KPK ditemukan ada penggunaan dana BI untuk dua kegiatan yang sama. Pertama, Rp27,7 M diserahkan langsung kepada para pengacara dengan membuat kontrak kerja. Jadi yang diberi bukan uang tapi jasa bantuan hukum, terang Tumpak. Selain itu, katanya, lebih dari empat miliar juga digunakan untuk diseminasi dan sosialisasi undang-undang yang berkaitan dengan fungsi dan tugas-tugas BI.

 

Menurut pakar hukum pidana Rudi Satrio Mukantardjo, perlindungan hukum hanya bisa diberikan jika terkait pelaksanaan tugas kedinasan, misalnya untuk menjadi saksi ahli suatu perkara. Jika sudah menjadi tersangka untuk suatu kegiatan tindak pidana, itu menjadi urusan pribadi. Tidak seharusnya dibiayai dengan uang publik, ujar Rudi. Penggunaan dana dari BI untuk bantuan hukum perkara pribadi, lanjut Rudi, termasuk tindakan melawan hukum yang bertentangan dengan pasal 2 UU Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No.20/2001.

 

Bila merujuk surat Anwar tersebut, maka kata Rudi, para mantan petinggi BI itu bisa dijerat pidana karena turut serta melakukan penyuapan. Pasal 5 dan Pasal 11 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bisa dijadikan amunisi untuk membidik mereka. Jaksa juga bisa menjerat dengan Pasal 55 ayat (1) kesatu KUHP (pasal penyertaan), ujarnya.  

 

Tidak hanya itu, jaksa juga bisa menjerat dugaan suap itu dengan Pasal 56 KUHP. Kesempatan itu lanjutnya bisa dikategorikan membantu melakukan tindak pidana suap. Mantan petinggi BI bisa menjadi pihak yang memberikan kesempatan. Rudi menegaskan KPK harus melihat kasus ini secara utuh. Penyuap dan penerima suap harus diminta pertanggungjawaban pidana, ujar dosen hukum pidana Universitas Indonesia (UI) ini.

 

Lebih jauh, jika dugaan suap itu terbukti, maka Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) pada kasus Soedrajat Djiwandono dan Iwan R.Prawinata bisa dibatalkan. Sebab, SP3 keluar karena ada pengaruh lain di luar konteks hukum, kata Rudi. SP3 itu, lanjutnya, hanya berhenti sementara. Tidak selamanya, tegasnya.

 

Pernyataan Rudi tentu saja bisa membawa pencerahan bagi pengungkapan kasus ini. Sebab, dilihat dari berbagai bukti yang disodorkan, tidak ada alasan bagi KPK untuk tidak segera menuntaskan kasus ini. Apalagi KPK terkesan melakukan tebang pilih dalam menentukan pelaku tindak pidana. Jadi, jangan diskriminatif. 

 

Hanya dalam hitungan jam, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap dan menahan dua orang penting. Anggota DPR Al Amin Nur Nasution diduga tertangkap tangan menerima uang dari Sekda Bintan di Hotel Ritz Carlton, Kuningan. Berselang beberapa jam kemudian, KPK menahan Gubernur Bank Indonesia (BI) Burhanuddin Abdullah. Meski berbeda profesi dan latar belakang, ada satu benang merah yang mengaitkan perkara keduanya, yaitu Senayan.

 

Al Amin, politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), diduga menerima uang terima kasih atas dukungannya mengegolkan rekomendasi Komisi IV DPR terkait perubahan status hutan lindung di Bintan. Lahan yang tadinya berstatus hutan lindung sebentar lagi menjadi taman beton, karena lokasi itu bakal disulap menjadi ibukota Bintan.

 

Burhanuddin juga ditahan terkait dugaan aliran dana dari bank sentral ke Senayan. Sebelumnya, KPK sudah menahan dua bawahan Burhanuddin, yaitu Direktur Hukum Oey Hoey Tiong, dan mantan Kepala Biro Komunikasi BI Rusli Simanjuntak. Hingga awal pekan ketiga April ini, belum ada satu pun wakil rakyat atau mantan wakil rakyat penerima dana BI yang ditahan KPK. Padahal, kuat dugaan, dana yang mengalir ke pundi beberapa pihak mencapai Rp68,5 miliar.

 

Wakil Ketua KPK Chandra Hamzah menegaskan bahwa penyidikan awal aliran dana BI akan difokuskan pada pemeriksaan tiga wilayah yaitu wilayah pengeluaran (uang itu keluar), wilayah operator (pelaksana yang mengeluarkan uang), dan terakhir wilayah penerima (yang menerima uang). Inilah yang membuat sejumlah kalangan meminta KPK tidak tebang pilih. Mereka yang ikut memberikan, membantu memberikan, dan menerima dana miliaran rupiah itu harus diperlakukan sama.

Halaman Selanjutnya:
Tags: