Intisari :
Gugatan yang obscuur libel dapat terjadi dalam hal adanya ketidaksesuaian isi fakta hukum/fundamentum petendi dengan tuntutan/petitum. Pada prinsipnya, tidak dicatumkannya permintaan pembebanan biaya perkara kepada para pihak dalam gugatan tidak menjadikan gugatan tersebut kabur/obscuur libel, sebab pencantuman pembebanan biaya perkara dalam gugatan bersifat tambahan atau tidak termasuk dalam tuntutan primer. Apabila dalam petitum gugatan tidak dicantumkan pembebanan biaya perkara namun majelis hakim dalam putusannya membebankan pihak yang kalah untuk membayar biaya perkara (yang mana tentang biaya perkara memang wajib dicantumkan dalam putusan), putusan tersebut tidaklah bersifat ultra petita. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. |
Ulasan :
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Sebelum menjawab pertanyaan Anda secara lebih mendalam, ada baiknya dijelaskan terlebih dahulu apa itu gugatan dan apa hubungannya gugatan tersebut dengan obscuur libel sesuai dengan pertanyaan Anda di atas.
Syarat Gugatan Perdata
Gugatan menurut Sudikno Mertokusumo dalam bukunya Hukum Acara Perdata Indonesia adalah tuntutan hak yang mengandung sengketa. Secara sederhana gugatan itu berisi mengenai tuntutan hak dari pihak yang berkepentingan untuk mendapatkan perlindungan hukum karena dirinya menderita kerugian akibat perbuatan pihak lain.
Kemudian Yahya Harahap dalam bukunya Hukum Acara Perdata: tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan (hal. 47) mendefinisikan gugatan perdata sebagai gugatan yang mengandung sengketa di antara para pihak yang berperkara dengan posisi para pihak:
Dalam teknik penyusunan gugatan harus benar-benar diperhatikan mengenai persyaratan gugatan tersebut yakni syarat formil dan syarat materiil sesuai dengan Pasal 8 nomor 3 Rv (Reglement of de Rechtsvordering). Apabila suatu gugatan mengandung kecacatan baik formil maupun materiil, maka gugatan tersebut akan ditolak atau tidak dapat diterima.
Lebih lanjut Yahya harahap (hal. 51-67) menjelaskan bahwa hal-hal yang penting dirumuskan dalam gugatan adalah sebagai berikut:
Syarat formil : gugatan didaftarkan di Pengadilan Negeri sesuai dengan kewenangan relatif, diberi tanggal, ditandatangani oleh penggugat atau kuasanya, serta adanya identitas para pihak.
Syarat Materil : dasar gugatan atau dasar tuntutan (fundamentum petendi), dan tuntutan (petitum) penggugat yang nantinya diputuskan oleh hakim berdasarkan gugatan atau dasar tuntutan tersebut.
Gugatan Obscuur Libel
Setelah mengetahui apa itu gugatan dan syarat-syarat apa saja yang harus dipenuhi agar gugatan tidak cacat secara hukum, maka selanjutnya dijelaskan hubungannya surat gugatan tersebut dengan obscuur libel.
Hubungan antara gugatan dengan gugatan yang obscuur libel itu sendiri terletak dari ketidaksesuaian isi fakta hukum yang terjadi (fundamentum petendi) dengan tuntutan (petitum), sebab apabila seseorang membuat gugatan yang tidak memenuhi syarat, maka akibatnya adalah gugatan itu disebut sebagai gugatan yang obscuur libel atau tidak jelas sehingga menyebabkan gugatan “tidak dapat diterima”.
gugatan tidak memiliki dasar hukum;
gugatan error in persona dalam bentuk diskualifikasi atau plurium litis consortium;
gugatan mengandung cacat atau obscuur libel; atau
gugatan melanggar yurisdiksi (kompetensi) absolute atau relatif dan sebagainya.
Apakah Gugatan yang Tidak Mencantumkan Petitum Biaya Perkara Menjadi Gugatan Obscuur Libel?
Untuk menjawab pertanyaan di atas harus dimulai terlebih dahulu dengan penjelasan sifat petitum pembebanan biaya perkara itu sendiri. Menurut Sudikno Mertokusumo (hal.61), seringkali di samping petitum atau tuntutan pokok dapat dijumpai tuntutan tambahan atau pelengkap pada tuntutan pokok yang biasanya disebut sebagai tuntutan tambahan yaitu tuntutan agar tergugat dihukum membayar biaya perkara. Adapun yang dimaksud dengan biaya perkara ialah:
Biaya kantor kepaniteraan;
Biaya saksi, ahli, dan juru sita;
Biaya pemeriksaan setempat dan perbuatan hakim lainnya;
Biaya gaji pejabat yang disuruh melakukan pemanggilan pemberitahuan dan segala surat juru sita yang lain;
Gaji yang harus dibayar kepada panitera pengadilan atau pejabat lain karena menjalankan putusan hakim.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka dari itu sifat petitum mengenai pembebanan biaya perkara merupakan suatu “tuntutan tambahan”. Oleh karena itu, maka surat gugatan yang tidak mencantumkan petitum perihal pembebanan biaya perkara tidaklah obscuur libel. Hal itu didukung dengan bunyi Pasal 183 HIR yakni :
Banyaknya biaya perkara, yang dijatuhkan pada salah satu pihak harus disebutkan dalam keputusan.
Oleh karena berdasarkan kententuan Pasal 183 HIR banyaknya biaya perkara yang dijatuhkan kepada pihak yang kalah (baik penggugat atau tergugat) harus disebutkan dalam keputusan, maka dari itu menurut hemat kami, tidak dicantumkan pembebanan biaya perkara pada gugatan tidak serta merta membuat suatu surat gugatan obscuur libel. Mengenai biaya perkara tersebut baru wajib disebutkan dalam putusan hakim.
Dalam praktiknya, pada bagian petitum gugatan dicantumkan pembebanan biaya perkara yang harus dibayarkan oleh pihak yang kalah sesuai sesuai ketentuan dalam Pasal 181 ayat (1) HIR yakni:
Barang siapa, yang dikalahkan dengan keputusan akan dihukum membayar biaya perkara. Akan tetapi semua atau sebagian biaya perkara itu dapat diperhitungkan antara: laki isteri, keluarga sedarah dalam turunan yang lurus, saudara laki-laki dan saudara perempuan atau keluarga semenda, lagi pula jika dua belah fihak masing-masing dikalahkan dalam beberapa hal.
Setelah mengetahui hubungan antara pembebanan biaya perkara dalam petitum gugatan bukanlah obscuur libel, maka terkait dengan pertanyaan Anda mengenai putusan majelis hakim merupakan ultra petita karena memutus untuk membebankan biaya perkara dalam gugatan juga sudah terjawab berdasarkan ketentuan Pasal 181 dan 183 HIR di atas.
Sebelum memahami lebih lanjut mengenai putusan majelis hakim terkait pencantuman biaya perkara dalam petitum gugatan bukan merupakan ultra petita, maka pertama kita harus memahami terlebih dahulu apa itu ultra petita.
Asas
ultra petita atau sering disebut sebagai
asasiu dex non ultra petita atau ultra petita non cognoscitur diatur dalam Pasal 178 ayat (2) dan ayat (3) HIR serta dalam Pasal 189 ayat (2) dan ayat (3) Rbg jo. Pasal 67 huruf c
Undang–Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang artinya jika hakim dalam menjatuhkan putusan atas perkara yang tidak dituntut atau meluluskan lebih dari yang dimintakan (petitum), maka putusan tersebut merupakan putusan yang
ultra vires dan harus dinyatakan cacat meskipun putusan tersebut didasarkan pada itikad baik maupun telah sesusai dengan kepentingan umum.
Oleh sebab itu, apabila dalam petitum gugatan tidak dicantumkan pembebanan biaya perkara namun majelis makim dalam putusannya membebankan pihak yang kalah untuk membayar biaya perkara, putusan tersebut tidaklah bersifat ultra petita.
Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
Referensi:
Sudikno Mertokusumo. 1977. Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta: Liberty;
Yahya Harahap. 2016. Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan. Jakarta: Sinar Grafika.