Kontroversi Qanun Jinayat di Serambi Mekah
Berita

Kontroversi Qanun Jinayat di Serambi Mekah

Komnas Perempuan menilai qanun jinayat yang memuat hukuman cambuk dan rajam bertentangan dengan konstitusi. Sementara DPRD Aceh beranggapan pengaturan qanun tersebut merupakan kekhususan yang dijamin dalam UU Pemerintahan Aceh.

Oleh:
M-8/Ali
Bacaan 2 Menit
Kontroversi <i>Qanun Jinayat</i> di Serambi Mekah
Hukumonline

 

Sri Wiyanti Eddyono, Komisioner Komnas Perempuan yang lain menambahkan konteks hukum pidana di Indonesia lebih mengedepankan rehabilitasi, bukan balas dendam. Selain itu, mendera fisik dan mempermalukan di depan publik juga dinilai sebagai tindakan yang bertentangan dengan hak asasi manusia.

 

Selain Komnas Perempuan, Jaringan Masyarakat Sipil Peduli Syariah memiliki pandangan yang sama. Dalam siaran pers yang diperoleh hukumonline, Koalisi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di NAD itu menyatakan kekecewaanya karena tidak dilibatkan secara aktif dalam pembuatan Qanun tersebut.

 

Sejumlah pihak baik di tingkat pusat maupun lokal NAD boleh saja menilai qanun tersebut bertentangan dengan konstitusi yakni, terkait unifikasi hukum (penyatuan hukum) dan persoalan hak asasi manusia. Namun, DPRD Aceh mempunyai dasar hukum sendiri ketika membuat qanun ini bersama dengan Gubernur NAD.

 

Dalam konsideran umum qanun tersebut dijelaskan qanun merupakan turunan dari UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. UU tersebutlah yang memberikan kekhususan kepada NAD dibanding daerah-daerah lain. Termasuk dalam membuat peraturan daerah yang disebut sebagai qanun. 

 

Terkait isu hak asasi manusia, DPRD Aceh tampaknya sudah siap berargumentasi mengenai hal itu. Dalam konsiderannya, DPRD Aceh menggunakan Pasal 28J UUD 1945 yang berisi jaminan pembatasan hak asasi manusia oleh negara.

 

Komnas Perempuan paham betul, pokok permasalahan ini berawal dari pemberlakuan UU No. 11 Tahun 2006. Karenanya, Komnas Perempuan mendorong para pemangku kepentingan baik dari pusat dan daerah yang merasa dirugikan untuk segera mengajukan uji materi UU tersebut ke MK. Di sanalah akan ditentukan argumen siapa yang benar, Komnas Perempuan atau DPRD Aceh.

 

Upaya Hukum

Kontroversi seputar qanun itu memang masih terus berlangsung, namun Mahkamah Agung (MA) sepertinya sudah mulai berpikir bila perkara yang memiliki vonis cambuk dan rajam itu mampir ke MA. Misalnya, upaya hukum kasasi atau peninjauan kembali.

 

Kepala Biro Hukum dan Humas MA, Nurhadi mengatakan pimpinan MA akan segera menggelar rapat membahas hal tersebut. Saya baru saja berbicara dengan pak Ketua (Ketua MA Harifin Tumpa,-red). Salah satu yang menjadi pokok persoalan apakah perkara tersebut di bawah kamar Peradilan Agama di MA atau pidana umum. Itu yang akan dirapimkan, tuturnya.

 

Namun, apakah ada norma yang bertentangan secara langsung dengan hukum nasional, Nurhadi mengatakan itu akan ditentukan oleh majelis hakim agung bila memang ada perkara terkait hal tersebut di MA. Selain itu, Nurhadi menjelaskan tak semua tindak pidana dalam qanun hukumannya lebih berat dari hukum nasional.

 

Nurhadi mencontohkan tindak pidana maisir atau perjudian. Dalam qanun, pelaku perjudian di hukum dengan cambukan sebanyak 60 kali. Sedangkan, dalam KUHP, hukumannya lebih berat yakni pidana penjara sekitar empat tahun.  

 

 

Qanun, Peraturan Daerah Nangroe Aceh Darussalam (NAD), kembali menuai kontroversi. Komisi Nasional (Komnas) Perempuan secara tegas menolak qanun yang baru disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), pada Senin (14/9). Qanun tentang Hukum Jinayat (hukum pidana materiil) itu dianggap bertentangan dengan konstitusi karena memuat hukuman cambuk dan rajam.

 

Wakil Ketua Komnas Perempuan Ninik Rahayu menegaskan jenis hukuman cambuk dan rajam merupakan jenis penghukuman yang kejam, tidak menusiawi, merendahkan martabat manusia dan melanggar jaminan konstitusional sebagimana tertera dalam Pasal 28 ayat (1) UUD 1945. Rajam adalah salah satu bentuk penghukuman yang melanggar konstitusi kita, ujarnya di Jakarta, Selasa (15/9).

 

Salah satu yang disorot adalah ketentuan Pasal 24. Berdasarkan draft terakhir yang diperoleh hukumonline, ketentuan itu menyebutkan 'Setiap orang yang dengan sengaja melakukan zina diancam dengan 'uqubat hudud 100 (seratus) kali cambuk bagi yang belum menikah dan 'uqubat rajam atau hukuman mati bagi yang sudah menikah'.

 

Ninik mengakui ketentuan Jinayat memang diatur dalam Al Quran. Namun, ia berpendapat seharusnya ketentuan tersebut tak bisa diterapkan karena Provinsi NAD merupakan bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia yang harus tunduk pada sistem hukum positif Indonesia.

 

Negara Republik Indonesia tidak  mengenal yang disebut dengan hukuman cambuk dan hukuman rajam. Itu sudah ditegaskan di dalam sistem hukum negara kita bentuk punishment yang diberlaku bagi orang-orang, ujar Ninik.

Tags: