Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Adakah Akibat Hukum dari Perjanjian Back Date?

Share
copy-paste Share Icon
Perdata

Adakah Akibat Hukum dari Perjanjian Back Date?

Adakah Akibat Hukum dari Perjanjian <i>Back Date</i>?
Hosiana D.A. Gultom, S.H., M.H. LKBH Fakultas Hukum UPH
LKBH Fakultas Hukum UPH
Bacaan 10 Menit
Adakah Akibat Hukum dari Perjanjian <i>Back Date</i>?

PERTANYAAN

Adakah akibat hukum tertentu apabila perjanjian ditandatangani pada bulan April 2019 sementara jangka waktu perjanjian dimulai dari bulan Januari 2019 (back date)? Mohon dapat disertai dengan dasar hukumnya. Terima kasih.

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Membuat perjanjian dengan tanggal mundur (back date) pada dasarnya tidak diatur maupun dilarang oleh undang-undang. Dengan demikian, tidak ada masalah sepanjang para pihak yang terkait dalam perjanjian tersebut sepakat, dan tidak ada paksaan atau ancaman dalam menandatangani perjanjian tersebut.
     
    Tetapi perlu diperhatikan apakah dengan adanya perbedaan tanggal penandatanganan dari yang seharusnya, ada pihak lain yang dirugikan atau ada pelanggaran atas ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku (misalnya saja menghindari pajak dan sebagainya).
     
    Penjelasan selengkapnya dapat Anda klik ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.
     
    Syarat Sah Perjanjian
    Syarat-syarat terjadinya suatu perjanjian yang sah secara umum diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”) yang berbunyi:
     
    Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat;
    1. kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
    2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
    3. suatu pokok persoalan tertentu;
    4. suatu sebab yang tidak terlarang
     
    Syarat pertama dalam pasal tersebut adalah adanya kesepakatan atau konsensus para pihak yang membuat perjanjian. Menurut Salim H.S., et.al. dalam bukunya Perancangan Kontrak dan Memorandum of Understanding (MoU) (hal. 9), kesepakatan adalah persesuaian pernyataan kehendak antara satu orang atau lebih dengan pihak lainnya, yang sesuai itu adalah pernyataannya, karena kehendak itu tidak dapat dilihat/diketahui orang lain.
     
    Lebih lanjut dalam Pasal 1321 KUH Perdata disebutkan bahwa:
     
    Tiada suatu persetujuan pun mempunyai kekuatan jika diberikan karena kekhilafan atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan.
     
    Oleh karena itu, kesepakatan yang sah adalah kesepakatan yang tidak mengandung unsur kekhilafan, paksaan, dan penipuan. Pasal 1324 dan Pasal 1325 KUH Perdata kemudian menjelaskan apa yang dimaksud dengan paksaan. Masing-masing berbunyi:
     
    Pasal 1324 KUH Perdata
    Paksaan terjadi, bila tindakan itu sedemikian rupa sehingga memberi kesan dan dapat menimbulkan ketakutan pada orang yang berakal sehat, bahwa dirinya, orang-orangnya, atau kekayaannya, terancam rugi besar dalam waktu dekat. Dalam pertimbangan hal tersebut, harus diperhatikan usia, jenis kelamin dan kedudukan orang yang bersangkutan.
     
    Pasal 1325 KUH Perdata
    Paksaan menjadikan suatu persetujuan batal, bukan hanya bila dilakukan terhadap salah satu pihak yang membuat persetujuan, melainkan juga bila dilakukan terhadap suami atau istri atau keluarganya dalam garis ke atas maupun ke bawah.
     
    Syarat selanjutnya adalah kecakapan untuk membuat suatu perikatan. Tiap orang berwenang untuk membuat perikatan, kecuali jika ia dinyatakan tidak cakap untuk hal itu.[1] Yang tak cakap untuk membuat perjanjian adalah:[2]
    1. anak yang belum dewasa;
    2. orang yang ditaruh di bawah pengampuan;
     
    Syarat sah perjanjian yang ketiga adalah adanya suatu hal tertentu. Suatu persetujuan harus mempunyai pokok berupa suatu barang yang sekurang-kurangnya ditentukan jenisnya. Jumlah barang itu tidak perlu pasti, asal saja jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung.[3] Pada dasarnya, tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak tentu, asal jumlah itu di kemudian hari dapat ditentukan atau dihitung. Artinya, meskipun barangnya belum ada pada saat ini, tidak menutup kemungkinan terjadinya perjanjian jika barang itu akan ada di kemudian hari.
     
    Terakhir, berkaitan dengan sebab yang halal, Pasal 1337 KUH Perdata mengatur bahwa:
     
    Suatu sebab adalah terlarang, jika sebab itu dilarang oleh undang-undang atau bila sebab itu bertentangan dengan kesusilaan atau dengan ketertiban umum.  
     
    Kekuatan Hukum Perjanjian Back Date
    Terdapat ketentuan bagi perjanjian yang tidak memenuhi persyaratan yang ditentukan Pasal 1320 KUH Perdata. Perlu diketahui terlebih dahulu bahwa syarat kesatu dan kedua dalam Pasal 1320 KUH Perdata disebut syarat subjektif, karena terkait tentang para pihak yang mengadakan perjanjian. Sedangkan syarat ketiga dan keempat dalam Pasal 1320 KUH Perdata disebut syarat objektif, karena terkait tentang objek perjanjian.
     
    Salim H.S. dalam buku Hukum Kontrak: Teori & Teknik Penyusunan Kontrak (hal. 35) menguraikan bahwa perjanjian dapat dibatalkan jika syarat pertama dan kedua tidak terpenuhi. Salah satu pihak dapat mengajukan kepada pengadilan untuk membatalkan perjanjian yang disepakatinya. Namun apabila para pihak tidak mengajukan keberatan, maka perjanjian itu tetap dianggap sah. Sementara itu, perjanjian batal demi hukum jika syarat ketiga dan keempat tidak terpenuhi. Dengan batal demi hukum, sejak semula perjanjian itu dianggap tidak ada.
     
    Syarat pertama terkait kesepakatan dalam Pasal 1320 KUH Perdata juga mencerminkan asas konsensual. Maksud asas konsensual ini, menurut Salim H.S. dalam buku Perancangan Kontrak (hal. 10), adalah bahwa kontrak lahir pada saat terjadinya kesepakatan. Dengan demikian, apabila tercapai kesepakatan antara para pihak, maka lahirlah kontrak, walaupun kontrak itu belum dilaksanakan pada saat itu juga.
     
    Selain itu, sebuah perjanjian juga didasari oleh asas kebebasan berkontrak, sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang berbunyi:
     
    Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.
     
    Menurut Subekti dalam buku Hukum Perjanjian (hal. 47), dengan menekankan pada kata “semua‟, maka pasal tersebut seolah menyatakan pada masyarakat bahwa kita diperbolehkan membuat perjanjian yang berupa dan berisi apa saja (atau tentang apa saja). Perjanjian itu akan mengikat mereka yang membuatnya seperti undang-undang.
     
    Berkaitan dengan pertanyaan Anda perihal perjanjian ditandatangani pada bulan April 2019 sementara jangka waktu perjanjian dimulai dari bulan Januari 2019, sebenarnya tidak diatur maupun dilarang oleh undang-undang. Menurut hemat kami, tidak ada masalah sepanjang para pihak yang terkait dalam perjanjian tersebut sepakat, dan tidak ada paksaan atau ancaman dalam menandatangani perjanjian tersebut. Dengan adanya asas kebebasan berkontrak, maka setelah ditandandatangani, perjanjian tersebut berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak.
     
    Perjanjian itu sendiri lahir semenjak adanya kata sepakat dari para pihak. Tetapi perlu diperhatikan apakah dengan adanya perbedaan tanggal penandatanganan dari yang seharusnya, ada pihak lain yang dirugikan atau ada pelanggaran ketentuan peraturan perundang-undangan (misalnya saja menghindari pajak dan sebagainya).
     
    Dalam perjanjian juga terdapat asas iktikad baik, sebagaimana tercantum dalam Pasal 1338 KUH Perdata di atas. Adanya asas iktikad baik mengharuskan para pihak melaksanakan perjanjian berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh atau kemauan yang baik dari para pihak.
     
    Menurut Subekti dalam bukunya Pokok – pokok Hukum Perdata (hal. 41), asas iktikad baik (good faith) artinya melaksanakan perjanjian dengan mengandalkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan. Oleh karena itu, perjanjian yang baru ditandatangani pada bulan April 2019 di saat tindakan nyata sudah dilaksanakan sejak Januari 2019 tidak menjadi masalah, selama dalam melaksanakan perjanjian tersebut telah terwujud asas iktikad baik.
     
    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
     
    Dasar Hukum:
    Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
     
    Referensi:
    1. Salim H.S. Hukum Kontrak: Teori & Teknik Penyusunan Kontrak. Jakarta: Sinar Grafika, 2003.
    2. Salim H.S., et.al. Perancangan Kontrak dan Memorandum of Understanding (MoU). Jakarta: Sinar Grafika, 2006.
    3. Subekti. Hukum Perjanjian. Bandung: Alumni, 1976.
    4. Subekti. Pokok–pokok Hukum Perdata. Jakarta: PT. Intermasa, 1998.

    [1] Pasal 1329 KUH Perdata
    [2] Pasal 1330 angka 1 dan 2 KUH Perdata
    [3] Pasal 1333 KUH Perdata

    Tags

    perjanjian
    hukumonline

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Panduan Mengajukan Perceraian Tanpa Pengacara

    24 Feb 2023
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!