Parpol Dinilai Inkonsisten Jalankan Affirmative Action
Berita

Parpol Dinilai Inkonsisten Jalankan Affirmative Action

Partai Penegak Demokrasi Indonesia berpendapat penerapan affirmative action sebenarnya justru mendiskriminasikan kaum perempuan.

Oleh:
CR-4
Bacaan 2 Menit
Parpol Dinilai Inkonsisten Jalankan <i>Affirmative Action</i>
Hukumonline

Polemik yang terjadi pasca Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 22/PUU-VI/2008 terus bergulir. Tindakan MK yang mengubah metode penetapan calon legislatif dari nomor urut menjadi jumlah suara terbanyak ternyata bermuara pada perdebatan tentang keterwakilan perempuan di parlemen. Sebagian kalangan menilai metode suara terbanyak mengancam keberadaan affirmative action sebagaimana tercantum dalam UU Pemilu Legislatif.

 

Di tengah-tengah perdebatan seputar putusan MK beserta dampaknya, Kelompok Kerja (Pokja) Keterwakilan Perempuan berpendapat persoalan keterwakilan perempuan di parlemen merupakan buah dari inkonsistensi partai politik (parpol). Anggota Pokja Yuda Irlang mengatakan affirmative action sebenarnya lahir dari kesepakatan antar parpol yang kemudian dituangkan dalam undang-undang. Sayang, kesepakatan itu tidak dijalankan secara konsekuen.

 

Kenyataannya sekarang Parpol adalah pihak yang terang-terangan menentang tindakan affirmative action ini, ujar Yuda. Kegagalan menjalankan affirmative action juga bisa dilihat dari kualitas caleg yang ada. Menurut Yuda, parpol yang eksis sekarang terbukti belum berhasil menyediakan kader-kader perempuan yang bermutu dan mempunyai kemampuan. Parpol tidak lagi selektif dalam mencari kader-kadernya, sehingga rekrutmennya pun terkesan asal-asalan.

 

Alhasil, kader perempuan sering dipandang sebelah mata dalam ranah politik. Padahal, Pokja memandang kadernisasi Parpol memegang peranan penting dalam mensukseskan affirmative action. Parpol hanya mengejar terpenuhinya kuota 30% hadirnya kaum perempuan dalam kepengurusan sebuah Parpol, dan dalam rangka mengejar hal tersebut Parpol terkesan main rekrut saja, tambahnya. 

 

Berangkat dari kondisi ini, Pokja mengambil langkah-langkah seperti gencar melakukan pembinaan terhadap caleg perempuan yang akan maju dalam Pemilu Legislatif 2009. Misalnya, dengan memberikan buku Panduan Praktis Strategi Pemenangan Pemilu: Perempuan Maju Perempuan Menang. Koordinator Pokja Masruchah berharap, agar caleg perempuan ini maju dengan kualitas yang mumpuni dan tidak kalah dengan kaum laki-laki. Masruchah mengatakan tidak hanya menggarap caleg perempuan, Pokja juga melakukan lobi ke parpol-parpol peserta pemilu.

 

Pokja keterwakilan perempuan juga berniat untuk beraudiensi dengan Presiden SBY terkait dengan persoalan ini. Pokja belum yakin bahwa SBY paham dengan semangat affirmative action ini, untuk itu Pokja merasa perlu untuk menyampaikan dan berdialog langsung dengan SBY, kata Masruchah.

 

Di luar persoalan kualitas caleg perempuan, Pokja juga memberi perhatian khusus terhadap regulasi yang mendasari affirmative action. Pasca putusan MK 23 Desember lalu, Masruchah berpendapat KPU memang harus segera mempersiapkan aturan yang jelas tentang penetapan caleg berdasarkan suara terbanyak dan affirmative action.

 

Pasal-pasal yang terdapat dalam UU Pemilu merupakan suatu kesatuan, ketika ada satu pasal yang dicabut maka berakibat runtuhnya kesatuan pasal-pasal yang mengatur Pemilu ungkap Masruchah yang juga Sekjen Koalisi Perempuan Indonesia.

 

Pada kesempatan terpisah, Ketua Divisi Hukum dan HAM Partai Penegak Demokrasi Indonesia D Parlindungan Sitorus berpendapat penerapan affirmative action sebenarnya justru mendiskriminasikan kaum perempuan. Menurut Parlindungan, kaum perempuan seharusnya diberi kebebasan untuk berpolitik tanpa ada perbedaan dengan laki-laki. Pendidikan kader dalam partai politik tidak boleh dibeda-bedakan antara kaum laki-laki dengan kaum perempuan, ungkapnya. Apalagi, menurut Parlindungan, kesadaran berpolitik kaum perempuan saat ini sudah cukup tinggi dan bahkan banyak yang sudah mempunyai kemampuan berpolitik lebih dari kaum laki-laki.

Halaman Selanjutnya:
Tags: