MK Segera Sidangkan Pengujian UU Pornografi
Utama

MK Segera Sidangkan Pengujian UU Pornografi

Permohonan telah didaftarkan pada 9 Februari lalu. Sidang perdana rencananya akan digelar Senin depan (23/2). Pemohon mempersoalkan tiga pasal dalam UU Pornografi.

Oleh:
Ali/Mys
Bacaan 2 Menit
MK Segera Sidangkan Pengujian UU Pornografi
Hukumonline

 

Ketentuan Pasal 1 angka 1 berbicara mengenai definisi pornografi. Pasal itu berbunyi ‘Pornografi adalah materi seksualitas yang dibuat oleh manusia dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, syair, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan komunikasi lain melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau melanggar nilai nilai kesusilaan dalam masyarakat'.

 

Pemohon menilai definisi pornografi dianggap multitafsir. Beragamnya budaya di Indonesia dijadikan dasar argumen. Mereka mencontohkan budaya di Aceh dan Papua yang berbeda. Sehingga, bila mengacu pada ukuran budaya tersebut, maka pengertian pornografi menjadi sangat relatif. Terbukanya penggunaan definisi yang dapat ditafsirkan oleh setiap orang, maka akan berakibat tidak adanya kepastian hukum, tulis pemohon dalam permohonan. Padahal, prinsip kepastian hukum dijamin oleh UUD 1945.

 

Sedangkan ketentuan Pasal 4 ayat (1) huruf d dinilai merugikan hak konstitusional pemohon yang bekerja sebagai pekerja seni di Minahasa. Pasal itu berbunyi ‘Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat: ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan'.

 

Pemohon merasa terancam dengan pasal ini. Pasalnya, pekerjaan sebagian pemohon adalah pekerja seni yang memproduksi dan memperjualbelikan benda-benda seni yang secara eksplisit memuat ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan. Benda-benda seni itu berupa lukisan, ukiran, patung-patung serta kerajinan khas lainnya. Apabila para pekerja seni tidak lagi dapat menjual benda-benda seni yang menurut UU Pornografi melanggar batasan pengertian pornografi, maka para pekerja seni tidak dapat mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidup, jelas pemohon dalam permohonannya.

 

Pemohon juga menilai Pasal 10 UU Pornografi sangat multitafsir. Bunyi pasal itu adalah ‘Setiap orang dilarang mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukan atau di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan atau yang bermuatan pornografi lainnya'.

 

Menurut pemohon, istilah ‘menggambarkan ketelanjangan' telah mengandung tafsir subjektif yang beragam antar daerah di Indonesia. Negara Republik Indonesia adalah negara yang pluaralis sehingga penilaian ‘menggambarkan ketelanjangan' antara daerah yang satu dengan yang lain tidaklah sama, jelasnya lagi.

 

Di tempat terpisah, Komnas Perempuan mengundang aparat penegak hukum untuk membahas implementasi UU Pornografi. Anggota Komnas HAM Deliana Sayuti Ismudjoko mengatakan UU Pornografi masih memiliki kelemahan, termasuk soal definisi pornografi dan rumusan pasal 4 ayat (1) tadi.

 

Meskipun ada kelemahan, bagi aparat penegak hukum, UU Pornografi tetaplah hukum positif. Komisaris Polisi Nicolas A. Lilipaly, Kanit Pornografi, Pornoaksi dan Susila Polda Metro Jaya, mengatakan polisi sangat terbantu oleh berlakunya UU Pornografi. Sebab, selama ini penyidik sering mengalami kesulitan memproses tindak pidana pornografi dengan hanya menggunakan pasal 296, pasal 506, pasal 281, pasal 282 dan pasal 283 KUHP. UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi sangat membantu Polri dalam rangka menegakkan hukum terhadap kejahatan seksual dan kejahatan pornografi, ujar mantan Kapolsek Singaraja Bali itu.

 

Kalau ada kelemahan, kekurangan atau ketidakjelasan dalam UU Pornografi, sementara kasusnya masuk ke pengadilan, maka tugas hakimlah yang akan menemukan hukum. Menjadi kewenangan hakim untuk menemukan hukum dan menciptakan hukum jika hukum belum mengatur, ujar Ketua PN Jakarta Pusat, Andriani Nurdin di Jakarta, Kamis (19/2).

Janji sejumlah kalangan yang akan menguji UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi (UU Pornografi) tampaknya benar-benar telah ditepati. Tanpa perlu gembar-gembor, sebelas pemohon yang berasal dari Indonesia bagian Timur telah mendaftarkan permohonan pengujian UU Pornografi ke Mahkamah Konstitusi (MK). 

 

Permohonan didaftarkan pada 9 Februari, ujar Staf Bagian Penerimaan Perkara MK Widi Atmoko kepada hukumonline, Kamis (19/2). Sidang perdana permohonan pengujian UU ini dijadwalkan akan disidang pada Senin (23/2) mendatang.

 

Para pemohon di antaranya Billy Lombok (Gereja Masehi Injil Minahasa), Jeffrey Delarue (DPP KNPI Sulawesi Utara), Janny Kopalit (Pemuda Katolik Manado), Goinpeace Tumbel (DPD Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia Sulut), Bert Supit (Majelis Adat Minahasa), Charles Lepar (Forum Pemuda Lintas Gereja Manado) dan lain-lain. Para pemohon memberikan kuasa kepada pengacara senior Otto Cornelis Kaligis.

 

Berdasarkan informasi yang diperoleh hukumonline, pemohon mempersoalkan tiga pasal dalam UU Pornografi, yakni Pasal 1 angka 1, Pasal 4 dan Pasal 10. Mereka meminta ketiga pasal ini dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat lagi.

Halaman Selanjutnya:
Tags: