Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Tentang Error In Persona dan Error in Objecto yang dibuat oleh Si Pokrol dan dipublikasikan pertama kali pada 27 Januari 2003.
Istilah error in persona dan error in objecto kerap digunakan pada tahap eksepsi atas gugatan perdata atau dakwaan pidana di pengadilan.
klinik Terkait:
Lantas, sebenarnya apa yang dimaksud dengan error in persona dan error in objecto? Untuk itu, mari kita bahas satu per satu.
Error in Persona
Secara umum, error in persona atau exceptio in persona dapat diartikan sebagai kekeliruan mengenai seseorang. Dalam konteks peradilan, error in persona dapat diartikan sebagai kekeliruan atas orang yang diajukan sebagai tergugat melalui surat gugatan atau terdakwa melalui surat dakwaan.
Dalam lingkup perdata, M. Yahya Harahap dalam buku Hukum Acara Perdata: Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan (hal. 117 - 119) mengklasifikasikan error in persona menjadi:
- Diskualifikasi in person
Diskualifikasi in person terjadi jika pihak yang bertindak sebagai penggugat merupakan orang yang tidak memenuhi syarat (diskualifikasi) disebabkan penggugat dalam kondisi berikut:
- Tidak mempunyai hak untuk menggugat perkara yang disengketakan
Misalnya, orang yang tidak ikut dalam perjanjian bertindak sebagai penggugat menuntut pembatalan perjanjian, atau ayah bertindak sebagai penggugat menuntut perceraian perkawinan anaknya.
berita Terkait:
- Tidak cakap melakukan tindakan hukum
Orang yang berada di bawah umur atau perwalian, tidak cakap melakukan tindakan hukum. Oleh karena itu, mereka tidak dapat bertindak sebagai penggugat tanpa bantuan orang tua atau wali.
- Salah sasaran pihak yang digugat
Bentuk lain error in persona yang mungkin terjadi adalah keliru menarik orang sebagai tergugat (gemis aanhoeda nigheid). Misalnya, yang meminjam uang adalah A, tetapi yang ditarik sebagai tergugat untuk melunasi pembayaran adalah B.
Atau, menggugat Perseroan Terbatas (“PT”) yang belum mendapat pengesahan. Gugatan tersebut salah sasaran karena PT tersebut belum memiliki kedudukan sebagai persona standi in judicio, sehingga seharusnya yang ditarik sebagai tergugat bukan PT, melainkan para pengurusnya.
- Gugatan kurang pihak (Plurium Litis Consortium)
Kondisi ini dapat terjadi jika pihak yang bertindak sebagai penggugat atau yang ditarik sebagai tergugat tidak lengkap karena masih ada orang yang mesti ikut bertindak sebagai penggugat atau tergugat.
Misalnya, PT X meminjam uang dari BPD menggunakan sertifikat tanah A selaku pemegang saham. Pada saat A sudah tidak berkedudukan lagi sebagai pemegang saham, A meminta PT X mengembalikan sertifikat tanah miliknya.
A kemudian menggugat PT X ke pengadilan untuk mengembalikan sertifikat tanah tersebut. Tapi, pengadilan berpendapat bahwa seharusnya A mengikutsertakan BPD sebagai tergugat. Karena BPD tidak ikut digugat, gugatan tersebut mengandung cacat error in persona dalam bentuk plurium litis consortium.
Sedangkan dalam lingkup pidana, error in persona bisa terjadi pada saat dakwaan dialamatkan kepada orang yang salah.
Misalnya, dalam surat dakwaan disebutkan bahwa X berdasarkan identitas yang diajukan oleh penuntut umum berusia 25 tahun, beralamat di Jakarta, beragama Hindu, telah membunuh Y dengan cara menusuknya dengan pisau. Kemudian, X mengajukan eksepsi karena identitas X yang diajukan oleh penuntut umum dalam surat dakwaan tersebut tidak sama dengan dirinya, misalnya X yang sedang didakwa ini ternyata berusia 50 tahun, beralamat di Surabaya dan beragama Islam. Jadi menurut X, penuntut umum tersebut telah salah mendakwa orang.
Selanjutnya, Safitri Wikan Nawang Sari dalam buku Hukum Pidana Dasar menambahkan, error in persona juga dapat terjadi karena adanya kekeliruan antara apa yang dikehendaki dengan apa yang dilakukan akibat dari salah penglihatan (hal.71).
Terhadap hal ini, J. Remmelink dalam buku Pengantar Hukum Pidana Material 1: Prolegomena dan Uraian tentang Teori Ajaran Dasar (hal. 194) menjadikan kasus klasik Rose-Rosahl sebagai contoh. Diceritakan, pedagang kayu Rosahl berjanji akan memberi sejumlah uang kepada pembantunya Rose bila ia bersedia membunuh seorang pedagang ternak. Rose, pada suatu senja menunggu di persimpangan jalan yang biasa dilewati pedagang ternak. Ketika ia merasa telah melihat pedagang ternak tersebut, ia melepas tembakan. Ternyata, orang yang ia tembak adalah seorang anak yang kebetulan lewat.
Di sisi lain dalam lingkup tata usaha negara (“TUN”), error in persona dapat terjadi jika penggugat menggugat pihak yang salah, dalam hal ini, bukan pihak yang mengeluarkan keputusan TUN yang menjadi objek gugatan.
Misalnya, rumah M terkena proyek gusuran dari pemerintah setempat. Mengetahui hal tersebut, M mengajukan gugatan TUN. Dalam surat gugatannya, dia menunjuk Walikota Jakarta Pusat sebagai tergugat. Walikota tersebut kemudian mengajukan eksepsi bahwa yang mengeluarkan surat perintah penggusuran adalah Gubernur DKI Jakarta, bukan ia selaku walikota, sehingga menurutnya majelis hakim harus menolak gugatan penggugat atas dasar error in persona.
Error in Objecto
Pada prinsipnya, error in objecto adalah kekeliruan terhadap objek. Dalam lingkup pengadilan, error in objecto ialah kesalahan gugatan/dakwaan karena adanya kekeliruan terhadap objek yang digugat/didakwakan.
Misalnya, M menggugat Gubernur DKI Jakarta ke pengadilan TUN atas keputusannya yang mengakibatkan tergusurnya rumah M. Dalam kasus tersebut, objek yang disengketakan penggugat adalah SK No. 888. Padahal, perintah penggusuran tersebut dikeluarkan melalui SK No. 785, bukan SK No. 888. Kesalahan atas objek yang disengketakan tersebut disebut dengan error in objecto.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Referensi:
- J. Remmelink. Pengantar Hukum Pidana Material 1: Prolegomena dan Uraian tentang Teori Ajaran Dasar. Yogyakarta: Maharsa Publishing, 2014;
- M. Yahya Harahap. Hukum Acara Perdata: Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan. Jakarta: Sinar Grafika, 2017;
- Safitri Wikan Nawang Sari. Hukum Pidana Dasar. Klaten: Penerbit Lakeisha, 2020.