Apakah Praktik Lame Duck Session Dikenal di Parlemen Indonesia?
Kenegaraan

Apakah Praktik Lame Duck Session Dikenal di Parlemen Indonesia?

Pertanyaan

Apakah lame duck session (periode transisi anggota parlemen) yang ada di Amerika Serikat itu dikenal di Indonesia?

Intisari Jawaban

circle with chevron up

Lame Duck (bebek lumpuh) dimaknai secara politis sebagai masa transisi pasca pemilihan umum dari anggota parlemen lama yang belum berhenti bertugas dan anggota baru yang belum dilantik, kondisi ini menyebabkan parlemen tidak dapat bekerja secara maksimal karena legitimasi yang lemah.

Praktik ini tentu berpotensi terjadi di Indonesia mengingat terdapat masa waktu transisi dari terpilihnya anggota baru sampai dengan waktu pelantikan. Antisipasi secara hukum seperti mempersingkat masa transisi perlu dilakukan agar praktik Lame Duck tidak berdampak fatal karena dapat menyebabkan tidak berjalannya fungsi parlemen secara maksimal.

Penjelasan lebih lanjut dapat Anda klik ulasan di bawah ini.

Ulasan Lengkap

 

Lame Duck Session

Sebelumnya perlu Anda ketahui lebih dahulu, Lame Duck (bebek lumpuh) sesungguhnya istilah politis yang dimaknai sebuah kondisi pasca pemilihan umum yang mana anggota parlemen yang lama belum berhenti bertugas dan anggota yang baru terpilih dalam pemilihan umum belum dilantik, sehingga dapat dimaknai sebagai “periode transisi”, sebagaimana Anda sebutkan.

Sedangkan secara harfiah, Lame Duck merujuk pada seekor bebek yang terluka dan tidak mampu merawat dirinya sendiri, menjalani sisa hidupnya tak tahu untuk apa dan menunggu predator memangsanya atau mati secara perlahan.

Mengutip dari Congressional Research Service dalam artikel Lame Duck Sessions of Congress, 1935 – 2018 (74th-115th Congresses) menyebutkan (hal. 1):

The expression “lame duck” was originally applied in 18th century Britain to bankrupt businessmen, who were considered “lame,” like a game bird injured by shot. By the 1830s, the usage had been extended to officeholders whose service already had a known termination date. In current American usage, for instance, a President is considered a “lame duck” after his successor has been elected and also whenever he is known not to be a candidate for reelection.

Dalam terjemahan bebasnya diartikan, awalnya istilah lame duck diterapkan di Inggris abad ke-18 untuk pengusaha yang bangkrut, yang dianggap lumpuh seperti burung buruan yang terluka karena tembakan. Lalu pada tahun 1830-an, penggunaan istilah ini diperluas ke pemegang jabatan yang telah diketahui tanggal penghentiannya.

Sepanjang penelusuran kami, sebagai tambahan informasi, pada 14 Januari 1863, sebuah dokumen resmi Kongres Amerika Serikat mencatat perilaku Lame Duck sebagai peristiwa politik yang buruk. Sehingga, di Amerika Serikat transisi yang berakibat Lame Duck dipersingkat menjadi 75 hari.

 

Apakah Praktik Lame Duck Session Dikenal di Indonesia?

Lalu, menjawab pertanyaan Anda, apakah praktik Lame Duck dikenal di Indonesia? Selama masih ada waktu transisi sampai dilantiknya anggota parlemen baru, terbuka atau berpotensi terjadi Lame Duck, namun pada faktanya ini tidak terjadi di Indonesia, sebab dapat kita lihat dalam praktik, parlemen lebih produktif menjalankan fungsinya sebelum masa jabatannya berakhir.

Namun perlu digarisbawahi, Lame Duck sendiri bukanlah praktik yang baik karena menyebabkan parlemen lumpuh. Sebab sebagai perwakilan rakyat haruslah terus melaksanakan tugasnya sampai masa jabatannya berakhir sesuai sumpah jabatan yang diucapkan saat awal dilantik. Namun di sisi lain, dengan terpilihnya anggota baru yang belum dilantik pasca pemilihan umum, membuat kebijakan yang diambil oleh parlemen periode sebelumnya mendapat legitimasi yang tidak begitu kuat.

Secara normatif, keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat (“DPR”) sendiri diresmikan dengan keputusan Presiden dengan masa jabatan anggota DPR adalah 5 tahun dan berakhir pada saat anggota DPR yang baru mengucapkan sumpah/janji, yang mana pengucapan sumpah/janji secara bersama-sama dipandu oleh Ketua Mahkamah Agung dalam rapat paripurna DPR.[1]

Sehingga menurut pandangan kami, antisipasi secara hukum perlu dilakukan, dengan memformulasikan sebuah mekanisme peralihan parlemen dalam masa Lame Duck, dengan cara mempersingkat masa transisi antara pemilihan umum dengan pelantikan anggota DPR terpilih. Tidak perlu rasanya menunggu sampai berbulan-bulan untuk melantik para legislator yang terpilih. Semakin cepat dilantik, maka semakin cepat ia menjalankan tugasnya yang mendapat legitimasi kuat dari rakyat.

 

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

 

Dasar Hukum:

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana yang telah diubah pertama kali dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, kedua kali dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan terakhir kali dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

 

Referensi:

Lame Duck Sessions of Congress, 1935 – 2018 (74th-115th Congresses), diakses pada 31 Agustus 2021 pukul 14.00 WIB.

Tags: