Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Hukumnya Pakai Jalan dan Trotoar untuk Berjualan

Share
copy-paste Share Icon
Pidana

Hukumnya Pakai Jalan dan Trotoar untuk Berjualan

Hukumnya Pakai Jalan dan Trotoar untuk Berjualan
Dian Dwi Jayanti, S.H.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Hukumnya Pakai Jalan dan Trotoar untuk Berjualan

PERTANYAAN

Sekarang di kota tempat saya tinggal semakin macet saja. Tidak hanya karena ada pembangunan dimana-mana, tetapi juga karena ada jalan-jalan yang ditutup pemda untuk pasar, bahkan trotoar juga dijadikan tempat berdagang. Apa dasar hukum dibolehkannya tindakan pemda tersebut? Memang bisa peruntukan jalan justru menjadi tempat berdagang para pedagang kaki lima?

 

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Penggunaan jalan dan trotoar untuk berdagang/berjualan dalam UU LLAJ dapat dikategorikan sebagai perbuatan yang mengakibatkan gangguan fungsi jalan dan perlengkapan jalan dan dapat dikenai sanksi pidana.

    Namun demikian, terdapat ketentuan tertentu yang memperbolehkan penggunaan jalan dan trotoar untuk berjualan. Apa saja aturannya dan bagaimana bunyinya?

    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.

    Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Alih Fungsi Jalan dan Trotoar Menjadi Tempat Berdagang yang dibuat oleh Tri Jata Ayu Pramesti, S.H. yang pertama kali dipublikasikan pada Kamis, 8 Maret 2018.

    Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.

    Menggunakan Jalan di Luar Fungsinya

    Penutupan jalan dalam UU LLAJ adalah penutupan jalan akibat penggunaan jalan untuk penyelenggaraan kegiatan di luar fungsinya, yang dapat dilakukan pada jalan nasional, jalan provinsi, jalan kabupaten/kota, dan jalan desa.[1]

    Yang dimaksud dengan "penyelenggaraan kegiatan di luar fungsinya" antara lain kegiatan keagamaan, kenegaraan, olahraga, dan/atau budaya. [2]

    Lebih lanjut, penggunaan jalan nasional dan jalan provinsi dapat diizinkan untuk kepentingan umum yang bersifat nasional. Sementara, penggunaan jalan kabupaten/kota dan jalan desa, dapat diizinkan untuk kepentingan umum yang bersifat nasional, daerah, dan/atau kepentingan pribadi seperti pesta perkawinan, kematian, dan kegiatan lain.[3]

    Penggunaan jalan yang mengakibatkan penutupan jalan untuk penyelenggaraan kegiatan di luar fungsinya dapat diizinkan jika ada jalan alternatif dan pengalihan arus lalu lintas ke jalan alternatif harus dinyatakan dengan rambu lalu lintas sementara.[4]

    Adapun izin untuk penggunaan jalan nasional, provinsi, kabupaten/kota dan jalan desa ini diberikan oleh kepolisian.[5]

    Dasar hukum lain yang mengatur mengenai penggunaan jalan untuk kegiatan di luar fungsi jalan yaitu Pasal 11 ayat (9) dan ayat (10) UU 2/2022 yang berbunyi:

    (9) Pemanfaatan bagian-bagian Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) selain peruntukannya wajib memperoleh izin dari Penyelenggara Jalan sesuai dengan kewenangannya dan pelaksanaannya mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan barang milik negara/barang milik daerah.

    (10) Setiap orang yang melanggar ketentuan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (9) dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis dan/atau denda administratif.

    Berdasarkan ketentuan di atas, dapat disimpulkan bahwa peruntukan jalan di luar fungsinya hendaklah mendapatkan izin dari penyelenggara jalan sesuai dengan kewenangannya.

    Hukumnya Berjualan di Jalan dan Trotoar

    Jika terjadi gangguan fungsi jalan dan fasilitas pejalan kaki (trotoar) dalam UU LLAJ dapat dikenai sanksi pidana dengan ketentuan sebagai berikut:

    1. Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan kerusakan dan/atau gangguan fungsi Jalan.[6] Setiap orang yang melakukan perbuatan yang mengakibatkan kerusakan dan/atau gangguan fungsi Jalan dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun atau denda paling banyak Rp 24 juta.[7]
    2. Setiap jalan yang digunakan untuk lalu lintas umum wajib dilengkapi dengan perlengkapan jalan, salah satunya berupa fasilitas untuk pejalan kaki.[8] Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan gangguan pada fungsi perlengkapan jalan, dalam konteks ini yang dimaksud adalah trotoar sebagai fasilitas untuk pejalan kaki yang terganggu fungsinya menjadi tempat berdagang.[9]

    Setiap orang yang melakukan perbuatan yang mengakibatkan gangguan pada fungsi fasilitas pejalan kaki dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 bulan atau denda paling banyak Rp 250 ribu. [10]

    Namun demikian, perlu Anda perhatikan bahwa di dalam Pasal 13 Permenpu 3/2014 mengatur mengenai pemanfaatan trotoar untuk berdagang/berjualan, sebagai berikut:

    1. Pemanfaatan prasarana jaringan pejalan kaki dilakukan dengan mempertimbangkan:
      1. jenis kegiatan;
      2. waktu pemanfaatan;
      3. jumlah pengguna; dan
      4. ketentuan teknis yang berlaku.
    2. Pemanfaatan prasarana jaringan pejalan kaki hanya diperkenankan untuk pemanfaatan fungsi sosial dan ekologis yang berupa aktivitas bersepeda, interaksi sosial, kegiatan usaha kecil formal, aktivitas pameran di ruang terbuka, jalur hijau, dan sarana pejalan kaki.

    Jadi, atas dasar pertimbangan soal pemanfaatan fungsi sosial dan ekologis, bisa saja pemanfaatan trotoar digunakan untuk kegiatan perdagangan berupa Kegiatan Usaha Kecil Formal (“KUKF”).

    Ketentuan lebih rinci mengenai pemanfaatan prasarana dan sarana jaringan pejalan kaki sebagai tempat KUKF tercantum dalam Lampiran Permenpu 3/2014, yaitu:[11]

    1. Jarak bangunan ke area berdagang adalah 1,5 – 2,5 meter, agar tidak mengganggu sirkulasi pejalan kaki.
    2. Jalur pejalan kaki memiliki lebar minimal 5 meter, yang digunakan untuk area berjualan memiliki lebar maksimal 3 meter, atau memiliki perbandingan antara lebar jalur pejalan kaki dan lebar area berdagang 1:1,5.
    3. Terdapat organisasi/lembaga yang mengelola keberadaan KUKF.
    4. Pembagian waktu penggunaan jalur pejalan kaki untuk jenis KUKF tertentu, diperkenankan di luar waktu aktif gedung/bangunan di depannya.
    5. Dapat menggunakan lahan privat.
    6. Tidak berada di sisi jalan arteri baik primer maupun sekunder dan kolektor primer dan/atau tidak berada di sisi ruas jalan dengan kecepatan kendaraan tinggi.

    Selain peraturan menteri, Anda dapat merujuk juga pada peraturan daerah setempat. Sebagai contoh Perda DKI Jakarta 8/2007. Perda DKI Jakarta 8/2007 mengatur mengenai ketertiban penggunaan sarana dan prasarana untuk umum.

    Pasal 1 angka 14 Perda DKI Jakarta 8/2007 memberikan pengertian “pedagang kaki lima” sebagai berikut:

    Pedagang kaki lima adalah seseorang yang melakukan kegiatan usaha perdagangan dan jasa yang menempati tempat-tempat prasarana kota dan fasilitas umum baik yang mendapat izin dari pemerintah daerah maupun yang tidak mendapat izin pemerintah daerah antara lain badan jalan, trotoar, saluran air, jalur hijau, taman, bawah jembatan, jembatan penyeberangan.

    Kemudian Perda DKI Jakarta 8/2007 juga mengatur lebih rinci mengenai pedagang kaki lima yang berjualan di jalan atau trotoar dalam Pasal 3 dan Pasal 27 Perda DKI Jakarta 8/2007 sebagai berikut:

    Pasal 3 Perda DKI Jakarta 8/2007

    Kecuali dengan izin Gubernur atau pejabat yang ditunjuk, setiap orang atau badan dilarang:

    1. menutup jalan;
    2. membuat atau memasang portal;
    3. membuat atau memasang tanggul jalan;
    4. membuat atau memasang pintu penutup jalan;
    5. membuat, memasang, memindahkan atau membuat tidak berfungsi rambu-rambu lalu lintas;
    6. menutup terobosan atau putaran jalan;
    7. membongkar trotoar dan memasang jalur pemisah, rambu-rambu lalu lintas, pulau-pulau jalan dan sejenisnya;
    8. membongkar, memotong, merusak atau membuat tidak berfungsi pagar pengamanan jalan;
    9. menggunakan bahu jalan (trotoar) tidak sesuai dengan fungsinya;
    10. melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat berakibat merusak sebagian atau seluruh badan jalan dan membahayakan keselamatan lalu lintas.
    11. menempatkan benda dan/atau barang bekas pada tepi-tepi jalan raya dan jalan-jalan di lingkungan permukiman.

    Pasal 27 Perda DKI Jakarta 8/2007

    1. Setiap orang/badan dilarang menempatkan benda-benda dengan maksud untuk melakukan sesuatu usaha di jalan, di pinggir rel kereta api, jalur hijau, taman dan tempat-tempat umum, kecuali di tempat-tempat yang telah diizinkan oleh pejabat berwenang yang ditunjuk oleh Gubernur.
    2. Setiap orang/badan dilarang menjajakan barang dagangan, membagikan selebaran atau melakukan usaha-usaha tertentu dengan mengharapkan imbalan di jalan, jalur hijau, taman dan tempat-tempat umum, kecuali tempat-tempat yang ditetapkan oleh Gubernur.
    3. Setiap orang dilarang membeli barang dagangan dan menerima, selebaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

    Berdasarkan pasal-pasal di atas jelas bahwa sebenarnya dilarang untuk berdagang/berjualan di jalan/trotoar kecuali telah diizinkan oleh pejabat berwenang atau gubernur. Oleh karena itu, Anda dapat memeriksa kembali peraturan daerah setempat mengenai jalan atau trotoar sebagai tempat berjualan pedagang kaki lima.

    Meski demikian menurut hemat kami, sebelum pemerintah daerah setempat menutup jalan dan mengalihkan fungsinya menjadi tempat atau kawasan perdagangan, sebaiknya didahului dengan upaya sosialisasi dan musyawarah dengan warga sekitar serta kepolisian terkait perubahan lalu lintas jalan yang akan terjadi. Selain itu, pengorganisasian yang baik atas pedagang kaki lima juga perlu dilakukan.

    Perkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwibahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini.

    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

    Dasar Hukum:

    1. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan;
    2. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;
    3. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang telah ditetapkan menjadi undang-undang dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023;
    4. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 03/PRT/M/2014 Tahun 2014 tentang Pedoman Perencanaan, Penyediaan, dan Pemanfaatan Prasarana dan Sarana Jaringan Pejalan Kaki di Kawasan Perkotaan;
    5. Peraturan Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum.

    [1] Pasal 128 ayat (1) jo. Pasal 127 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (“UU LLAJ”)

    [2] Penjelasan Pasal 127 ayat (1) UU LLAJ

    [3] Pasal 127 ayat (2) dan (3) dan Penjelasan Pasal 127 ayat (2) UU LLAJ

    [4] Pasal 128 ayat (1) dan (2) UU LLAJ

    [5] Pasal 128 ayat (3) UU LLAJ

    [6] Pasal 28 ayat (1) UU LLAJ

    [7] Pasal 274 ayat (1) UU LLAJ

    [8] Pasal 25 ayat (1) huruf g UU LLAJ

    [9] Pasal 28 ayat (2) jo. Pasal 25 ayat (1) UU LLAJ

    [10] Pasal 275 ayat (1) jo. Pasal 28 ayat (2) UU LLAJ

    [11] Lampiran Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 93/PRT/M/2014 Tahun 2014 tentang Pedoman Perencanaan, Penyediaan, dan Pemanfaatan Prasarana dan Sarana Jaringan Pejalan Kaki di Kawasan Perkotaan, hal. 45

    Tags

    jalan
    lalu lintas

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Cara Upload Terjemahan Novel Agar Tak Langgar Hak Cipta

    20 Okt 2022
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!