Vonis Hamka dan Antony Tidak Seragam
Aliran Dana BI

Vonis Hamka dan Antony Tidak Seragam

Majelis hakim menyatakan korupsi penerimaan uang Rp31,5 miliar dari Bank Indonesia, terbukti dilakukan secara berjamaah oleh anggota Komisi IX periode 1999-2004.

Oleh:
Mon
Bacaan 2 Menit
Vonis Hamka dan Antony Tidak Seragam
Hukumonline

 

Majelis hakim yang diketuai Masrurdin Chaniago membidik Hamka dan Antony dengan dakwaan lebih subsidair yakni Pasal 11 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan  UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) kesatu KUHP. Keduanya hanya dimintai pertangungjawaban terkait dengan uang yang diterima dari Bank Indonesia sebesar Rp500 juta. Bukan Rp31,5 miliar sebagaimana tuntutan dan dakwaan jaksa. Uang Rp500 juta hanya bagian dari Rp31,5 miliar sebagai biaya sosialiasi amandemen UU Bank Indonesia (BI) dan diseminasi penyelesaian secara politis Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

 

Meski demikian, majelis hakim mengakui bahwa keduanya menerima uang sejumlah Rp31,5 miliar dari Rusli Simanjuntak dan Aznar Ashari. Hanya, setelah menerima uang itu Hamka kemudian membagi-bagikan ke anggota komisi IX melalui kelompok fraksi (poksi). Yakni, Golkar, PDIP, PPP, PAN, PKB, PBB, Fraksi Polri dan Fraksi Daulat Umat. Karena itu, majelis hakim menilai angota komisi IX lain juga bersama-sama melakukan tindak pidana korupsi bersama-sama dengan kedua terdakwa. Hanya, peran Antony dikualifisir sebagai pelaku utama (dader), sedangkan Hamka turut serta melakukan (medepleger).

 

Keduanya lolos dari dakwaan primer dan subsidair. Pasalnya, setelah penyerahan uang, para terdakwa tidak pernah memberikan laporan ke Bank Indonesia terkait tindakan yang dilakukan dalam diseminasi BLBI dan amandemen UU Bank Indonesia. "Uang itu tidak digunakan untuk diseminasi dan sosialisasi amandemen UU BI," ujar majelis hakim saat membacakan putusan, Rabu (07/01).

 

Yang terjadi hanyalah serah terima uang. Bahkan tidak ada tanda terima dalam penyerahan uang. Selain itu, inisiatif awal permintaan tidak berasal dari kedua terdakwa, melainkan Daniel Tandung, anggota Komisi IX yang lain. "Kalau mau selesai persoalan BLBI itu ada ongkosnya," ujar Daniel Tandjung pada Anwar Nasution saat melakukan rapat di DPR kala itu.

 

Bahkan Rusli dan Asnar malah memotong 10 persen dari Rp31,5 miliar, yakni sebesar Rp3 miliar. Pemotongan itu, kata Rusli, atas sepengetahuan Antony. "Terdakwa II (Antony, red) tidak mengetahui soal pemotongan," ujar majelis hakim.

 

Dengan begitu,  majelis hakim berpendapat unsur 'hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya' dalam Pasal 12 huruf a dan Pasal 5 ayat (2)  UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana dakwaan primer dan subsidair jaksa.

 

Meski demikian, majelis menilai perbuatan terdakwa bertentangan dengan kewajiban mereka selaku anggota DPR. Keduanya juga dinyatakan melanggar Keputusan DPR No. 03B/DPR RI/I/2001-2002 tanggal tentang Kode Etik DPR. Dalam Bab IX keputusan itu ditegaskan, anggota DPR tidak diperkenankan melakukan hubungan dengan mitra kerjanya dengan maksud meminta atau menerima imbalan atau hadiah untuk kepentingan pribadi.

 

Majelis juga tidak mengabulkan tuntutan jaksa yang meminta kedua terdakwa untuk membayar uang pengganti masing-masing Rp10,862 miliar. Alasannya, dalam dakwaan jaksa tidak dicantumkan atau di-juncto-kan dengan Pasal 17 atau Pasal 18 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Terdakwa sendiri telah mengembalikan uang Rp500 juta ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan dijadikan barang bukti. "Karena berasal dari kejahatan korupsi majelis memutuskan untuk merampas dan mengembalikannya ke YPPI (Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia)," ujar majelis hakim.

 

"Harusnya Sama"

Usai bersidang kuasa hukum Antony, Maqdir Ismail, menyatakan puas terhadap pertimbangan hukum majelis hakim. Namun tidak dengan hukumannya. Menurutnya, hukuman Antony yang lebih tinggi tidak adil. "Harusnya sama," ujarnya. Hal senada juga diungkapkan Antony. Ia menyatakan pikir-pikir atas putusan majelis hakim. Soal keterlibatan anggota komisi IX lain, dia menyerahkan sepenuhnya kepada KPK untuk mengusutnya.

 

Sementara Hamka Yandhu langsung menyatakan menerima putusan hakim. "Kewajiban denda akan segera Saya selesaikan," ujarnya. Usai bersidang ia tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya. Ia menebar senyum kepada kolega yang memberikan dukungan padanya.

 

Jaksa Rudi Margono juga menyatakan pikir-pikir, lantaran majelis hakim tidak mengabulkan tuntutan jaksa. Ia menerangkan sejak awal jaksa memang tidak memasukan pasal 18 atau 17 dalam dakwaan. "Kita ingin membuktikan perbuatannya dulu, setelah terbukti baru kita tuntut uang pengganti" ujar Rudi.

Majelis hakim Pengadilan Tipikor akhirnya menjatuhkan vonis tiga tahun penjara kepada anggota DPR Hamka Yandhu terkait penerimaan uang dari Bank Indonesia. Ia juga dijatuhi hukuman denda Rp150 juta, subsidair lima bulan kurungan. Sementara mantan Anggota DPR Antony Zeidra Abidin harus menelan pil pahit lantaran hukumannya 1,5 tahun lebih tinggi, yakni empat tahun enam bulan penjara. Plus, denda Rp250 juta, subsidair enam bulan kurungan.

Halaman Selanjutnya:
Tags: