Karena Rokok Seperti Narkoba
Berita

Karena Rokok Seperti Narkoba

MUI berencana melahirkan fatwa haram tentang rokok. Alasannya rokok dapat menghancurkan generasi muda bangsa. Rencana ini didukung sejumlah pihak. Hanya, niat MUI ini bakal sulit diterapkan lantaran rokok merupakan salah satu penyumbang dana terbesar bagi negara.

Oleh:
M-5
Bacaan 2 Menit
Karena Rokok Seperti Narkoba
Hukumonline

KH Zainuddin Djazuli dibuat cemas akhir-akhir ini. Pengasuh Pondok Pesantren (Ponpes) Al Falah, Ploso, Kabupaten Kediri, ini mungkin saja tak lagi tidur nyenyak lantaran isu rokok haram. Gus Din –begitu Zainuddin Djazuli disapa- memang dikenal sebagai perokok berat. Rencana Majelis Ulama Indonesia (MUI) menerbitkan fatwa haram tentu membuat hatinya dag dig dug.

 

Jika, jadi dikeluarkan, mau tidak mau Gus Din harus meninggalkan kebiasaanya menghisap asap tembakau itu. Makanya, dia tidak setuju dengan fatwa yang bakal dikeluarkan MUI ini. Saya yakin tidak akan efektif. Buktinya sampai sekarang orang merokok masih banyak, padahal di mana-mana ada peringatan larangan merokok, ujarnya, seperti dilansir Antara News (14/8).

 

Seperti diketahui, MUI berencana mengeluarkan fatwa haram untuk rokok. Rencana MUI tersebut tak lepas dari desakan Ketua Umum Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Seto Mulyadi serta Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization –WHO). Keduanya belum lama ini menjambangi kantor MUI. Tujuannya ya itu tadi, meminta MUI untuk memberi solusi soal penanganan rokok yang dianggap sudah kronis.

 

Jadi, kemarin itu kan kami menerima tamu dari KPAI, Kak Seto yang didampingi oleh WHO. Mereka itu membawa setumpuk data bahwa merokok itu merusak kesehatan, terutama yang memprihatinkan mereka adalah anak, ujar Ketua MUI, Amidhan, yang ditemui hukumonline di kantornya, Jakarta, Rabu (13/8).

 

Amidhan mengatakan WHO sebenarnya sudah lama mensosialisasikan bahaya dari dampak rokok. Mereka (WHO, red) mempunyai data di negara-negara lain termasuk di Indonesia sendiri. Pokoknya luar biasa dampaknya itu. Kalau mengkonsumsi itu (rokok, red) menyebabkan kanker kemudian mati berarti itu menganiaya diri sendiri, tegasnya.

 

Ia mengakui wacana rokok haram telah lama diperbincangkan. Hanya, terbentur masalah selisih pendapat di dalam tubuh ulama itu sendiri. Sebab jika MUI ingin mengeluarkan fatwa, maka harus disetujui oleh semua ulama di Negeri ini. Di dalam ulama masih ada perbedaan. Jadi kalau perbedaan itu tajam, maka akan kita hindari karena lebih baik tidak memfatwakan daripada memfatwakan dari sebagian ulama dan meninggalkan ulama yang lain. Pokoknya kita harus sangat hati-hati dan teliti mengenai fatwa itu, ucap Amidhan yang mengaku telah berhenti merokok 15 tahun yang lalu.

 

Untuk membahas isu rokok haram ini, rencananya MUI akan menggelar pertemuan Komisi Fatwa se-Indonesia akhir tahun ini. Pertemuan ini merupakan lanjutan Rapat Koordinasi Daerah (Rakorda) MUI se-Sumatera yang dilangsungkan di Palembang, bulan Juni 2008. Dalam Rakorda di Palembang, para ulama sepakat kalau rokok haram hukumnya bagi umat Islam. Nah, hasil rapat inilah yang akan dibawa dalam pertemuan Komisi Fatwa se-Indonesia nanti.

 

Usaha MUI ini diberi lampu hijau oleh sejumlah kalangan. Salah satunya adalah Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi meminta MUI tidak ragu-ragu dalam mengeluarkan fatwa tersebut. MUI jangan ragu-ragu untuk mengeluarkan fatwa haram hanya karena mempertimbangkan dampak sosial ekonomi, yang terpenting adalah substansinya haram seperti narkoba, ujarnya kepada hukumonline.

 

Tulus menambahkan bahwa sebenarnya ada conflict of interest di kalangan ulama sendiri. Pasalnya, tak sedikit ulama yang merokok. Selain itu, banyak organisasi keagamaan yang mendapatkan keuntungan dari rokok.

 

Sama seperti Tulus, Anggota komisi IX DPR, Hakim Sorimuda Pohan, juga meminta MUI jangan ragu dalam mengeluarkan fatwa haram bagi rokok. Alasannya, rokok bisa mengakibatkan kematian 1.070 orang perhari. Selain itu, kata dia, Liga Islam Sedunia juga telah mengharamkan rokok. Untuk itu, MUI harus jatuhkan dulu dalilnya sehingga masyarakat tahu, tegas Hakim.

 

Apalagi kabar dari Senayan membisikan, penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengendalian Dampak Produk Tembakau Terhadap Kesehatan telah selesai dibuat. RUU ini dirancang guna mencegah atau menangani dampak konsumsi produk tembakau baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap kesehatan.

 

Aturannya diperkuat

Terlepas dari fatwa tersebut, sebenarnya pemerintah sendiri cukup tanggap terhadap  masalah rokok. Sejumlah pemerintah daerah (pemda) bahkan telah mengeluarkan peraturan daerah (perda) tentang larangan merokok di tempat umum. Misalnya, Pemda DKI Jakarta yang telah menerbitkan Perda No. 2 Tahun 2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara.

 

Pasal 13 Perda itu dengan tegas melarang merokok di tempat umum seperti arena kegiatan anak, rumah sakit, serta angkutan umum. Selain itu, pimpinan sebuah perusahaan harus menyediakan ruangan khusus bagi pegawainya yang ingin merokok. Hal serupa juga berlaku bagi angkutan umum, yang harus menyediakan tempat khusus bagi penumpang yang ingin merokok.

 

Namun, peraturan tinggallah peraturan. Orang tetap saja merokok di tempat umum. Jangankan sanksi, teguran dari petugas pun tak ada. Ironisnya, tak jarang ditemui petugas Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) yang menikmati rokok di tempat umum.

 

Memang di awal keluarnya Perda tersebut, Pemda sempat gencar melakukan razia rokok di sejumlah tempat umum. Hanya, upaya itu kini tak kelihatan lagi. Makanya tak berlebihan jika Azas Tigor Nainggolan menganggap Perda tersebut kurang implementatif. Perda rokok ini ga jalan, sebab aparat kurang konsisten. Selain itu, ada persoalan di Pergub-nya sendiri, ujar Ketua Forum Warga Jakarta ini (19/8).

 

Berdasarkan hasil survei yang dilakukan Tigor dan kawan-kawan, 60 persen perokok berasal dari kelas menengah ke bawah. Dan 70 persen pelanggaran Perda terjadi di pusat perbelanjaan (mal). Kebanyakan pelanggaran itu justru dilakukan sendiri oleh para pegawai dan satpam mal yang seharusnya menegakkan peraturan ini.

 

Pemda sendiri mengakui kalau perda itu bak macan ompong. Buktinya, kata Tigor, Gubernur DKI Jakarta meminta pihaknya untuk memberi masukan terhadap revisi Perda tersebut.

 

Selain masalah penegakan hukum, ketidakberdayaan Perda ini juga dikarenakan adanya transisi perilaku. Hal ini dikatakan peneliti Pusat Studi Kebijakan Hukum (PSHK), M. Nur Solikin. Perda pencemaran udara ini memang sulit dilaksanakan, selain aparat hukumnya harus konsisten, juga mengubah perilaku baru di masyarakat yang harus dilakukan dengan kerja keras.

 

Solikin lantas menganalogikannya dengan peraturan memakai sabuk pengaman. Dulu, katanya, ketika aturan memakai sabuk pengaman diwajibkan, masyarakat sempat tidak terbiasa. Tapi, karena aparatnya konsisten dan tegas menegakkan aturan ini, maka masyarakat jadi terbiasa menggunakan sabuk pengaman.

 

Namun, apa yang disarankan Solikin tak semudah membalikan telapak tangan. Masalah rokok jelas berbeda dengan sabuk pengaman. Di bisnis ini ada ribuan orang yang menggantungkan hidup dari rokok. Apalagi, sudah bukan rahasia umum kalau rokok merupakan salah satu penyumbang pendapatan negara terbesar. Di negeri ini bertebaran ratusan produsen rokok mulai dari pengusaha lokal hingga produsen rokok dunia. Rokok sudah menyumbang cukai Rp9 miliar per hari kepada negara, ini kan sisi positifnya rokok, tandas Gus Din mengingatkan.

Halaman Selanjutnya:
Tags: