Iklan-iklan atau acara TV yang sudah "tidak netral lagi" (bentuk dukungan atau hiburan saya tidak tahu pasti) banyak menampilkan anekdot atau parodi atau lawakan dan lucu-lucuan yang memerankan tokoh/figur negarawan. Bagaimana mengenai hal tersebut menurut pandangan hukum di Indonesia?
Sebelumnya, kami perlu menjelaskan pengertian istilah negarawan dan parodi yang Anda sebutkan terlebih dahulu. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang kami akses dari laman resmi Pusat Bahasa Kementerian Pendidikan RI, negarawan memiliki arti ahli dalam kenegaraan; ahli dalam menjalankan negara (pemerintahan); pemimpin politik yang secara taat asas menyusun kebijakan negara dengan suatu pandangan ke depan atau mengelola masalah negara dengan kebijaksanaan dan kewibawaan.
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Sedangkan parodi adalah karya sastra atau seni yang dengan sengaja menirukan gaya, kata penulis, atau pencipta lain dengan maksud mencari efek kejenakaan.
Selanjutnya, pada dasarnya, tayangan televisi merupakan bagian dari siaran yang dipancarkan dan diterima secara bersamaan, serentak dan bebas, memiliki pengaruh yang besar dalam pembentukan pendapat, sikap, dan perilaku khalayak. Oleh karena itu, penyelenggara penyiaran wajib bertanggung jawab dalam menjaga nilai moral, tata susila, budaya, kepribadian dan kesatuan bangsa yang berlandaskan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa dan Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, demikian antara lain bunyi dari salah satu konsiderans dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (“UU Penyiaran”).
Lebih lanjut diatur dalam Pasal 36 ayat (1) UU Penyiaran bahwa isi siaran wajib mengandung informasi, pendidikan, hiburan, dan manfaat untuk pembentukan intelektualitas, watak, moral, kemajuan, kekuatan bangsa, menjaga persatuan dan kesatuan, serta mengamalkan nilai-nilai agama dan budaya Indonesia.
Mengacu pada hal ini, memang pada prinsipnya, tayangan parodi yang menampilkan orang yang memerankan tokoh atau negarawan tertentu walaupun bertujuan untuk hiburan, sepatutnya tetap memperhatikan unsur moral di dalamnya.
Lebih daripada itu, berkaitan dengan pertanyaan yang Anda sampaikan, khususnya pengaturan mengenai netralitas siaran dan konten siaran yang dilarang, kita mengacu pada ketentuan dalam Pasal 36 ayat (4), (5), dan (6) UU Penyiaran yang berbunyi:
(4) Isi siaran wajib dijaga netralitasnya dan tidak boleh mengutamakan kepentingan golongan tertentu.
b.menonjolkan unsur kekerasan, cabul, perjudian, penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang; atau
c.mempertentangkan suku, agama, ras, dan antar golongan.
(6) Isi siaran dilarang memperolokkan, merendahkan, melecehkan dan/atau mengabaikan nilai-nilai agama, martabat manusia Indonesia, atau merusak hubungan internasional.
Setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal 36 ayat (4) UU Penyiaran berdasarkan Pasal 55 ayat (1) UU Penyiaran dikenai sanksi administratif. Sedangkan berdasarkan Pasal 57 huruf d dan e UU Penyiaran, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) untuk penyiaran radio dan dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) untuk penyiaran televisi, setiap orang yang melanggar ketentuan dalam Pasal 36 ayat (5) dan (6) UU Penyiaran.
Untuk menerapkan pasal di atas, khususnya Pasal 36 ayat (6) UU Penyiaran, tentu unsur “memperolokkan, merendahkan, melecehkan dan/atau mengabaikan martabat manusia” perlu ada. Oleh karena itu, dalam konteks pertanyaan Anda, apabila tayangan parodi yang menampilkan orang yang memerankan tokoh atau negarawan itu bermaksud memperolok atau merendahkan martabat negarawan yang bersangkutan, maka kepada mereka yang melakukannya dapat dipidana sesuai Pasal 57 huruf d dan e UU Penyiaran.
Akan tetapi, jika memang tujuan tayangan parodi itu untuk menghibur tanpa ada unsur merendahkan martabat atau menghina negarawan yang bersangkutan, menurut hemat kami, tidak ada sanksi yang bisa menjerat pelakunya.
Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) itu sendiri ada pengaturan khusus mengenai sanksi bagi mereka yang menghina penguasa, yakni khususnya presiden atau wakil presiden seperti yang terdapat dalam Pasal 134, 136 bis, dan 137 KUHP. Akan tetapi, dalam artikel Pentingkah Mengatur Kembali Penghinaan Presiden?dikatakan bahwa Mahkamah Konstitusi telah menyatakan bahwa Pasal 134, 136 bis, dan Pasal 137 KUHP tidak mempunyai kekuatan mengikat lagi. Masih bersumber dari artikel yang sama, sebagaimana yang kami sarikan, dikatakan bahwa orang yang menduduki jabatan penguasa, dalam kualitas sebagai pribadi, masih dapat mengajukan tuntutan pidana bagi orang-orang yang dianggap telah menghinanya sebagaimana diatur dalam Pasal 310, 311, 315, dan 316 KUHP.