MK Putuskan Pemilu Gunakan Suara Terbanyak
Utama

MK Putuskan Pemilu Gunakan Suara Terbanyak

Mahkamah Konstitusi membatalkan sistem penetapan caleg berdasarkan nomor urut dalam UU Pemilu Legislatif. Putusan MK ini dinilai merugikan kaum perempuan.

Oleh:
Ali
Bacaan 2 Menit
MK Putuskan Pemilu Gunakan Suara Terbanyak
Hukumonline

 

Dalam pertimbangannya, MK menegaskan bahwa putusan ini bisa langsung dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Arsyad memastikan tidak akan ada kekosongan hukum akibat putusan MK ini. Selain itu, KPU juga tak perlu menunggu dikeluarkannya revisi undang-undang maupun peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu). Putusan ini bersifat self ezecuting, ujarnya. Artinya, KPU bisa langsung menetapkan anggota legislatif berdasarkan suara terbanyak pada Pemilu 2009 nanti.

 

Anggota KPU, Andi Nurpati, mengatakan KPU menghormati putusan MK ini. Ia menegaskan, KPU siap menggunakan sistem suara terbanyak dalam penetapan anggota legislatif sesuai amanat putusan MK tersebut.

 

Sekedar mengingatkan, permohonan pengujian UU Pemilu Legislatif ini diajukan oleh politisi asal PDIP Muhammad Sholeh dan caleg Partai Demokrat Sutjipto. Mereka mempersoalkan beberapa ketentuan. Diantaranya, Pasal 214, Pasal 55 ayat (2), serta Pasal 205 ayat (4), ayat (5) dan ayat (6). Dari sejumlah pasal tersebut, MK mengabulkan pengujian Pasal 214 soal nomor urut, sedangkan pengujian Pasal 55 ayat (2) dan Pasal 205 ditolak.

 

Pasal 55 ayat (2) menyebutkan 'Di dalam daftar bakal calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap 3 (tiga) orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1 (satu) orang perempuan bakal calon'. Menurut pemohon, pasal ini dianggap telah membeda-bedakan antara laki-laki dengan perempuan.

 

Namun MK berpendapat lain. Arsyad menjelaskan tindakan itu merupakan affirmative action (tindakan sementara) bagi perempuan di bidang politik. Tindakan ini juga telah dilakukan di berbagai negara dengan menerapkan adanya kewajiban partai politik untuk menyertakan calon anggota legislatif dari perempuan. Dasar dari tindakan sementara ini adalah Konvensi Perempuan Sedunia Tahun 1995 di Beijing, Cina.

 

Affirmative action merupakan tindakan yang memberi kesempatan bagi perempuan demi terbentuknya kesetaraan gender dalam lapangan peran yang sama. Pasal 55 ayat (2) tidak bertentangan dengan konstitusi, kata Arsyad.

 

Ia menjelaskan pemberlakuan berbeda itu bukan merupakan bentuk diskriminasi. Melainkan harus dimaknai untuk meletakkan secara adil hal yang selama ini ternyata tidak memberlakukan kaum perempuan secara tidak adil. 

 

Hakim Perempuan Menolak

Putusan yang dibuat delapan hakim konstitusi tidak diambil secara bulat. Satu-satunya hakim perempuan yang ada di MK, Maria Farida Indrati mengeluarkan dissenting opinion atau pendapat berbeda. Maria menilai, seharusnya majelis tidak mengabulkan permohonan seputar sistem nomor urut. Menurutnya, sistem suara terbanyak yang ditetapkan MK sangat merugikan perempuan.

 

Terdapat kontradiktif dalam putusan ini, kata Maria. Menurutnya, di satu sisi MK mendukung adanya affirmative action bagi perempuan, namun di sisi lain MK seakan menafikannya dengan menganut sistem suara terbanyak. Karena, affirmative action dalam Pasal 55 ayat (2) itu dianggap sia-sia bila sistem penetapan caleg menggunakan suara terbanyak.

 

Tujuan tindakan affirmative adalah mendorong jumlah perempuan lebih banyak di parlemen. Sehingga menggantinya dengan 'suara terbanyak' adalah identik dengan menafikan tindakan affirmative tersebut, jelas Maria. 

Sidang permohonan pengujian Undang-Undang Pemilu Legislatif yang diajukan oleh calon legislatif (caleg) dari Partai Demokrat dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) usai sudah. Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengambil keputusan terkait permohonan kedua partai itu. Keduanya mempersoalkan sistem penetapan anggota legislatif yang menggunakan nomor urut serta kuota perempuan dalam daftar urut caleg. Mengabulkan permohonan Pemohon I dan Pemohon II untuk sebagian, ujar Ketua MK Mahfud MD, di ruang sidang MK, Jakarta, Selasa (23/12).

 

Permintaan pemohon yang dikabulkan adalah ketentuan Pasal 214 huruf a, b, c, d, e dalam UU Pemilu Legislatif. MK menyatakan, pasal tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Pasal yang 'dibatalkan' MK itu seputar penetapan calon legislatif yang menggunakan sistem nomor urut. Dengan dikabulkannya, permohonan pemohon ini, maka dalam Pemilu nanti, yang harus digunakan adalah sistem suara terbanyak.

 

MK menilai, sistem penetapan anggota legislatif berdasarkan nomor urut bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat yang dijamin konstitusi. Hal tersebut merupakan pelanggaran atas kedaulatan rakyat, jika kehendak rakyat yang tergambar dari pilihan mereka tidak diindahkan dalam penetapan anggota legislatif, ujar Hakim Konstitusi, Arsyad Sanusi, saat membacakan pertimbangan majelis.

 

Arsyad mengatakan, dasar filosofi dari setiap pemilihan atas orang untuk menentukan pemenang adalah berdasarkan suara terbanyak. Menurutnya, memberlakukan sistem nomor urut berarti memasung hak suara rakyat untuk memilih sesuai pilihannya. Selain itu, sistem ini telah mengabaikan tingkat legitimasi politik calon terpilih.

Tags: