Saya baru dengar ada istilah meaningful participation yang dituliskan dalam putusan MK dalam hal pembentukan peraturan perundang-undangan. Apa itu artinya?
DAFTAR ISI
INTISARI JAWABAN
Meaningful participation atau partisipasi yang bermakna adalah suatu doktrin yang berkembang dan diadopsi oleh MK untuk menjadi tolak ukur partisipasi publik dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.
Apa arti meaningful participation?
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.
ULASAN LENGKAP
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Dalam Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020 (hal. 393), MK mengartikan meaningful participation (partisipasi yang bermakna) sebagai: (1) hak masyarakat untuk didengarkan pendapatnya, (2) hak masyarakat untuk dipertimbangkan pendapatnya, dan (3) hak masyarakat untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan.
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Pemenuhan meaningful participation menjadi tolok ukur suatu produk hukum telah tersusun dengan sempurna secara formil sehingga secara materiil juga memenuhi rasa keadilan yang dikehendaki masyarakat. Konsep partisipasi yang bermakna awalnya berasal dari konsep yang dikembangakan oleh Mahkamah Konstitusi Afrika Selatan dalam perkara doctors for life di tahun 2006.[1]
Sepanjang penelusuran penulis, konsep ini kemudian sering diutarakan oleh para ahli dalam perkara-perkara uji formil di MK, salah satu ahli dan akademisi yang sering mengutarakan hal ini adalah Prof. Susi Dwi Harijanti. Konsep ini kemudian dipakai oleh MK dalam pertimbangan perkara yang mendapatkan sorotan publik yakni uji formil UU Cipta Kerja.
Dampak dari konsep meaningfulparticipation dalam pertimbangan hakim di Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020 adalah sedikit banyak diakomodir dalam UU 13/2022. Dalam UU tersebut terdapat beberapa perubahan salah satunya Pasal 96 yang mengatur mengenai partisipasi masyarakat/publik. Perubahanyang dimaksud cukup signifikan yaitu yang awalnya dalam Pasal 96 UU 12/2011hanya memiliki 4 buah ayat, kemudian diubah dalam Pasal 96 UU 13/2022 menjadi 9 buah ayat. Garis besar perubahan Pasal 96 adalah merinci nomenklatur pada 4 ayat asli dan penambahan mekanisme lanjutan dalam 5 ayat baru.
Beberapa perubahan Pasal 96 UU 13/2022yang dapat diidentifikasi adalah:
Penambahan nomenklatur setiap tahapan dalam ayat (1);
Pengaturan baru mengenai partisipasi masyarakat secara daring dan/atau luring dalam ayat (2);
Masyarakat yang berhak memberi masukan dipertegas sebagai yangterdampak langsung dan/atau mempunyai kepentingan dalam ayat (3);
Menegaskan bahwa masyarakat berhak atas akses yang mudah terhadap naskah akademik dan/atau rancangan peraturan perundang-undangan dalam ayat (4);
Kewajiban pembentuk peraturan perundang-undangan untukmenginformasikan pembentukan peraturan perundang-undangan kepada masyarakat sebagai ganti ketentuan ayat (2) huruf c mengenai sosialisasi;
Pengurangan ketentuan mekanisme sosialisasi dan penambahan terbukanya mekanisme kegiatan konsultasi publik lainnya dalam ayat (6);
Akomodasi hasilkonsultasi publik sebagai bahan pertimbangan dalam perencanaan, penyusunan, dan pembahasan rancangan peraturan perundang-undangan dalam ayat (7);
Pengaturan bahwa pembentuk peraturan dapat menjelaskan mengenai hasil pembahasan masukan masyarakat kepada masyarakat dalam ayat (8);
Ketentuan delegasi peraturan pelaksana mengenai partisipasi masyarakat ke dalamPeraturan DPR, Peraturan DPD, dan Peraturan Presidendalam ayat (9).
Meski demikian, terdapat pro-kontra pengaturan baru mengenai partisipasi masyarakat dalam Pasal 96 UU 13/2022 dalam kaitannya dengan meaningful participation. Wacana menjanjikan adalah penegasan hak masyarakat bahwa partisipasi masyarakat terbuka di setiap tahap penyusunan, baik secara daring dan/atau luring, dan berhak memiliki akses yang mudah atas naskah akademik dan/atau rancangan peraturan perundang-undangan.
Selain itu, bagi pembentuk peraturan perundang-undangan kini wajib menginformasikan penyusunan dan dibukanya ruang untuk menjelaskan kepada masyarakat. Mengingat kembali Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020 bahwa pemenuhan meaningful participation harus sekurang-kurang dipenuhi dalam tahap pengajuan RUU, pembahasan serta persetujuan bersama antara DPR dan presiden.[2] Penegasan partisipasi masyarakat terbuka dalam setiap tahap penyusunan menunjukkan pengakuan terhadap eksistensi meaningful participation.
Di sisi lain, penulis berpandangan bahwa nomenklatur yang baru secara tafsir gramatikal memberi dua pilihan kondisi yang memungkinkan partisipasi masyarakat yaitu yang terdampak langsung dan/atau mempunyai kepentingan. Nomenklatur “terdampak langsung” tidak menjelaskan konteks dampak apa yang timbul. Dampak dapat saja diartikan menguntungkan maupun merugikan, sehingga nomenklatur ini membuka ruang salah penafsiran. Demi memberikan kepastian hukum, ketentuan “terdampak langsung” harus diperjelas konteksnya agar masyarakat yang dirugikan dilindungi haknya.[3]