Mempersoalkan SKB Pelarangan Aliran Sesat
Berita

Mempersoalkan SKB Pelarangan Aliran Sesat

SKB sifatnya koordinatif antar lembaga yang menandatanganinya. Kekuatan mengikatnya pun terbatas hanya untuk kalangan internal instansi terkait, tidak mengikat pihak luar.

Oleh:
CRR
Bacaan 2 Menit
Mempersoalkan SKB Pelarangan Aliran Sesat
Hukumonline

 

Menanggapi hal ini, Pengajar Ilmu Perundang-undangan Fakultas Hukum Universitas Indonesia Sonny Maulana Sikumbang mengatakan kedudukan SKB setara dengan Peraturan Menteri. Lazimnya, SKB dikeluarkan bukan oleh lembaga seperti Kepolisian atau Kejaksaan, tetapi kementerian yang memang memiliki wewenang untuk membuat peraturan.

 

Dalam konteks Ahmadiyah, Kejaksaan Agung juga ternyata turut menjadi pihak yang mengeluarkan SKB. Memang ada tren lembaga pelaksana hukum menggandeng menteri untuk membuat SKB, tapi sebenarnya kepolisian, kejaksaan, tidak memiliki wewenang untuk menetapkan suatu aturan, mereka hanya dapat membuat suatu penetapan yang berlaku secara internal, tutur Sonny, dihubungi via telepon (1/5).

 

Persoalannya, menurut Sonny, UU No. 1/Pnps/1965 mendelegasikan tugas dan tanggung jawab kepada Kejaksaan untuk meneliti aliran-aliran yang dianggap menyimpang. Namun begitu, dia berpendapat alasan yang digunakan dalam mengeluarkan SKB tentang Ahmadiyah seharusnya alasan yang berdasarkan hukum, bukan berdasarkan ideologi atau nilai. Pasalnya, Kejaksaan adalah aparat penegak hukum, bukan aparat penegak ideologi.

 

Sama halnya kasus-kasus aliran ataupun ajaran sesat di Amerika. Polisi atau jaksa mencoba mencari kesalahan yang melanggar hukum atau undang-undang sebagai alasan pelarangan, pembubaran, dan penangkapan penganut kepercayaan itu, tambah Sonny membandingkan.

 

Dihubungi terpisah, Asfinawati selaku kuasa hukum JAI berupaya melakukan perlawanan dengan cara mempertentangkan SKB dengan Konstitusi. Logikanya ketika UU itu dibuat Konstitusi belum diamandemen. Apalagi, Indonesia juga tercatat sudah meratifikasi Konvenan tentang Hak-hak Sipil dan Politik melalui UU No.12 Tahun 2005.

 

Ratifikasi ini ditindaklanjuti dengan diintegrasikannya hak-hak sipil dan politik warga negara yang tertera di Konvenan itu ke dalam UUD 1945 hasil amandemen. Salah satunya adalah Pasal 28 E ayat (2) yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap. Pelarangan JAI yang kemungkinan akan dikukuhkan oleh SKB dianggap memberangus hak konstitusi warga negara dan memunculkan ketidakpastian hukum.

 

Asfin mengatakan bahwa SKB yang akan dikeluarkan oleh tiga instansi elemen pemerintahan ini secara implisit merupakan upaya untuk mengubah dasar negara hukum mejadi negara agama. Kalau sampai SKB ini disahkan, berarti telah terjadi pelanggaran konstitusi. Mereka itu terlalu pakai hukum positif yang memaknai hukum secara sempit menggunakan kaca mata kuda, tegasnya lagi.

 

Asfin mewakili JAI bertekad meminta kejaksaan membubarkan Bakorpakem. Senin ini (5/5) rencananya, ia akan melayangkan somasi ke Kejagung, Selain itu, kami juga akan mengirimkan pesan kepada Presiden agar SKB tidak jadi disahkan. Menteri-menteri itu kan pembantu presiden, jadi kami mencoba untuk menyentuh hierarki yang lebih tinggi, tutur Asfin.   

Perdebatan seputar rencana pelarangan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) terus bergulir. Beberapa waktu lalu, sejumlah kalangan mempertanyakan eksistensi Badan Koordinasi Pengawas Keagamaan dan Kepercayaan Masyarakat (Bakorpakem). Kini, persoalan beralih ke wacana dasar hukum pelarangan itu.

 

Sebagaimana diketahui, rekomendasi Bakorpakem yang dihasilkan melalui rapat 16 April lalu di Kejaksaan Agung, akan ditindaklanjuti dengan diterbitkannya surat keputusan bersama (SKB) melibatkan Kejaksaan Agung, Departemen Dalam Negeri dan Departemen Agama. Kabar terakhir menyebutkan SKB yang memancing kontroversi itu akan diterbitkan Senin (5/5).

 

Keberadaan SKB ini, menurut the Indonesian Legal Resource Center (ILRC), patut dipertanyakan kekuatan mengikatnya. ILRC menilai kedudukan SKB lemah karena tidak menjadi bagian dari hierarki peraturan perundang-undangan. Pasal 7 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2004 menyebutkan hierarki peraturan perundang-undangan secara urut terdiri dari UUD 1945, UU/Perpu, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Peraturan Daerah. SKB bahkan tidak disebutkan sama sekali dalam UU yang disahkan 22 Juni 2004 itu.

 

Lebih lanjut, ILRC berpendapat SKB tidak seharusnya mengikat secara umum. SKB sifatnya koordinatif antar lembaga yang menandatanganinya. Kekuatan mengikatnya pun terbatas hanya untuk kalangan internal instansi terkait. Dengan kata lain, SKB tidak bisa mengikat pihak luar, apalagi masyarakat secara umum.

Tags: