Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Apakah Polisi Berwenang Merazia Pencantuman Label Produk?

Share
copy-paste Share Icon
Perlindungan Konsumen

Apakah Polisi Berwenang Merazia Pencantuman Label Produk?

Apakah Polisi Berwenang Merazia Pencantuman Label Produk?
Saufa Ata Taqiyya, S.H.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Apakah Polisi Berwenang Merazia Pencantuman Label Produk?

PERTANYAAN

Saya ingin bertanya, apakah polisi berhak melakukan razia produk dagangan di toko dengan alasan mengecek pelabelan produk? Memang produk yang dirazia merupakan produk yang masuk daftar wajib label sesuai Permendag 73 Tahun 2015. Adapun dasar hukum yang dipakai adalah UU Perdagangan. Terima kasih.

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Setiap pelaku usaha wajib menggunakan atau melengkapi label berbahasa Indonesia pada barang yang diperdagangkan di dalam negeri.

    Wewenang pelaksanaan pengawasan terhadap aturan pencantuman label pada produk itu diberikan kepada Menteri Perdagangan dan/atau Gubernur.

    Tetapi perlu diingat bahwa perbuatan pelaku usaha yang tidak mencantumkan label berbahasa Indonesia pada barang yang diperdagangkan di dalam negeri merupakan tindak pidana, di mana polisi dapat melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana.

    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda klik ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.

     

    Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul sama yang dibuat oleh Sovia Hasanah, S.H. dan dipublikasikan pertama kali pada 12 Maret 2018.

    KLINIK TERKAIT

    Izin Usaha Makanan untuk Produk Industri Rumahan

    Izin Usaha Makanan untuk Produk Industri Rumahan

     

    Ketentuan Pencatuman Label Berbahasa Indonesia

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000

    Pasal 20 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Perdagangan (“PP 29/2021”) mewajibkan setiap pelaku usaha menggunakan atau melengkapi label berbahasa Indonesia pada barang yang diperdagangkan di dalam negeri.

    Lebih  lanjut, aturan mengenai barang yang wajib menggunakan atau melengkapi label berbahasa Indonesia diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 25 Tahun 2021 tentang Penetapan Barang yang Wajib Menggunakan atau Melengkapi Label Berbahasa Indonesia (“Permendag 25/2021”), yang menetapkan barang yang wajib menggunakan atau melengkapi label berbahasa Indonesia.[1] Daftar barang yang dikenai kewajiban tersebut tertera dalam Lampiran Permendag 25/2021.[2]

    Permendag tersebut sekaligus mencabut Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 73/M-DAG/PER/9/2015 Tahun 2015 tentang Kewajiban Pencantuman Label dalam Bahasa Indonesia pada Barang sebagaimana Anda sebutkan.

    Penjelasan lebih lanjut mengenai ketentuan pencantuman label bahasa Indonesia ini dapat Anda simak selengkapnya dalam Kewajiban Pelaku Usaha Mencantumkan Label Bahasa Indonesia.

     

    Sanksi Jika Tidak Mencantumkan Label Bahasa Indonesia

    Pelaku usaha yang melanggar ketentuan kewajiban pencatuman label berbahasa Indonesia dikenai sanksi administratif[3] yang dapat berupa:[4]

    1. teguran tertulis;
    2. penarikan barang dari distribusi;
    3. penghentian sementara kegiatan usaha;
    4. penutupan gudang;
    5. denda; dan/atau
    6. pencabutan perizinan berusaha.

    Sanksi administratif tersebut dapat dikenakan secara bertahap dan/atau tidak bertahap.[5]

    Selain sanksi administratif, Pasal 46 angka 33 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (“UU Cipta Kerja”) yang mengubah Pasal 104 ayat (1)  Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan (“UU 7/2014”) mengatur sanksi pidana terhadap pelaku usaha yang tidak menggunakan atau tidak melengkapi label berbahasa Indonesia pada barang yang diperdagangkan di dalam negeri, dengan ancaman pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp10 miliar.

    Namun, ketentuan pidana tersebut dikecualikan bagi pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha dan/atau kegiatan berisiko rendah atau menengah.[6] Sehingga, terhadap pelaku usaha dan/atau kegiatan berisiko rendah atau menengah hanya dapat dikenai sanksi administratif yang kami sebutkan di atas.[7]

     

    Apakah Polisi Berwenang Mengawasi Pencantuman Label Bahasa Indonesia?

    Anda menyebut bahwa polisi melakukan razia produk dagangan di toko dengan alasan mengecek pelabelan produk. Razia menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah:

    1. penangkapan beramai-ramai; penggerebekan penjahat yang berbahaya bagi keamanan.
    2. pemeriksaan serentak (surat-surat kendaraan bermotor, kartu tanda penduduk, dan sebagainya).

    Berdasarkan keterangan Anda, razia yang dilakukan oleh Kepolisian adalah dengan cara mengecek/melakukan pemeriksaan terhadap pelabelan produk. Dari sini kami asumsikan bahwa yang dimaksud dengan razia dalam konteks pertanyaan Anda adalah memeriksa pelabelan produk sebagai bentuk pengawasan terhadap pencantuman label pada produk.

    Siapa yang seharusnya melakukan pengawasan? Berdasarkan Pasal 1 angka 16 Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 69 Tahun 2018 tentang Pengawasan Barang Beredar dan/atau Jasa (“Permendag 69/2018”), pengawasan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh petugas pengawas untuk memastikan kesesuaian barang beredar dan/atau jasa dalam memenuhi standar mutu produksi barang beredar dan/atau jasa, pencantuman label dalam bahasa indonesia, petunjuk penggunaan, jaminan layanan purna jual, cara menjual, pengiklanan, jaminan dan/atau garansi yang disepakati dan/atau diperjanjikan dan/atau klausula baku.

    Objek pengawasan terhadap barang beredar dalam memenuhi pencantuman label dalam bahasa Indonesia berupa:[8]

    1. pencantuman label dalam bahasa Indonesia pada barang dan/atau kemasan;
    2. keterangan atau penjelasan label dalam bahasa Indonesia pada barang dan/atau kemasan yang terkait dengan keselamatan, keamanan dan kesehatan konsumen serta lingkungan hidup;
    3. kesesuaian keterangan label pada barang dan/atau kemasan dengan kondisi barang;
    4. keterangan mengenai identitas pelaku usaha pada label barang; dan
    5. kelengkapan keterangan atau informasi label yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

    Pengawasan tersebut dilakukan melalui:[9]

    1. pengambilan sampel;
    2. pengamatan kasat mata terhadap keterangan label yang tercantum pada barang dan/atau kemasan;
    3. kepastian kebenaran antara keterangan yang tercantum pada label dengan kondisi barang yang sebenarnya, yang jika terkait dengan spesifikasi teknis barang, dapat dilakukan pengujian di laboratorium;[10]
    4. pengumpulan data dan informasi terkait legalitas pelaku usaha dan barang, asal barang, serta data lain yang diperlukan; dan
    5. permintaan informasi dan/atau klarifikasi terhadap hasil pengawasan.

    Yang mana, seharusnya yang berwenang melakukan pengawasan bukanlah Kepolisian, melainkan Menteri Perdagangan untuk seluruh wilayah Republik Indonesia dan Gubernur yang mempunyai wewenang untuk melaksanakan pengawasan di wilayah kerjanya.[11]

    Menteri Perdagangan dapat mendelegasikan kewenangan pengawasan kepada Direktur Jenderal dan Direktur Jenderal dapat mendelegasikan kewenangan pengawasan kepada Direktur.[12] Sedangkan Gubernur dapat mendelegasikan kewenangan pengawasan kepada Kepala Dinas.[13]

    Sepanjang penelusuran kami, Permendag 69/2018 yang khusus mengatur mengenai pengawasan barang, tidak memberikan kewenangan kepada Kepolisian untuk melaksanakan pengasawan barang beredar.

    Tetapi perlu diingat bahwa perbuatan pelaku usaha yang tidak mencantumkan label berbahasa Indonesia pada barang yang diperdagangkan di dalam negeri merupakan tindak pidana (kecuali untuk pelaku usaha dan/atau kegiatan berisiko rendah atau menengah), di mana polisi berwenang melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana.

    Hal ini mengacu pada Pasal 13 jo. Pasal 14 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (“UU Kepolisian”), yang berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 13 UU Kepolisian:

    Tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah:

    1. memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;
    2. menegakkan hukum; dan
    3. memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

    Pasal 14 ayat (1) huruf g UU Kepolisian:

    Dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya.

    Sedangkan yang dimaksud dengan penyelidikan dan penyidikan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana adalah:

    Pasal 1 angka 2 KUHAP:

    Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.

    Pasal 1 angka 5 KUHAP:

    Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.

    Jadi jika pelaku usaha diduga melakukan tindak pidana, maka di sinilah wewenang polisi untuk melakukan upaya penyelidikan dan penyidikan sebagai bentuk perbuatan penindakan terhadap dugaan tindak pidana yang terjadi, bukan upaya pengawasan.

    Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata–mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.

     

    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

     

    Dasar hukum:

    1. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana;
    2. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia;
    3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan;
    4. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja;
    5. Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Perdagangan;
    6. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 69 Tahun 2018 tentang Pengawasan Barang Beredar dan/atau Jasa;
    7. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 25 Tahun 2021 tentang Penetapan Barang yang Wajib Menggunakan atau Melengkapi Label Berbahasa Indonesia.

     

    Referensi:

    Kamus Besar Bahasa Indonesia, diakses pada 20 September 2021 pukul 15.00 WIB.

     


    [1] Pasal 1 ayat (1) Permendag 25/2021

    [2] Pasal 1 ayat (2) Permendag 25/2021

    [3] Pasal 166 ayat (1) jo. Pasal 20 ayat (1) PP 29/2021

    [4] Pasal 166 ayat (2) PP 29/2021

    [5] Pasal 166 ayat (4) PP 29/2021

    [6] Pasal 46 angka 33 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 104 ayat (2) UU 7/2014

    [7] Pasal 46 angka 33 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 104 ayat (3) UU 7/2014

    [8] Pasal 19 Permendag 69/2018

    [9] Pasal 20 ayat (1) Permendag 69/2018

    [10] Pasal 20 ayat (2) Permendag 69/2018

    [11] Pasal 3 Permendag 69/2018

    [12] Pasal 4 Permendag 69/2018

    [13] Pasal 6 ayat (1) Permendag 69/2018

    Tags

    hukumonline
    google

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Cara Balik Nama Sertifikat Tanah karena Jual Beli

    24 Jun 2022
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!