Dokumen Rahasia Perusahaan Tercecer, Jangan Pecat Pekerja!
Berita

Dokumen Rahasia Perusahaan Tercecer, Jangan Pecat Pekerja!

Jika pengusaha teledor, jangan limpahkan kesalahan kepada pekerja. Apalagi sampai memecatnya. Menerapkan PKWT juga harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Oleh:
IHW
Bacaan 2 Menit
Dokumen Rahasia Perusahaan Tercecer, Jangan Pecat Pekerja!
Hukumonline

 

Majelis hakim yang diketuai Sir Johan, beranggotakan Tri Endro dan M. Sinufa Zebua, ternyata lebih 'berpihak' kepada Ayu dkk. Berdasarkan bukti dan fakta yang terungkap di persidangan, RTI  tidak bisa membuktikan tuduhannya.

 

Mengenai istilah 'dokumen rahasia' terhadap berkas yang ditemukan oleh Ayu dkk misalnya, hakim sampai terpaksa membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia. Dokumen rahasia adalah surat yang tertulis atau tercetak yang dapat dipakai sebagai bukti keterangan yang sengaja disembunyikan supaya tidak diketahui orang lain, ucap hakim Tri Endro, Kamis (14/8).

 

Merujuk pada bukti di persidangan, hakim mengungkapkan, tidak ada tanda-tanda yang menyatakan bahwa dokumen yang ditemukan pekerja adalah dokumen rahasia. Tidak ada kata-kata 'rahasia', logo tergugat atau paraf pimpinan tergugat, kata hakim.

 

Fakta yang lebih penting, menurut hakim, adalah sikap kecerobohan dan kesalahan tergugat yang sembarangan meletakkan dokumen yang dianggap rahasia itu. Kertas dokumen yang ditemukan  penggugat di tumpukan kertas bekas adalah bukan semata-mata kesalahan penggugat, namun  adalah murni kesalahan, kecerobohan dan keteledoran dari tergugat.

 

Berangkat dari fakta bahwa dokumen yang ditemukan Ayu dkk bukanlah dokumen rahasia dan juga adanya kesalahan serta keteledoran RTI, hakim menyimpulkan bahwa tuduhan RTI tidak berdasar.

 

Unfair Dismissal

Pada bagian lain, majelis hakim juga menguji keabsahan tindakan PHK yang dilakukan RTI kepada Ayu cs. Mengenai hal ini, hakim berpendapat bahwa lazimnya perusahaan harus mengeluarkan surat peringatan kesatu, kedua atau ketiga terlebih dulu sebelum menjatuhkan sanksi PHK.

 

Faktanya, lanjut hakim, RTI tidak pernah mengeluarkan surat peringatan kepada Ayu dkk. Artinya, selama bekerja para penggugat belum pernah melakukan kesalahan dalam menjalankan pekerjaannya.

 

Mempertimbangkan kondisi dimana tuduhan RTI kepada Ayu dan konco-konco tidak berdasar dan didukung dengan belum pernah dikeluarkannya surat peringatan, hakim berpendapat bahwa RTI telah melakukan PHK dengan tidak adil dan sewenang-wenang. PHK yang dilakukan tergugat dikategorikan sebagai unfair dismissal atau unjustified dismissal (pemecatan secara tidak wajar).

 

Meski PHK yang dilakukan tergugat tidak sah, hakim tidak memutuskan agar para penggugat dipekerjakan kembali. Karena hubungan kedua pihak sudah tidak harmonis lagi dan hubungan kerja tidak dapat dipertahankan kembali, maka majelis hakim berpendirian bahwa hubungan kerja antara penggugat dengan tergugat harus diputuskan.

 

Merujuk pada ketentuan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, hakim kemudian menjatuhkan hukuman kepada RTI untuk membayar uang pesangon sebesar dua kali ketentuan pasal 156 ayat (2) UU Ketenagakerjaan. Selain itu uang penghargaan masa kerja sebesar satu kali ketentuan, uang penggantian hak dan hak-hak lainnya.

 

Jika ditotal RTI harus membayar kompensasi kepada Ayu sejumlah Rp103,1 juta, Yanti (Rp67,9 juta) dan Mira (Rp120,3 juta).

 

Jadi PKWTT

Putusan ini bisa menjadi pengalaman berharga bagi para pekerja di sektor LSM. Salah satunya mengenai kejelasan status hubungan kerja dan kompensasi yang berhak diterima jika hubungan kerja berakhir.

 

Praktiknya, selama ini LSM kerap menerapkan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) alias sistem kerja kontrak. Dalam perkara ini misalnya. Ayu dkk dikontrak untuk program DBE selama lima tahun. Lagi-lagi bicara praktik, biasanya jika kontrak berakhir, si pekerja LSM tidak mendapat kompensasi apapun.

 

Namun dalam perkara ini, majelis hakim membuat 'teroboson'. Terlepas dari sifat dan jenis pekerjaannya, menurut hakim, ketika RTI telah melakukan perpanjangan PKWT lebih dari satu kali, maka demi hukum status Ayu dkk berubah menjadi PKWTT.

 

Ditemui usai persidangan, kuasa hukum RTI belum bersedia berkomentar. Sementara, kuasa hukum penggugat, Dyah Aryani  Prastyastuti berharap agar putusan ini dapat dijadikan preseden agar tidak ada lagi pengusaha yang sewenang-wenang, melanggar HAM dan tidak adil terhadap para pekerjanya.

Demikian putusan hakim dalam perkara Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) antara Ayu Tri Mulyo Utami, Marni Yanti dan Mira Kestari melawan Research Triangle Institute (RTI), sebuah LSM internasional yang berinduk di Negeri Paman Sam, Amerika Serikat.

 

Di Indonesia, RTI sedang menjalankan program Dezentralized Basic Education (DBE). Program yang didanai United States Agency for International Development (USAID) ini rencananya dilaksanakan selama lima tahun pada 2005-2010. Ayu, Yanti dan Mira dipekerjakan RTI dalam program DBE itu. Di tengah-tengah masa kerja, RTI memutuskan hubungan kerja ketiganya.

 

Saat itu RTI menuding trio karyawati tersebut dinilai bersalah karena mengakses dan membocorkan dokumen rahasia perusahaan. Tudingan itu dibantah oleh ketiganya. Mereka mengaku hanya menemukan, bukan mengakses dokumen. Selain itu, pada dokumen tersebut tidak ditemukan indikasi bahwa itu adalah dokumen rahasia perusahaan.

Halaman Selanjutnya:
Tags: