Fraksi PDS Tolak Jaminan Produk Halal Dijadikan UU
Berita

Fraksi PDS Tolak Jaminan Produk Halal Dijadikan UU

Meskipun menolak menyetujui pembahasan RUU Jaminan Produk Halal, F-PDS tidak meminta penghentian proses pembahasannya. Halal haram RUU ini hanya mengikat umat Islam, sedangkan untuk umat beragama lain tidak.

Oleh:
Fat
Bacaan 2 Menit
Fraksi PDS Tolak Jaminan Produk Halal Dijadikan UU
Hukumonline

 

Hal senada juga dikatakan rekan satu fraksinya. Stefanus Amaol menjelaskan bahwa secara keagamaan RUU ini memang dibutuhkan oleh kaum muslimin. Namun, di satu sisi RUU ini sangat merugikan sebagian konsumen, yakni konsumen yang menghalalkan sebuah produk atau makanan yang diharamkan oleh umat Islam. Pada prinsipnya kami menolak adanya RUU ini,  tapi kami tidak menghentikan proses pembahasannya.

 

Menurutnya, jika RUU ini disahkan, akan terjadi hal yang sangat meresahkan bagi masyarakat Indonesia, padahal UU dibuat untuk menjamin ketentraman hak setiap warganya. Hal yang sangat meresahkan karena memprioritaskan umat muslim, tapi seakan-akan yang tidak termasuk di dalamnya seperti Bali dan Papua, yang menganggap makanan babi sebagai makanan kebudayaan, ujarnya.

 

Bagaimanapun juga, dirinya bersama Tiurlan tidak meminta dihentikannya pembahasan. Karena Stefanus masih berharap ada perubahan nanti pada substansi RUU. Artinya, UU yang dibuat nantinya meliputi prinsip keadilan dan kesetaraan. Mudah-mudahan ada perbaikan-perbaikan lagi sebagaimana diterima oleh seluruh warga negara di Indonesia, katanya.

 

Hanya Muslim

Raker tersebut dipimpin oleh Chairunnissa. Ia mengatakan, halal atau haramnya sebuah produk dalam RUU ini diperuntukkan bagi umat Islam. Sedangkan untuk umat beragama lain tidak berlaku ketentuan ini. Menurutnya, RUU ini memiliki pengkhususan tersendiri, karena RUU ini hanya terikat bagi umat Islam saja. Sedangkan bagi mereka yang menganggap daging babi halal, tidak kena hukum, kata anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar ini.

 

Sementara, Menteri Agama Maftuh Basyuni menjamin keberadaan RUU ini tidak akan menimbulkan kesenjangan. Artinya, ketakutan yang dijelaskan oleh dua anggota Komisi VIII dari F-PDS itu tidak akan terjadi. UU ini hanya berlaku pada orang muslim dan orang yang tidak mau. UU ini tidak terlalu mengikat, seperti halnya orang Yahudi kan tidak makan daging babi, katanya.

 

Keberadaan UU ini akan membuat kejelasan bagi orang nantinya. Mana produk yang diharamkan dan mana yang dihalalkan. Sehingga penjual tidak bisa sembarangan menjual produknya dengan bebas. Terlebih produk yang diharamkan oleh UU ini nantinya, jadi dapat dibebaskan dari keragu-raguan. Kami mohon kepada DPR agar 30 September 2009 nanti UU ini sudah selesai, sebelum berakhirnya masa bakti. Namun siapa yang berhak untuk menetapkan label halal, nanti akan dibahas dalam Panitia Kerja (Panja), katanya.

 

Chairunnissa mengatakan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) totalnya ada 214. 11 diantaranya DIM yang tetap, 173 DIM yang akan dibahas, dan 30 DIM usulan baru. Rapat berikutnya sudah masuk ke Panja, dan jatuh pada tanggal 4 Maret 2009, pungkasnya.

Makanan dan minuman merupakan kebutuhan pokok bagi manusia. Keberadaannya sangat krusial dalam kehidupan sehari-hari. Untuk itu, banyak orang yang sangat menjaga pola makannya, agar mendapatkan hidup yang sehat. Kepercayaan masyarakat Indonesia, khususnya muslim, demi mendapatkan makanan sehat biasanya dilihat dari label halal. Label halal ini biasanya diberikan dari Lembaga Pengkajian Pangan dan Obat-obatan Majelis Ulama Indonesia (LP-POM MUI).

 

Menyikapi permasalahan halal tidaknya makanan, pemerintah berinisiatif untuk memberikan kekuatan hukum atas jenis makanan, minuman, obat-obatan yang beredar di masyarakat. Inisiatif ini kemudian diterapkan pemerintah dengan mengeluarkan RUU Jaminan Produk Halal. Dalam Rapat Kerja (Raker) pemerintah bersama Komisi VIII, Senin (16/2), menetapkan agar RUU ini dibawa ke Panitia Kerja (Panja).

 

Namun, RUU Jaminan Produk Halal mendapatkan penolakan dari Fraksi PDS di Komisi VIII. Dua Anggotanya, Tiurlan Basaria Hutagaol dan Stefanus Amalo menolak jaminan produk halal ini diatur undang-undang. Menurut Tiurlan, pemahaman tentang halal tidaknya sebuah produk atau makanan, cukup diserahkan kepada agamanya sendiri untuk memberikan aturan.

 

Ia mengatakan, di satu sisi RUU ini adalah hal positif bagi umat Islam, tetapi di sisi lain mungkin  sebaliknya untuk umat agama lain. Tiurlan mencontohkan, seperti halnya daging babi, untuk umat Islam daging babi sebuah makanan yang haram, tapi sebaliknya untuk umat Kristen. Artinya, haramnya umat islam belum tentu haram untuk umat beragama lainnya.

 

Ia menegaskan bahwa haram atau tidaknya sebuah makanan tidak bisa dimonopoli oleh agama. Makanya, Tiurlan berharap tidak semua aturan mengenai agama dapat dikonversi menjadi sebuah undang-undang. Inilah yang kita waspadai, jika kita kalah tidak jadi soal, bahkan saya katakan kalau PDS siap untuk terkapar kalau memang itu tidak akan menganggu keutuhan dari hati nurani bangsa, ujarnya.

Halaman Selanjutnya:
Tags: