Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Hukum Merekam Pembicaraan di Handphone dibuat oleh Josua Sitompul, S.H., IMM yang dipublikasikan pertama kali pada Rabu, 4 Juni 2014.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
klinik Terkait:
Legalitas Merekam Pembicaraan
Sepanjang penelusuran kami, tidak ada ketentuan secara tegas yang melarang perekaman pembicaraan tanpa adanya persetujuan dari semua pihak. Artinya, dalam sistem hukum di Indonesia, dimungkinkan seseorang untuk merekam pembicaraan melalui handphone hanya dengan persetujuan salah satu pihak.
Berbeda dengan intersepsi atau penyadapan yang dilarang berdasarkan ketentuan Pasal 31 ayat (2) UU 19/2016.
Penyadapan menurut Penjelasan Pasal 40 UU Telekomunikasi, bahwa yang dimaksud penyadapan adalah kegiatan memasang alat atau perangkat tambahan pada jaringan telekomunikasi untuk tujuan mendapatkan informasi dengan cara tidak sah. Konsep penyadapan dalam UU Telekomunikasi dipengaruhi oleh teknologi pada waktu itu, yaitu teknologi telekomunikasi dengan menggunakan kabel (wired communication).
Sedangkan dalam UU ITE, menggunakan terminologi intersepsi atau penyadapan yang dijelaskan sebagai kegiatan untuk mendengarkan, merekam, membelokkan, mengubah, menghambat, dan/atau mencatat transmisi informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang tidak bersifat publik, baik menggunakan jaringan kabel komunikasi maupun jaringan nirkabel, seperti pancaran elektromagnetik atau radio frekuensi.[1]
berita Terkait:
Meskipun belum ada peraturan tegas yang melarang perekaman pembicaraan lewat handphone, akan tetapi penggunaan setiap informasi melalui media elektronik yang menyangkut data pribadi seseorang harus dilakukan atas persetujuan orang yang bersangkutan.[2]
Sehingga, apabila lawan bicara Anda merasa dirugikan hak pribadinya, maka yang bersangkutan berhak untuk mengajukan gugatan atas kerugian yang ditimbulkan.[3]
Baca juga: Perbedaan Menyadap dan Merekam
Kekuatan Pembuktian Rekaman Pembicaraan
Hasil rekaman melalui handphone baik incoming maupun outgoing yang Anda sebutkan dapat dikategorikan sebagai informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang diatur di dalam UU ITE dan perubahannya.
Yang dimaksud dengan informasi elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.[4]
Sedangkan dokumen elektronik adalah setiap informasi elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui komputer atau sistem elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.[5]
Kemudian, di dalam Pasal 5 ayat (1) UU ITE berbunyi:
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.
Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia.[6]
Namun demikian, berdasarkan putusan MK tentang alat bukti elektronik yaitu Putusan MK Nomor 20/PUU-XIV/2016 menyatakan bahwa frasa “informasi elektronik dan dokumen elektronik” tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai khususnya frasa “informasi elektronik dan dokumen elektronik” sebagai alat bukti dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya.
Jadi, untuk menjadi alat bukti yang sah, dokumen elektronik yaitu berupa isi rekaman tersebut harus atas permintaan penegak hukum.
Menurut Josua Sitompul dalam buku Cyberspace, Cybercrimes, Cyberlaw: Tinjauan Aspek Hukum Pidana agar informasi dan/atau dokumen elektronik dapat dijadikan alat bukti hukum yang sah, terdapat syarat formil dan syarat materil yang harus terpenuhi.
Syarat formil diatur dalam Pasal 5 ayat (4) UU ITE, yaitu bahwa informasi atau dokumen elektronik bukanlah dokumen atau surat yang menurut perundang-undangan harus dalam bentuk tertulis atau dokumen akta autentik.
Sedangkan syarat materiil diatur dalam Pasal 6, Pasal 15, dan Pasal 16 UU ITE, yang pada intinya informasi dan dokumen elektronik harus dapat dijamin keautentikannya, keutuhannya, dan ketersediaannya. Untuk menjamin terpenuhinya persyaratan materil yang dimaksud, maka dibutuhkan digital forensik.
Namun demikian, perlu Anda perhatikan bahwa rumusan alat bukti elektronik dapat menjadi alat bukti yang sah atas permintaan penegak hukum merupakan rumusan alat bukti yang cenderung untuk kasus pidana.[7] Lantas bagaimana dalam kasus perdata?
Baca juga: Syarat dan Kekuatan Hukum Alat Bukti Elektronik
Alat Bukti Elektronik dalam Hukum Acara Perdata
Untuk menjawab pertanyaan Anda tentang apakah perjanjian yang direkam melalui handphone dapat dijadikan alat bukti, maka terlebih dahulu kami sampaikan tentang alat bukti dalam hukum acara perdata.
Berdasarkan Pasal 164 HIR/Pasal 284 RBG, yang dimaksud dengan alat bukti terdiri dari:
- Bukti tertulis/bukti dengan surat;
- Bukti dengan saksi;
- Persangkaan;
- Pengakuan;
- Sumpah.
Adapun yang dimaksud dengan bukti tertulis menurut Pasal 1867 KUH Perdata adalah pembuktian dengan tulisan/akta autentik atau di bawah tangan.
Namun seiring dengan perkembangan zaman, alat bukti elektronik dalam hukum acara perdata mulai diakui. Misalnya dalam lingkup Peradilan Agama, berdasarkan Rapat Komisi Bidang Teknis Yudisial 17 September 2019, sebagaimana dilansir artikel Perkembangan Alat Bukti dalam Hukum Acara Perdata, tangkapan layar percakapan atau screenshot, foto dan chatting dari media sosial/aplikasi percakapan elektronik diakui sebagai bukti permulaan. Untuk menguatkannya, maka para pihak perlu menghadirkan ahli untuk menguji autentikasi bukti elektronik atas persetujuan majelis.
Selain itu, contoh alat bukti elektronik dalam kasus perdata dapat Anda temukan dalam Putusan MA No. 439 B/Pdt.Sus-Arbt/2016. Dalam putusan tersebut bukti transkrip percakapan melalui aplikasi Whatsapp Messenger dijadikan alat bukti yang sah.
Kemudian, harus dipastikan bahwa perjanjian yang Anda maksud sudah memenuhi 4 syarat sah perjanjian sebagaimana diatur di dalam Pasal 1320 KUH Perdata.
Jika syarat sah perjanjian terpenuhi, maka berdasarkan hal di atas, maka Anda dapat mengajukan bukti rekaman pembicaraan tersebut di pengadilan yang nantinya akan dinilai dan diputuskan oleh hakim. Dalam praktik hukum acara perdata, jika Anda mempunyai informasi dan/atau dokumen elektronik, dapat diajukan sebagai alat bukti yang akan dinilai keabsahan alat bukti elektronik tersebut oleh hakim.
Demikian jawaban dari kami tentang alat bukti elektronik dalam hukum acara perdata, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
- Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
- Reglement Tot Regeling Van Het Rechtswezen In De Gewesten Buiten Java En Madura (RBG) (S. 1927-227);
- Herzien Inlandsch Reglement (H.I.R) (S. 1941-44);
- Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi;
- Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik;
- Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Putusan:
- Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-XIV/2016;
- Putusan Mahkamah Agung No. 439 B/Pdt.Sus-Arbt/2016.
Referensi:
Josua Sitompul. Cyberspace, Cybercrimes, Cyberlaw: Tinjauan Aspek Hukum Pidana. Jakarta: Tatanusa, 2012.
[1] Penjelasan Pasal 31 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”)
[2] Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU 19/2016”)
[3] Pasal 26 ayat (2) UU 19/2016
[4] Pasal 1 angka 1 UU 19/2016
[5] Pasal 1 angka 4 UU 19/2016
[6] Pasal 5 ayat (2) UU ITE
[7] Pertimbangan hakim dalam Putusan MK Nomor 20/PUU-XIV/2016