Harus Bayar Pesangon Rp300 Juta, Perusahaan Merasa Berat
Putusan Kasasi PHK Eks Karyawan Trust:

Harus Bayar Pesangon Rp300 Juta, Perusahaan Merasa Berat

Putusan Mahkamah Agung menetapkan agar perusahaan membayar secara tunai tanpa cicilan. Perusahaan mengaku keuangan belum memungkinkan. Pertanda pengusaha media mengabaikan ketentuan hukum? Upaya perundingan masih berlanjut.

Oleh:
Ycb/IHW
Bacaan 2 Menit
Harus Bayar Pesangon Rp300 Juta, Perusahaan Merasa Berat
Hukumonline

 

Ketiganya adalah redaktur senior Bambang Bujono –biasa disapa Bambu, penjaga rubrik Rusdi Amarullah Mathari, dan reporter Bajo Winarno. Semua dari bagian redaksi.

 

Ketika hukumonline mengonfirmasi hal ini, Aji membenarkan. Dia justru beroleh putusan dari pihak LBH Pers. Kami malah mendapat kabar kalau perkara ini sudah diputus dari para tergugat, ujar Bambang Aji lewat telepon, Selasa (8/7).

 

Mahkamah Agung dalam putusan kasasinya pada 17 Desember 2007, memberikan izin kepada PT Hikmat Makna Aksara (HMA) -perusahaan penerbit Majalah Bisnis dan Ekonomi Trust- untuk memutus hubungan kerja Bambang Bujono dkk. PHK itu terhitung sejak akhir September 2005.

 

Putusan itu bernomor 297 K/PHI/2007. Hakim Agung yang menangani perkara ini antara lain mendiang IB Ngurah Adnyana (ketua), serta Bernard dan Arief Soedjito –keduanya hakim anggota. Lantaran hakim Adnyana mangkat, putusan itu ditandatangani oleh Ketua MA Bagir Manan tertanggal 14 Januari lalu.

 

Pihak Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) baru menindaklanjuti putusan ini belakangan. Tertanggal 28 Mei, Jurusita Pengganti Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Agus Suriyawan melayangkan relaas pemberitahuan putusan itu kepada LBH Pers.

 

Atas keputusan PHK itu, majelis hakim memerintahkan agar perusahaan membayar kompensasi kepada trio karyawannya. Totalnya mencapai Rp294 jutaan. Bambang Bujono yang paling besar mendapatkan kompensasi, yaitu Rp226 juta. Rusdi Mathari mendapat Rp47,9 juta. Sedangkan Bajo Winarno beroleh Rp20,3 juta.

 

Dalam pertimbangan hukumnya, majelis kasasi membenarkan alasan perusahaan mem-PHK ketiga karyawanya. Demi efisiensi dan ketidakmampuan keuangan perusahaan adalah alasan perusahaan melakukan PHK. Putusan ini menguatkan putusan-putusan di bawahnya.

 

Pada 26 Oktober 2005, Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah (P4D) memberi izin HMA mem-PHK ketiganya serta mewajibkan pengusaha membayar kewajibannya secara tunai tanpa cicilan. Perhitungan jatah hak ketiganya sedikit lebih banyak daripada putusan kasasi. Hak Bambu Rp228,6 juta, Rusdi Rp48,45 juta, dan Bajo Rp20,57 juta. Putusan itu bernomor 610/P.450/IX/PHK/X-2005. Salinannya baru diterima pihak karyawan dua bulan kemudian.

 

Sebelumnya, pada 20 Juni 2005, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi DKI Jakarta punya anjuran setali tiga uang. Anjuran itu bernomor 3650/-1.835.3. Cuma, besaran hak pesangon ketiganya –jika dibanding dua putusan di atasnya, paling sedikit. Bambu dapat Rp190 juta, Rusdi Rp39,9 juta, dan Bajo Rp15,44 juta.

 

Ini putusan berat

Mengetahui putusan MA, Aji mengaku kecewa. Menurutnya MA tidak mempertimbangkan kondisi terakhir perusahaan sebelum terjadi PHK. Waktu itu sudah ada kesepakatan antara manajemen dengan pegawai. Salah satunya mengenai kesediaan pemotongan gaji bagi pekerja yang levelnya di atas dan bergaji besar. Tapi kok Mas Bambu malah menuntut sesuai gaji awal lagi?

 

Aji menjelaskan ihwal kronologis perkara ini. Pada 2004, manajemen HMA mengaku mengalami kesulitan keuangan. Di jajaran redaksi sendiri, saat itu terbelah menjadi dua kubu. Kubu Bambang Bujono dan kubu Bambang Aji. Saat itu, kata Aji, kubu Bambu menawarkan opsi kepada manajemen untuk memilih salah satu, pihak mana yang dipecat. Ternyata kubu Bambang Aji yang dipilih oleh komisaris. Saya yang dipertahankan oleh perusahaan, ungkap Aji bangga.

 

Untuk menyelamatkan kondisi keuangan perusahaan, Bambu sebagai wakil karyawan mengusulkan potong gaji bagi petinggi sebesar 10%. Sunat upah ini juga termasuk untuk dirinya yang level redaktur eksekutif. Karyawan berpendapat gaji atasan mengangkangi 65% dari total gaji. Namun, dalam perundingan bipartit itu, perusahaan beralasan hitung-hitungan potong gaji pun tak mampu menyelamatkan kantong. Jalan terakhir, tetap pecat sejumlah karyawan.

 

Belakangan masuk investor anyar dari grup Bimantara atau yang kini dikenal Media Nusantara Citra (MNC). Datangnya investor baru yaitu Grup MNC, kata Aji, tidak terlalu signifikan berpengaruh pada keuangan perusahaan. Artinya tidak terlalu berlebih lah. Kantor sekarang memang lebih bagus. Tapi kan bukan tempat kita.

 

Dalam pertemuan Senin lalu, Aji mengemukakan niatnya hendak mencicil kewajiban itu. Dia menghormati putusan MA, namun, walau bagaimanapun, jumlah itu terlalu berat. Kalau sebesar itu sepertinya cukup berat. Jadi kalau mereka mau mengajukan gugatan pailit, ya terserah saja. Mau bagaimana lagi? Lagian yang bisa disita apaan? Tidak ada aset berharga yang kita miliki. Komputer sudah berumur empat sampai lima tahun. Kantor punya Bimantara, tuturnya kepada hukumonline.

 

Dalam beberapa perkara, ketika perusahaan tidak mau melaksanakan putusan pengadilan membayar kewajiban kepada buruh, pimpinan perusahaan bisa dipidana. Atas hal ini, Aji juga siap pasang badan. Mau bagaimana lagi. Kalau mereka menempuh pidana, paling saya dipenjara.

 

Namun begitu, lanjutnya, dalam waktu dekat manajemen mungkin akan membahas permasalahan ini dengan para pemegang saham. Kalau sekarang sih belum sampai ke pemegang saham. Tapi nggak tahu nanti.

 

Kubu karyawan sendiri ingin Trust membayar secara tunai tanpa cicilan. Bunyi putusannya seperti itu dan ini sudah final, ujar pengacara dari LBH Pers Sholeh Ali. Jika perusahaan tidak segera memenuhinya, pihaknya siap melayangkan surat kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat guna menurunkan aanmaning. Jika sudah tiga kali peringatan, kami bisa menggugat pailit, sambung Sholeh.

 

Karyawan menunggu putusan ini hampir empat tahun. Ini sudah ada putusan inkracht. Kok baru sekarang perusahaan bilang keberatan dan mau cicil, sergah Direktur LBH Pers Hendrayana. Hendra lantas merujuk beberapa pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Ketentuan itu sudah jelas mengatur bagaimana cara menjalankan keputusan.

 

Kalau digugat pailit, yang rugi karyawan sendiri dan itu tidak bagus bagi kita semua. Kami juga punya sejumlah kewajiban pajak. Kalau dipailitkan, kami lunasi dulu kewajiban kepada Negara, baru kepada karyawan. Lantas mau dapat apa? Aji menyampaikan hal itu kepada LBH Pers dalam pertemuan Senin itu. Nada bicaranya datar. Pertemuan awal itu belum membuahkan hasil. Untuk berunding lebih lanjut, Aji bakal menyambangi lagi LBH Pers Selasa (15/7).

 

Herziene Indonesisch Reglement (HIR)

Bagian 5 Tentang Menjalankan Keputusan

 

Pasal 195

(1) Hal menjalankan keputusan pengadilan negeri, dalam perkara yang pada tingkat pertama diperiksa oleh pengadilan ngeri, adalah atas perintah dan dengan pimpinan ketua pengadilan negeri yang pada tingkat pertama memeriksa perkara itu, menurut cara yang diatur dalam pasal-pasal berikut ini.

 

Pasal 196

Jika pihak yang dikalahkan tidak mau atau lalai untuk memenuhi isi keputusan itu dengan damai, maka pihak yang menang memasukkan ermintan, baik dengan lisan, mauun dengan surat, kepada ketua pengadilan negeri yang tersebut pada ayat pertama Pasal 195, buat menjalankan keputusan itu. Ketua menyuruh memanggil pihak yang dikalahkan itu serta memperingatkan, supaya ia memenuhi keputusan itu di dalam tempo yang ditentukan oleh ketua, yang selama-lamana delapan hari.

 

Pasal 197

(1) Jika sudah lewat tempo yang ditentukan itu, dan yang dikalahkan belum juga memenuhi keputusan itu, atau ia jika dipanggil dengan patut, tidak datang menghadap, maka ketua oleh karena jabatannya memberi perintah dengan surat, supaya disita sekalian banyak barang-barang yang tidak tetap dan jika tidak ada, atau ternyata tidak cukup sekian banyak barang tetap kepunyaan orang yang dikalahkan itu sampai dirasa cukup akan pengganti jumlah uang yang tersebut di dalam keputusan itu dan ditambah pula dengan semua biaya untuk menjalankan keputusan itu.

 

(2) Penyitaan dijalakan oleh panitera pengadilan negeri.

 

Bambu sendiri adem-ayem menyambut putusan itu. Biasa-biasa saja. Kami ini tak tahu hukum. Makanya menyerahkah semuanya kepada kuasa hukum kami, tuturnya, ketika ditemui di LBH Pers, Rabu (8/7). Bambu bersama Rusdi kala itu. Menurut Bambu, mau dibayar tunai syukur, kalau perusahaan mau cicil, dia serahkan perundingannya kepada LBH Pers.

 

Pandangan keras justru datang dari organisasi profesi wartawan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta. Tak maunya Trust membayar langsung kewajibannya itu, hal ini menunjukkan begitu banyak pengusaha media yang tidak tahu hukum dan sewenang-wenang terhadap karyawannya, ujar Winuranto Adhi, Koordinator Divisi Serikat Pekerja AJI.

 

Putusan MA ini cukup unik. Kasus ketenagakerjaan ini melewati masa transisi proses penyelesaian hubungan industrial, dari rezim lama yang masih berupa P4D dan P4P ke era PHI. Undang-Undang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI) baru lahir pada 2004 (UU 2/2004). Kalau dalam hukum yang lama (P4D-P4P-PTTUN-MA), terhadap putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap, tidak ada perdamaian. Tidak bisa ditawar-tawar lagi, komentar Yogo Pamungkas, pengajar hukum perburuhan Universitas Trisakti via telepon.

 

Namun, sambung Yogo, rezim baru PPHI ini memungkinkan jalan kompromi di antara dua pihak. Sistem hukum acara yang sekarang (PHI melalui UU No. 2 Tahun 2004), pada prakteknya, masih dimungkinkan adanya proses tawar-menawar sepanjang kewajiban yang tertuang dalam putusan terpenuhi. Jika pencicilan itu disetujui pihak yang menang, tidak ada masalah. Sekali lagi ini dalam tataran praktek.

 

Sulit menyeret induk

MNC kini memang menjadi induk perusahaan Trust. Gergasi bisnis media ini punya banyak anak perusahaan, di antaranya RCTI, Global TV, TPI, Seputar Indonesia, Okezone, dan sebagainya. Jika Trust mengaku berat di kantong, dapatkah MNC turut menanggung beban Rp300 juta itu?

 

Tampaknya susah. Sejak awal MNC tidak kami libatkan sebagai pihak tergugat. Waktu itu dia belum membeli Trust, tutur Sholeh. Meski demikian, menurut Sholeh, MNC dapat turun tangan dengan alasan moral. Seperti kasus semburan lumpur Lapindo, induk barunya turut ganti rugi, terangnya.

 

Bagi Sholeh dan Hendra, kasus ini merupakan putusan kasasi MA yang pertama di bidang ketenagakerjaan sektor media. Sepanjang kami menangani kasus buruh media, kasasi ini yang pertama, ujar Hendra.

Cuaca Jakarta Senin (7/7) jam dua siang panas. Sepanas perbincangan di dalam kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, di kompleks perumahan BIER, Menteng Dalam. Di situ, Bambang Aji Setiady duduk di kursi pojok tenggara meja. Aji, Pemimpin Redaksi Majalah Trust, dikeroyok oleh lima orang dari LBH Pers. Bicaranya tertahan-tahan. Zonder senyum. Trenyuh.

 

Sebelumnya, ketika masih di ruang tamu, bibirnya menghisap dan menghempaskan asap rokok Dji Sam Soe. Ini ruang bebas merokok kan? ujar Aji minta acc dari empunya kantor.

 

Kali ini Aji memenuhi undangan LBH Pers untuk membahas perihal pembayaran pesangon tiga karyawan –semuanya redaksi– yang sudah diputus final dan mengikat oleh Mahkamah Agung. Aji mengaku belum menerima putusan itu. Justru dia dapat salinan dari pihak lawannya, LBH Pers yang jadi kuasa hukum ketiga karyawan itu.

Tags: