Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Ancaman Pidana Eksploitasi Air Tanah yang Berlebihan

Share
copy-paste Share Icon
Pidana

Ancaman Pidana Eksploitasi Air Tanah yang Berlebihan

Ancaman Pidana Eksploitasi Air Tanah yang Berlebihan
Trian Marfiansyah, S.H.Shinta Sriwijaya & Co.
Shinta Sriwijaya & Co.
Bacaan 10 Menit
Ancaman Pidana Eksploitasi Air Tanah yang Berlebihan

PERTANYAAN

Akhir-akhir ini terdengar isu bahwa Jakarta akan tenggelam karena eksploitasi air tanah besar-besaran. Yang ingin saya tanyakan, bagaimana sebenarnya pengaturan soal pemanfaatan air tanah saat ini? 

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Pada intinya, air tanah adalah air yang terdapat dalam lapisan tanah atau batuan di bawah permukaan tanah. Pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah merupakan objek pajak air tanah, dengan mengacu pada Pergub DKI 38/2017 dan UU 1/2022.

    Namun, saat ini Jakarta tengah mengalami eksploitasi air tanah berlebihan. Lantas, adakah ancaman pidana jika melakukan eksploitasi air tanah yang berlebihan? Lalu, apakah pengambilan air tanah tanpa izin dapat dipidana?

    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.

    Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul sama yang dibuat oleh Bernadetha Aurelia Oktavira, S.H. dan dipublikasikan pertama kali pada Senin, 26 Agustus 2019.

    Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.

    Dasar Hukum Hak Guna Air

    Berbicara mengenai pemanfaatan air tanah, perlu kami jelaskan terlebih dahulu mengenai hak guna air. Pasal 47 ayat (1) UU PA mendefinisikan hak guna air sebagai hak memperoleh air untuk keperluan tertentu dan/atau mengalirkan air itu di atas tanah orang lain. Hak guna air merupakan salah satu bentuk hak atas air dan ruang angkasa.[1]

    Hak guna air, hak pemeliharaan, dan penangkapan ikan adalah berkaitan dengan air yang tidak berada di atas tanah milik sendiri. Jika mengenai air yang berada di atas tanah milik sendiri, maka hal-hal itu sudah termasuk dalam isi hak milik atas tanah. Lebih lanjut, hak guna air ialah hak akan memperoleh air dari sungai, saluran atau mata air yang berada di luar tanah miliknya, misalnya untuk keperluan mengairi tanahnya, rumah tangga dan lain sebagainya. Sering kali, air yang diperlukan itu perlu dialirkan (didatangkan) melalui tanah orang lain dan air yang tidak diperlukan sering kali perlu dialirkan pula (dibuang) melalui tanah orang yang lain lagi. Orang-orang tersebut tidak boleh menghalang-halangi pemilik tanah itu untuk mendatangkan dan membuang air tadi melalui tanahnya masing-masing.[2]

    Atau dengan kata lain, menurut hemat kami hak guna air memang diperuntukkan untuk kebutuhan umum sebagaimana penafsiran tekstual (original intent) dan bagian pertimbangan dari UU PA.

    Baca juga: Menafsir Konstitusi, dari Original Intent hingga Judicial Activism

    Ketentuan Hukum mengenai Air Tanah

    Selain diatur dalam UU PA, pengaturan mengenai pemanfaatan air tanah dapat ditemukan pada Pasal 1 angka 2 UU 17/2019 yang berbunyi:

    Air adalah semua air yang terdapat pada, di atas, ataupun di bawah permukaan tanah, termasuk dalam pengertian ini air permukaan, air tanah, air hujan, dan air laut yang berada di darat.

    Kemudian, dalam Pasal 1 angka 6 UU 17/2019, sumber air juga didefinisikan dalam rangka menegaskan ruang lingkup air tersebut berasal, yang juga diperuntukkan bagi kepastian hukum atas perlindungan air sebagai berikut:

    Sumber air adalah tempat atau wadah air alami dan/atau buatan yang terdapat pada, di atas, atau di bawah permukaan tanah.

    Lebih lanjut, Pasal 1 angka 1 Pergub DKI 93/2021 telah mendefinisikan air tanah secara spesifik, sebagai air yang terdapat dalam lapisan tanah atau batuan di bawah permukaan tanah.

    Akan tetapi, Pergub DKI 94/2021 memiliki arti yang sedikit berbeda namun meluaskan cakupannya sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 2 sebagai berikut:[3]

    Air Tanah adalah air yang berada di perut bumi, termasuk mata air yang muncul secara alamiah di atas permukaan tanah.

    Pengaturan tentang penggunaan air tanah di Daerah Khusus Ibukota Jakarta (“DKI”) juga dapat kita temukan dalam Perda DKI 17/2010 jo. Pergub DKI 38/2017. Kedua peraturan tersebut mendefinisikan air tanah sebagai air yang terdapat dalam lapisan tanah atau batuan di bawah permukaan tanah.[4]

    Pengaturan Sumber Daya Air

    Selanjutnya, pada dasarnya air tanah termasuk dalam sumber daya air.[5] Pengaturan sumber daya air bertujuan untuk:[6]

    1. memberikan pelindungan dan menjamin pemenuhan hak rakyat atas air;
    2. menjamin keberlanjutan ketersediaan air dan sumber air agar memberikan manfaat secara adil bagi masyarakat;
    3. menjamin pelestarian fungsi air dan sumber air untuk menunjang keberlanjutan pembangunan;
    4. menjamin terciptanya kepastian hukum bagi terlaksananya partisipasi masyarakat dalam pengawasan terhadap pemanfaatan sumber daya air mulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pemanfaatan;
    5. menjamin pelindungan dan pemberdayaan masyarakat, termasuk Masyarakat Adat dalam upaya konservasi air dan sumber air; dan
    6. mengendalikan daya rusak air secara menyeluruh yang mencakup upaya pencegahan, penanggulangan, dan pemulihan

    Hal tersebut mengamanatkan Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah untuk melaksanakan tugas dan wewenang untuk mengelola sumber daya air,[7] karena pada dasarnya sumber daya air dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk kemakmuran rakyat.[8]

    Di sisi lain, apabila pihak selain Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah ingin melakukan kegiatan penggunaan sumber daya air, pihak yang bersangkutan wajib memperoleh Perizinan Berusaha atau persetujuan penggunaan sumber daya air yang diberikan oleh Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah.[9]

    Adapun pihak-pihak yang dapat diberikan Perizinan Berusaha meliputi sebagai berikut:[10]

    1. Badan Usaha Milik Negara;
    2. Badan Usaha Milik Daerah;
    3. Badan Usaha Milik Desa;
    4. Koperasi;
    5. Badan usaha swasta; atau
    6. Perseorangan.

    Ketentuan-ketentuan di atas menjelaskan bahwa dalam hal tata pengelolaan sumber daya air yang baik salah satunya mengenai eksploitasi air tanah, setiap pelaku usaha harus melakukan koordinasi baik dengan Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah.

    Objek dan Subjek Pajak Air Tanah

    Sebagai contoh di DKI Jakarta, pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah ditetapkan sebagai objek pajak air tanah. Selain itu, pajak air tanah juga berlaku bagi aktivitas dewatering.[11] Dewatering adalah kegiatan pengontrolan air untuk kepentingan mengeringkan areal penggalian yang akan dimanfaatkan sebagai bangunan bawah tanah atau untuk berbagai kepentingan.[12]

    Adapun yang tidak termasuk objek pajak air tanah yaitu:

    1. pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah; [13]
    2. pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah untuk keperluan dasar rumah tangga, pengairan pertanian dan perikanan rakyat, peternakan rakyat, keperluan keagamaan, kegiatan laginnya yang diatur dengan Perda;[14]
    3. pengambilan atau pemanfaatan atau pengambilan dan pemanfaatan air tanah untuk keperluan pemadaman kebakaran.[15]

    Sedangkan subjek pajak air tanah sekaligus wajib pajak air tanah sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Pergub DKI 38/2017 adalah orang pribadi atau badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah. Hal serupa juga telah diatur dalam Pasal 66 UU 1/2022.

    Kelompok Pengguna Air Tanah

    Lebih lanjut, Permen ESDM 20/2017 membagi kelompok pengguna air tanah berdasarkan tujuan pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah, volume air tanah yang diambil dan/atau dimanfaatkan, serta tingkat kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah. Pembagian tersebut terdiri atas:[16]

    1. Kelompok 1, merupakan bentuk pengusahaan produk berupa air, meliputi:
    1. pemasok air baku;
    2. perusahaan air minum;
    3. industri air minum dalam kemasan; dan lain-lain.

     

    1. Kelompok 2, merupakan bentuk pengusahaan produk bukan air termasuk untuk membantu proses produksi dengan penggunaan air dalam jumlah besar, meliputi:
    1. industri tekstil;
    2. pewarnaan/pencelupan kain;
    3. pabrik makanan olahan; dan lain-lain.

     

    1. Kelompok 3, merupakan bentuk pengusahaan produk bukan air termasuk untuk membantu proses produksi dengan penggunaan air dalam jumlah sedang, meliputi:
    1. hotel bintang 1 dan hotel bintang 2;
    2. usaha persewaan jasa kantor;
    3. apartemen dan kampus; dan lain-lain

     

    1. Kelompok 4, merupakan bentuk pengusahaan produk bukan air untuk membantu proses produksi dengan penggunaan air dalam jumlah kecil, meliputi:
    1. kelas melati;
    2. losmen/pondokan/penginapan/asrama/rumah sewa;
    3. tempat hiburan; dan lain-lain.

     

    1. Kelompok 5, merupakan bentuk pengusahaan produk bukan Air untuk menunjang kebutuhan pokok, meliputi:
    1. usaha kecil skala rumah tangga;
    2. hotel non-bintang;
    3. rumah makan; dan lain-lain.

    Pembagian kelompok pengguna air tanah dapat Anda baca selengkapnya pada Pasal 3 ayat (3) Permen ESDM 20/2017.

    Eksploitasi Air Tanah di Jakarta

    Uraian di atas menunjukkan bahwa pada dasarnya telah terdapat sejumlah pengaturan atau ketentuan guna membatasi pemanfaatan air tanah. Namun pada kenyataannya, terjadi eksploitasi air tanah di Jakarta secara berlebihan, sebagaimana yang Anda katakan. Berdasarkan penelusuran kami, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral melalui artikel Peta Cekungan Air Tanah Menjadi Acuan Pembuatan Tata Ruang mengonfirmasi terjadinya kerusakan Cekungan Air Tanah (“CAT”) di Jakarta, yang disebabkan eksploitasi air tanah yang berlebihan.

    Menjawab pertanyaan Anda, ketentuan pidana bagi para pihak yang melanggar ketentuan mengenai pemanfaatan air tanah dijatuhi hukuman pidana dalam Pasal 69 huruf b UU 17/2019 yang berbunyi:

    Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan sumber daya air yang menimbulkan kerusakan pada sumber air, lingkungan dan/atau prasarana sumber daya air di sekitarnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 UU 17/2019 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 18 bulan dan paling lama 6 tahun dan denda paling sedikit Rp2.5 miliar dan paling banyak Rp10 miliar.

    Kemudian, setiap orang yang dengan sengaja melakukan penggunaan sumber daya air tanpa Perizinan Berusaha dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 3 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1 miliar dan paling banyak Rp5 miliar.[17]

    Lalu, jika tindak pidana sumber daya air dilakukan oleh badan usaha, pidana dikenakan terhadap badan usaha, pemberi perintah untuk melakukan tindak pidana, dan/atau pimpinan badan usaha yang bersangkutan. Pidana yang dikenakan terhadap badan usaha berupa:[18]

    1. pidana denda terhadap badan usaha sebesar dua kali pidana denda sebagaimana diatur dalam Pasal 68 sampai dengan Pasal 73 UU 17/2019 dan perubahannya;
    2. pidana penjara terhadap pemberi perintah untuk melakukan tindak pidana, yang lamanya sebagaimana diatur dalam Pasal 68 sampai dengan Pasal 73 UU 17/2019 dan perubahannya; dan/atau
    3. pidana penjara terhadap pimpinan badan usaha, yang besarnya sama sebagaimana diatur dalam Pasal 68 sampai dengan Pasal 73 UU 17/2019 dan perubahannya.

    Baca Juga: Perizinan Pengelolaan Air Harus Perhatikan 6 Prinsip Ini

    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

    Dasar Hukum:

    1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria;
    2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air;
    3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah;
    4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang telah ditetapkan sebagai undang-undang melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023;
    5. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 20 Tahun 2017 tentang Pedoman Penetapan Nilai Perolehan Air Tanah;
    6. Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pajak Air Tanah;
    7. Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 38 Tahun 2017 tentang Pemungutan Pajak Air Tanah;
    8. Peraturan Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 93 Tahun 2021 tentang Zona Bebas Air Tanah;
    9. Peraturan Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 94 Tahun 2021 tentang Nilai Perolehan Air Tanah Sebagai Dasar Pengenaan Pajak Air Tanah.

    Referensi:

    Peta Cekungan Air Tanah Menjadi Acuan Pembuatan Tata Ruang, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, diakses pada Kamis, 5 Oktober 2023, pukul 10.23 WIB.


    [1] Pasal 16 ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (“UU PA”).

    [2] Penjelasan Pasal 47 UU PA.

    [3] Pasal 1 angka 2 Peraturan Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 94 Tahun 2021 tentang Nilai Perolehan Air Tanah Sebagai Dasar Pengenaan Pajak Air Tanah (“Pergub DKI 94/2021”).

    [4] Pasal 1 angka 10 Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pajak Air Tanah (“Perda DKI 17/2010”) jo. Pasal 1 angka 13 Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 38 Tahun 2017 tentang Pemungutan Pajak Air Tanah (“Pergub DKI 38/2017”).

    [5] Pasal 1 angka 1 dan angka 2 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air (“UU 17/2019”).

    [6] Pasal 3 UU 17/2019.

    [7] Pasal 53 angka 2 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja  (“Perppu Cipta Kerja”) yang mengubah Pasal 9 ayat (1) UU 17/2019.

    [8] Pasal 5 UU 17/2019.

    [9] Pasal 53 angka 10 Perppu Cipta Kerja yang mengubah Pasal 44 ayat (3) UU 17/2019.

    [10] Pasal 53 angka 12 Perppu Cipta Kerja yang mengubah Pasal 49 ayat (5) UU 17/2019.

    [11] Pasal 3 ayat (1) dan (2) Pergub DKI 38/2017.

    [12] Pasal 1 angka 18 Pergub DKI 38/2017.

    [13] Pasal 3 ayat (4) huruf a Pergub DKI 38/2017.

    [14] Pasal 65 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (“UU 1/2022”).

    [15] Pasal 3 ayat (4) huruf c Pergub DKI 38/2017.

    [16] Pasal 3 ayat (3) Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 20 Tahun 2017 tentang Pedoman Penetapan Nilai Perolehan Air Tanah.

    [17] Pasal 53 angka 17 Perppu Cipta Kerja yang mengubah Pasal 70 huruf d UU 17/2019.

    [18] Pasal 74 UU 17/2019.

    Tags

    pertanahan
    air

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Tips Agar Terhindar dari Jebakan Saham Gorengan

    15 Agu 2023
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!