UU ITE Kembali Diuji Ke MK
Berita

UU ITE Kembali Diuji Ke MK

Pasal yang dipersoalkan sama dengan permohonan yang diajukan oleh Iwan Piliang. Namun, kuasa hukum pemohon mengatakan permohonan kali ini lebih kuat argumentasi hukumnya.

Oleh:
Ali
Bacaan 2 Menit
UU ITE Kembali Diuji Ke MK
Hukumonline

 

Selain itu, lanjut Anggara, pasal ini juga bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat. Yakni terkait partisipasi masyarakat dalam pemilu. Ia menegaskan hak rakyat untuk menerima, mengolah serta menyebarluaskan informasi latar belakang calon penyelengggara negara bisa berbuah pidana. Akan sangat mudah berbelok menjadi tindak pidana penghinaan, katanya. Sehingga, Pasal 27 ayat (3) ini dinilai bisa menghambat hak rakyat itu.

 

Efek Pasal 27 ayat (3) ini bisa menjadi jangka panjang. Apalagi, Pasal 45 ayat (1) UU ITE menegaskan sanksi yang berat bila seseorang melakukan tindak pidana sebagaimana disebutkan pasal 27 ayat (3). Ancaman hukuman bisa mencapai enam tahun. Ancaman ini dinilai cukup berat, karena bisa menghambat seseorang menduduki jabatan publik atau profesi hukum. Pasalnya, sejumlah UU yang mengatur jabatan publik dan profesi hukum mensyaratkan seseorang belum pernah dipidana dengan ancaman tuntutan lima tahun.

 

Sekedar mengingatkan, permohonan yang diajukan oleh sejumlah blogger ini mirip dengan yang diajukan oleh Iwan Piliang. Pasal yang dipersoalkan pun sama, yakni Pasal 27 ayat (3) UU ITE. Bedanya, Iwan lebih awal mendaftarkan ke MK. Rencananya, besok Selasa (6/1), MK akan menyidangkan kembali permohonan yang diajukan Iwan. Sidang akan memasuki agenda pemeriksaan perbaikan permohonan.

 

Anggara menegaskan hal tersebut bukan masalah. Ia cukup percaya diri, permohonan yang akan diajukannya akan berhasil. Argumentasi hukum kita lebih kuat, tuturnya. Ia juga mengundang semua pihak yang merasa dirugikan dengan terbitnya Pasal 27 ayat (3) untuk berbondong-bondong mengajukan permohonan. Lebih banyak lebih baik, tuturnya.

 

Kepercayaan diri Anggara boleh saja tinggi. Persiapan untuk mengajukan uji materi Pasal 27 ayat (3) UU ITE ini memang telah dipersiapkan matang-matang. Persiapan dilakukan dari menggelar diskusi-diskusi sampai kunjungan ke sejumlah media untuk mendapatkan masukan. Sebuah wadah yang bernama Aliansi Nasional Reformasi Hukum Telematika Indonesia (ANRHTI) pun dibentuk untuk mengkaji lebih dalam UU ITE. 

 

Meski begitu, Anggara sepertinya perlu menyimak risalah sidang perdana permohonan yang diajukan Iwan. Pada sidang yang digelar pertengahan Desember lalu, Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan sempat mengkritisi permohonan Iwan yang hanya mempersoalkan Pasal 27 ayat (3). Padahal, menurut Maruarar, Pasal itu terkait erat dengan Pasal 45 ayat (1) yang mengatur ketentuan sanksi pidananya.

 

Bunyi Pasal 45 ayat (1) adalah Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

 

Menurut Maruarar Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 45 ayat (1) merupakan suatu bagian yang terikat. Ia pun menyarankan agar Pasal 45 ayat (1) ikut diuji. Masukan sejenis bisa saja terulang pada permohonan yang diajukan oleh para blogger ini.

Sejumlah blogger kembali menguji Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Bila sebelumnya Iwan Piliang seorang diri mengajukan uji materi UU ITE itu, kali ini ada tiga perorangan dan tiga badan hukum yang mempersoalkan UU ITE ini. Mereka adalah Edy Cahyono, Nenda Inasa Fadhilah, Amrie Hakim, PBHI, AJI, serta LBH Pers. Permohonan secara resmi didaftarkan hari ini, Senin (5/1).

 

Kuasa Hukum pemohon dari Tim Advokasi untuk Kemerdekaan Berekspresi di Indonesia, Anggara menjelaskan yang diuji ke MK adalah Pasal 27 ayat (3) UU ITE. Pasal tersebut menyatakan Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.

 

Pasal ini bertentangan dengan konstitusi, tegas Anggara di Gedung MK. Ia menilai rumusan delik (tindak pidana) dalam pasal itu tidak jelas. Salah satu contohnya, adalah tak jelasnya jenis delik dalam Pasal itu. Tak jelas, ini delik biasa atau delik aduan, tuturnya. Padahal, dalam prinsip-prinsip negara hukum, setiap pembentukan UU harus jelas, dapat dimengerti, dan dapat dilaksanakan secara adil. Menurutnya, Pasal 27 ayat (3) tak memenuhi kriteria itu. Pasal ini telah melanggar asas lex certa dan kepastian hukum, tambahnya. 

Halaman Selanjutnya:
Tags: